Rabu, 05 Agustus 2015

Anomali Hukum Indonesia, Rakyat Ditangkap tapi Pelaku Penembakan Tak Tersentuh Hukum

Willem Wandik, Anggota DPR-RI Dapil Papua. Jubi/Arjuna
Yogyakarta, Jubi –  “Aneh tapi nyata, itulah fenomena penegakan hukum di republik Indonesia, perlahan tapi pasti penggiringan opini oleh media nasional melalui penangkapan sejumlah anggota masyarakat yang katanya sebagai dalang kerusuhan di Tolikara, seperti mengungkapkan tabir kebohongan aparat penegak hukum yang selama ini berperilaku diskriminatif terhadap manusia berambut keriting dan berkulit hitam di tanah Papua,” tulis Willem Wandik, anggota DPR RI perwakilan Papua seperti dikutip Jubi dari website pribadinya, Selasa (4/8/2015).
Menggunakan nalar dan akal sehat tentunya kita bisa mencerna dengan sangat baik, akar persoalan yang mengakibatkan terjadinya peristiwa di tanggal 17 Juli 2015 silam.
Menurt Wandik, kronologisnya, (1) Surat pemberitahuan – (2) polisi tetap memerintahkan warga muslim dengan jaminan penjagaan senjata laras panjang – (3) masyarakat mendatangi kegiatan warga muslim – (4) aparat kepolisian menembak warga – (5) belasan warga terkena luka tembak dan 1 meninggal dunia – (6) masyarakat lalu bertindak anarkis merespons penembakan brutal aparat- (7) sejumlah bangunan kios terbakar beserta musholla.
“Kemarahan warga tidak akan terpicu jika saja aparat bersenjata tidak menembaki warga secara brutal, seolah-olah manusia berambut keriting dan berkulit hitam dipandang sebagai manusia yang tidak memiliki hak asasi untuk hidup,” katanya.
“Kepada para pemilik media nasional, Anda yang menggiring opini publik dan menampilkan pemberitaan yang berat sebelah, apakah bisa anda sebutkan satupun dari warga muslim yang tewas terbunuh disaat tragedi Tolikara terjadi? Siapa nama mereka? Dari mana asal mereka? Seolah-olah mempertegas permasalahan sektarian berdasarkan isu agama, kalian (media nasional) melupakan esensi peristiwa yang terjadi di Tolikara sebagai bentuk tindakan provokasi yang dilakukan oleh aparat, dengan terlebih dahulu mengabaikan gejala-gejala sosial yang dapat dicegah upaya preventif dan ditambah lagi dengan penembakan secara brutal kepada masyarakat, dengan tewasnya salah seorang warga,” tulisnya.
Katanya, sorotan kamera wartawan benar-benar tajam menampilkan sosok tersangka dari masyarakat yang katanya provokator peristiwa kerusuhanTolikara. Benar-benar drama yang sangat memuakkan mata. Di sisi lain masyarakat yang turut menjadi korban penembakan aparat bersenjata, tidak satupun mendapatkan porsi pemberitaan yang seimbang oleh wartawan dari berbagai media nasional.
“Sungguh lengkap sandiwara penegakan hukum di Tanah Papua, dimana para penjahat yang sebenarnya tetap hidup tenang dan tidak tersentuh hukum sama sekali,” ucapnya.
Hikmah penting dari perisitiwa Tolikara adalah Aparat Bersenjata tidak pernah bersalah, meskipun mereka membunuh masyarakat dengan secara brutal, para penegak hukum yang notabene adalah dari institusi mereka sendiri, akan berusaha melindungi korps dan institusinya sendiri, dserta berusaha membenarkan alibi anggotanya bahwa pihak yang bersalah atas tragedi Tolikara adalah masyarakat berambut keriting dan berkulit hitam.
Siapa yang bisa mengembalikan nyawa warga yang tewas di tembak secara brutal oleh aparat. Apakah hukum direpublik ini bisa mengembalikan nyawa manusia yang telah tewas? Kemana hukum positif di republik ini yang katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia? Bukankah hak untuk hidup merupakan hak asasi yang tidak boleh dicabut oleh siapapun karena merupakan hak prerogatif Tuhan yang Maha Pencipta?
“Mengingat perilaku aparat bersenjata yang telah berpuluh tahun lamanya, mengabaikan hak hidup manusia-manusia berambut keriting dan berkulit hitam, tewasnya satu orang warga di Tolikara mungkin dipandang oleh mereka sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja,” kata Wandik.
Bagi mereka tidak ada perbedaan dengan menembak tewas 1 orang berambut keriting dan berkulit hitam di Tolikara pada tragedi 17 Juli 2015 silam, dibandingkan tewasnya ratusan hingga ribuan manusia berambut keriting dan berkulit hitam sejak bangsa Papua berintegrasi bersama republik ini. Hukum di republik ini masih mengikuti kemana arus kepentingan dan keinginan dari para penguasa yang mengendalikan rasa keadilan menurut persepsi dan kepentingan mereka sendiri.
Sebelumnya seperti ditulis media ini, Umat GIDI dan umat muslim di Tolikara telah sepakat untuk menyelesaikan masalah insiden yang terjadi di Karubaga, Kabupaten Tolikara pada tanggal 17 Juli 2015 secara bersama-sama. Kedua belah pihak juga sepakat bahwa penyelesaian masalah ini akan diselesaikan sendiri oleh kedua belah pihak di Papua tanpa campur tangan pihak luar Papua. Difasilitasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Rabu (29/7/2015) kedua belah pihak menyepakati tujuh point sebagai landasan penyelesaian masalah yang timbul karena insiden tanggal 17 Juli 2015. Kesepakatan yang dilakukan di Kantor FKUB ini ini disaksikan oleh Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama Provinsi Papua, Sinode Kingmi, dan Kelompok Masyarakat Sipil Papua. (Arnold Belau)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar