Jayapura, Jubi – Dalam berbagai literature hingga kajian dari kelompok Jaringan Damai Papua (JDP), Pemerintah Provinsi Papua dan beberapa kelompok mengusung Dialog sebagai solusi. Hal ini telah dipaparkan dalam buku Seratus Orang Angkat Pena Untuk Dialog Jakarta-Papua, seolah-olah mendistribusikan pikiran mendasar tentang apa yang menjadi tuntutan rakyat Papua hari ini.
Melalui release yang diterima Jubi, Minggu (30/8) yang ditanda tangani oleh Gerakan Mahasiswa dan Rakyat Papua (GempaR), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Uncen, Presiden Mahasiswa USTJ, BEM STIE Port Numbay, BEM STIKOM Muhammadiyah Jayapura, Papua.
Selanjutnya, semua elit-elit politik baik Jakarta dan Papua, dan beberapa orang mahasiswa (yang diboncengi) berlomba-lomba mengatasnamakan rakyat dan mahasiswa untuk mendorong dialog dengan mengabaikan apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan dan tuntutan mendasar rakyat Papua.
“Dialog Jakarta Papua diprediksikan akan menjawab semua tuntuntan rakyat Papua, mulai dari, tuntuntan rakyat yang telah menolak kebijakan usulan Jakarta (2005, 2010, 2013), yakni Otonomi Khusus 2001 dan rekonstruksinya – Otsus Plus (Undang-undang Pemerintahan Papua),” tulis Sekjen GempaR, Samuel Womsiwor, Minggu (30/8).
Kegagalan pembangunan di berbagai bidang, dikatakan, mendorong Jakarta mendistribusikan berbagai kebijakan bagi Papua untuk menyelesaikan masalah Papua, mulai ditambahkannya UP4B, PNPM Mandiri, dan semua prospek kebijakan lainnya yang hanya akan memperpanjang sejarah penindasan di atas tanah Papua.
“Karena dianggap tidak mampu menjawab kondisi real masyarakat Papua, dan ini semua terlihat ironi ketikaelit-elit Papua terkesan memaksakan kehendak rakyat Papua dengan mengatakan dialoglah solusinya,” tuturnya.
Aktivis AMP, Sonny Dogopia mengatakan, masalah deskriminasi dan marginalisasi masih menyentuh lapisan masyarakat Papua hingga hari ini, masyarakat Papua selalu merasa dibedakan dan diselepehkan dalam penentuan keinginan orang Papua sendiri.
“Pendekatan-pendekatan macam apapun tak mampu selesaikan masalah Papua. Namun Dialog dalam pandangan mahasiswa akan sama saja, dan tak ada bedanya dengan keadaan Papua hingga hari ini, sebab Jakarta selalu memandang Papua dengan segala kehati-hatian dan selalu bersikap curiga terhadap semua niat dan isi hati rakyat Papua,” tutur Dogopia.
Aktivis Mahasiswa Papua di Jayapura - Jubi/Abeth You |
Ketua MPM Uncen, Pontius Omoldomang mengungkapkan, mulai dari ditawarkannya dialog antar rakyat Papua (lokal), dan setelah mantap akan dilanjutkan dengan dialog Jakarta-Papua (interlokal), tetap akan terjadi kontradiksi antar rakyat Papua sendiri dalam memandang dialog sebagai penyelesaian masalah Papua.
“Sebab politik Papua dewasa ini menunjukkan apa yang sebenarnya orang Papua perjuangkan, baik ditingkat kawasan Melanesian (MSG) hingga region oceania (PIF) lewat United Liberation Movement for West Papua, dan hal ini yang seharusnya dipandang oleh Pemerintah Indonesia. Sehingga dialog Jakarta Papua bukanlah solusi menjawab akar persoalan di Atas Tanah Papua,” terang Pontius Omoldomang.
Rekan lainnya, Presiden Mahasiswa USTJ, Nelius Wenda menegaskan, pihaknya yang hari ini berdiri sebagai generasi penerus bangsa Papua, menyatakan sikap kepada Negara Indonesia, bahwa pihaknya sebagai Mahasiswa Papua menolak dengan tegas Dialog Jakarta Papua, usulan Jakarta dan beberapa orang Papua, yang mengatasnamakan rakyat Papua. Karena dialog tentu tak mampu menjawab situasi dan kondisi rakyat Papua.
“Kami mahasiswa Papua, menghimbau kepada rakyat yang ada di seluruh Wilayah Papua dan yang ada di luar negeri untuk bersama-sama memberikan dukungan dan doa kepada United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang akan mensukseskan agenda Politik West Papua di Pasific Island Forum (PIF), pada 07-11 September 2015 nanti, Di Port Morestby, Papua New Guinea. Sebagai bentuk lanjutan dari sikap politik West Papua di Melanesia Spearhead Group (MSG), 18-26 Juni 2015, di Honiara Salomon Island,” tukas Nelius Wenda.
Ketua BEM STIKOM Muhammadiyah, Hardus Fatem juga menyebutkan, Filep Karma sebagai tokoh dan pejuang Bangsa Papua, dan ketulusannya dalam menyatakan kebenaran, maka pihaknya Mahasiswa Pemuda dan Rakyat menjadikannya sebagai bapak bangsa Papua dan simbol perlawanan serta perjuangan rakyat Bangsa Papua.
“Pemerintah Indonesia segera bebaskan Tapol/Napol yang ada di seluruh wilayah Indonesia tanpa syarat,” kata Hardus.
Aktivis Perempuan, Selfhy Yeimo mengakui pihaknya meminta Pemerintah Indonesia segera memberikan Hak Penentuan Nasib sendiri sebagai Solusi Demokrai sebagi rakyat Papua. “Kami Mahasiswa Papua mendesak Pemerintah Indonesia segera menarik pasukan Militer Organik dan non-Organik yang ada di seluruh wilayah tanah Papua,” tutur Yeimo.
“Kami menyayangkan person-person yang menyatakan dimedia, namun mengatasnamakan mahasiswa Papua, untuk mendukung Dialog Jakarta Papua, jadi sebaiknya dikomunikasikan dahulu dengan elemen mahasiswa Papua yang ada, jika itu person, sebaiknya menggunakan nama yang jelas, jangan menggeneralsisasikan, karena peryataan itu nanti dibuktikan dan dipertanggungjawabkan,” pungkas Wakil Ketua BEM Uncen, Herberth Amoso. (Abeth You)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar