SIKAP POLITIK RAKYAT PAPUA BARAT
Masalah utama Bangsa Papua Barat
adalah status politik wilayah Papua Barat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang belum final, karena proses memasukan wilayah Papua Barat
dalam NKRI itu dilakukan dengan penuh pelanggaran terhadap standar-standar dan
prinsip-prinsip hukum serta HAM internasional oleh Amerika Serikat, Belanda,
Indonesia dan PBB sendiri demi kepentingan ekonomi politik mereka.
Dalam kasus Papua Barat, proses penyelesaian sengketa politik
wilayah Papua Barat pada masa lalu hingga pada PEPERA 1969 itu tidak dilakukan
sesuai prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum internasional5. Maka,
Negara-negara anggotan PBB biasa mendesak Majelis Umum PBB di setiap
pertemuannya agar meminta ICJ memberikan pendapat hukumnya atas status hokum Papua
Barat.
Hukum
Internasional tentang hak bangsa-bangsa yang terjajah untuk penentuan nasib
mereka sendiri sudah diterangkan dengan setegas-tegasnya dalam Putusan
(Resolusi) 1514 (XV) dalam sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa PBB, pada
tanggal 14 Desember, 1960, dengan nama:“Pernyataan Mengenai Kewajiban Pemberian
Kemerdekaan Kepada Negeri-Negeri dan Bangsa-Bangsa terjajah.
Dasar hak
penentuan nasib diri-sendiri untuk segala bangsa yang terjajah dan cara-cara
untuk mengakhiri dengan secepatcepatnya segala macam bentuk penjajahan, sudah
ditegaskan dalam Resolusi 1514 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB”.
“Untuk menyerahkan segala kekuasaan kepada bangsa penduduk asli dari wilayah-wilayah jajahan itu, dengan tidak bersyarat apa-apapun, menuruti kemauan dan kehendak mereka itu sendiri yang dinyatakan dengan bebas, dengan tiadak memandang perbedaan bangsa, agama atau warna kulit mareka, supaya mareka dapat menikmati kemerdekaan dan kebebasan yang sempurna.”
“Untuk menyerahkan segala kekuasaan kepada bangsa penduduk asli dari wilayah-wilayah jajahan itu, dengan tidak bersyarat apa-apapun, menuruti kemauan dan kehendak mereka itu sendiri yang dinyatakan dengan bebas, dengan tiadak memandang perbedaan bangsa, agama atau warna kulit mareka, supaya mareka dapat menikmati kemerdekaan dan kebebasan yang sempurna.”
Hal ini tidak pernah dijalankan oleh
penjajah Belanda di negeri-negeri kita: Acheh-Sumatra tidak dikembalikan kepada
bangsa Acheh, Republik Maluku Selatan tidak dikembalikan kepada bangsa Maluku
Selatan, Papua tidak dikembalikan kepada bangsa Papua, Kalimantan tidak tidak
dikembalikan kepada Bangsa Kalimantan, Pasundan tidak dikembalikan kepada
Bangsa Sunda, dan lain-lain sebagainya; semua negeri ini tidak diserahkan
kembali kepada bangsa-bangsa penduduk aslinya masing-masing – sebagaimana yang
telah diperintahkan oleh Hukum Internasional dan sebagaimana yang sudah
dijalankan di tempat-tempat lain di seluruh dunia- tetapi telah diserahkan
bulat-bulat ketangan neo-kolonialisme Jawa dengan bertopengkan nama pura-pura
“Indonesia” untuk mencoba menutup-nutupi kolonialisme Jawa.
Resolusi 2625 (XXV) Perserikatan
Bangsa-Bangsa PBB, pada tanggal 24 Oktober, 1970, menguatkan lagi
Keputusan-keputusan terdahulu mengenai hak merdeka dan hak penentuan nasib
diri-sendiri untuk bangsa-bangsa yang terjajah.Mewajibkan segala negara untuk membantu mengakhiri semua penjajahan.Melarang semua negara anggota PBB memakai kekerasan untuk menghalangi bangsa-bangsa yang terjajah untuk
mencapai kemerdekaan dan menentukan nasib diri mereka sendiri.
Memberi hak
kepada segala bangsa yang terjajah untuk melawan segala macam bentuk kekerasan
yang dipergunakan untuk menghalang-halangi hak mereka untuk menentukan nasib
diri-sendiri dan merdeka, serta hak mereka untuk mendapat bantuan dunia dalam
perjuangan ini.
Wilayah Papua Barat pernah mengalami proses
dekolonisasi di bawah pemerintahan Belanda. Papua Barat telah memiliki bendera
nasional Bintang fajar memiliki lagu
Kebangsaan Hai Tanahku Papua sebagai lagu kebangsaan dan nama negara Papua
Barat.
Simbol-simbol kenegaraan disiapkan oleh Komite Nasional Papua (KNP)
sekarang yang kita kenal hari ini dengan nama Komite Nasional Papua Barat
(KNPB), simbol negara ini ditetapkan oleh New Guinea Raad / NGR (Dewan New Guinea). NGR didirikan pada tanggal 5 April
1961 secara demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama dengan pemerintah
Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta bendera telah diakui oleh seluruh
rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.
Dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963, Papua Barat merupakan
daerah perwalian PBB di bawah United Nations
Temporary Executive Authority (UNTEA) dan dari
tahun 1963 hingga 1969, Papua Barat merupakan daerah perselisihan internasional
(international dispute region). Kedua aspek ini menggaris-bawahi sejarah Papua
Barat di dunia politik internasional dan sekaligus menunjukkan perbedaannya
dengan perkembangan sejarah Indonesia bahwa kedua bangsa ini tidak saling
memiliki hubungan sejarah.
Masa depan Bangsa Papua dikorbankan dengan tidak
diikut-sertakannya rakyat Papua Barat sebagai subjek masalah di dalam
Konferensi Meja Bundar, New York Agreement yang mendasari Act of Free Choice,
Roma Agreement dan lain-lainnya merupakan pelecehan
hak penentuan nasib sendiri yang dilakukan oleh pemerintah (state violence)
dalam hal ini pemerintah Indonesia dan Belanda. Rakyat Papua Barat tidak
diberi kesempatan untuk memilih secara demokratis di dalam Pepera. Act of Free Choice disulap artinya
oleh pemerintah Indonesia menjadi Pepera.
Di sini terjadi manipulasi pengertian dari Act of Free Choice (Ketentuan Bebas
Bersuara) menjadi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Ortiz Sans sebagai utusan
PBB yang mengamati jalannya Pepera melaporkan bahwa rakyat Papua Barat tidak
diberikan kebebasan untuk memilih. Ketidakseriusan PBB untuk menerima laporan
Ortiz Sans merupakan pelecehan hak penentuan nasib sendiri. PBB justru
melakukan pelecehan HAM melawan prinsip-prinsipnya sendiri. Ini merupakan
motivasi di mana rakyat Papua Barat akan tetap berjuang menuntut pemerintah
Indonesia, Belanda dan PBB agar kembali memperbaiki kesalahan mereka di masa
lalu.
Sejak pencaplokan pada 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia selalu
berpropaganda bahwa yang pro kemerdekaan Papua Barat hanya segelintir orang
yang sedang bergerilya di hutan. Tapi, Gerakan Juli 1998 membuktikan yang lain
di mana dunia telah menyadari bahwa jika diadakan suatu referendum bebas dan
adil maka rakyat Papua Barat akan memilih untuk merdeka di luar Indonesia.
Rakyat Indonesia pun semakin menyadari hal ini.
Rakyat Papua Barat menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang
terjajah sejak adanya kekuasaan asing di Papua Barat. Kesadaran tersebut tetap
menjadi kuat dari waktu ke waktu bahwa rakyat Papua Barat memiliki identitas
tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Penyandaran diri setiap kali pada
identitas pribadi yang adalah dasar perjuangan, merupakan akibat dari kekejaman
praktek-praktek kolonialisme Indonesia.
Dalam upaya mencapai hak penentuan nasib sendiri, rakyat
West Papua memberi kewenangan penuh kepada badan unifikasi yaitu United
Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk mewakili menjadi anggota penuh
dalam Melanesian Spearhead Groups (MSG). Oleh sebab itu, kami menganggap upaya
dari kelompok lain yang berupaya menjadi anggota MSG adalah illegal dan tidak
mewakili rakyat West Papua.
Segala bentuk dan siasat kolonial Indonesia untuk menghalangi
perjuangan pembebasan West Papua merupakan bagian dari memperkokoh pendudukan
kolonial Indonesia dan sebagai wujud dari praktek neo kolonialisme yang sedang
berlangsung diatas tanah Papua. Karena itu, kami mendesak Pemimpin-pemimpin
Negara-negara Melanesia untuk tidak terjebak dalam rayuan Negara Indonesia yang
sedang menindas bangsa Melanesia di West Papua.
Rakyat West Papua menolak setiap tawaran kebijakan pembangunan
Indonesia di West Papua yang penuh dengan rekayasa. Bahwa tidak akan pernah ada
keberhasilan pembangunan Indonesia di West Papua selama hak penentuan nasib
sendiri belum terlaksana. Sebab, rakyat West Papua memiliki konsep ideologi
pembangunan sendiri dalam perspektif West Papua-Melanesia. Oleh sebab itu
rakyat West Papua mendesak Pemerintahan Joko Widodo untuk menghentikan
kebijakan kolonialisme dan kapitalisme di teritori West Papua.
Rakyat West Papua juga mendesak aparat kolonial Indonesia untuk
menghentikan upaya kriminalisasi gerakan damai rakyat West Papua. Rakyat West
Papua meminta ruang demokratis yang damai dan mendesak Pemerintah Indonesia
untuk tidak menggunakan cara-cara militeristik dalam penyelesaian konflik
politik teritori West Papua. Hentikan penangkapan, penyiksaan, pembunuhan
terhadap rakyat dan aktivis damai, dan segera bertanggung jawab atas
kasus-kasus pembunuhan rakyat sipil West Papua.
Oleh Karena itu kami komite Nasional Papua Barat atas nama
rakyat Papua Barat menyatakan sikap politik sebagai berikut:
1) Rakyat Papua Barat sorong
sampai merauke mendukung Penuh aplikasi ULPWP membawaH west Papua menju MSG
2) Rakyat Papua Barat
mendesak Kepada Pemerintah Indonesia segera memberikan akses bagi wartawan
asing secara bebas meliput di Papua Barat Tanpa dibatasi.
3) Mendesak pemerintah
Pusat pemerintah segera membuka Ruang demokrasi di Papua Barat, tanpa
diskriminasi.
4) Mendesak Kepada PBB
segera mengirim pelopor khusus tentang Hak berpendapat dan berexpresi lembaga
kemanusian Internasional di Papua Barat.
5) Pemreintah
Indonesia hetikan diplomasi kotor dan propaganda politi terhadap dunia
internasional , sebab hal itu hanya menutupi pelanggaran HAM di Papua Barat.
6) Solidaritas
Masyarakat Internasional pimpinan negara-negara MSG tidak boleh di
tipu dengan diplomasi NKRI, Ras melanesia di Papua Barat menuju
kepunahan.
Demikian stekmen politik Rakyat Papua
Barat disampaikan oleh KNPB sebagai media Rakyat
Salam Revolusi “ kita Harus Mengahiri”
Port Numbay, 28 Mei 2015
Badan Pengurus
Pusat
Komite Nasional
Papua Barat (BPP-KNPB)
Victor F. Yeimo Ones Suhuniap
Ketua Umum Sekertaris Umum
Ketua Umum Sekertaris Umum
Tembusan :
1. PNWP
2. ULMWP
3. Sekretariat IPWP
4. Sekretariat
ILWP
5. Sekretariat MSG
6. Kantor OPM di London Inggris
7. Kantor OPM di
Belanda
8. Sekretariat FWC
9. Arsip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar