Melanesia Country MSG |
JAYAPURA
– Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik FISIP Uncen Jayapura, Marinus
Yaung, mengatakan, hubungan diplomasi dengan negara-negara Melanesia Spearhead
Group (MSG) mulai memanas.
Suhu
politik itu memanas menjelang sidang tahunan MSG kali ini yang akan bertepatan
dengan ulang tahun ekonomi, politik, dan perdagangan diantara negara-negara
rumpun melanesia ini yang jatuh pada 14 Maret 2015 mendatang. Dalam perayaan
ulang tahun ke-27, isu keanggotaan Papua yang diwakili oleh United Liberation
Movenent for West Papua (ULMWP) akan diputuskan.
Dikatakan,
Pemerintah Indonesia terlihat sangat khawatir dengan proposal keanggotaan Papua
dalam MSG. Karena Menteri Luar Negeri RI terlibat langsung dalam road show
politiknya melalui metode ‘money politics lobbying’ ke PNG, Kepulauan Solomon,
FIJI, dan New Zealand dalam tiga hari belakangan ini. Hal ini tergambar bahwa
Pemerintah Indonesia akan berusaha keras agar proposal Papua ditolak dalam
sidang MSG bulan ini.
“Apakah
money politics dalam bentuk sumbangan keuangan, pembangunan dan perdagangan
dalam jutaan dolar AS bisa merebut hati dan pikiran negara anggota MSG atau
malah justru pengkhianatan serta penolakan yang didapat dari diplomasi termahal
dalam sejarah luar negeri Indonesia ke politik Selatan?,” ungkapnya saat
menghubungi Bintang Papua, Kamis, (5/3).
Pandangan
yang selama ini dianggap benar dan jitu dalam menyelesaikan masalah Papua, baik
masalah dalam negeri maupun luar negeri, adalah pedoman baku Jakarta, yaitu,
kasih uang yang banyak, masalah Papua akan selesai. Karena pemerintah pusat
percaya bahwa motivasi sebenarnya rakyat Papua memperjuangkan isu Papua merdeka
karena motivasi uang. Kalau uang sudah didapat, maka mulut akan diam dan mulut
ikut membelah kepentingan Jakarta di Papua.
Marinus: Indonesia Sangat Khawatir |
Demikian
pula Pemerintah Indonesia melihat ada motivasi mencari uang dan keuntungan
ekonomi di balik negara-negara MSG menjual isu Papua di pasifik. Apakah harga
diri orang-orang melanesia di pasifik selatan hanya bisa diukur dengan uang?
Betapa rendahnya harkat dan martabat orang-orang melanesia apabila karena uang
(bahkan uang darah etnis melanesia sendiri) akhirnya negara-negara melanesia
bertekut lutut dan takluk di bawah kaki diplomat Indonesia.
“Saya
masih optimis bahwa budaya Wantok yang menjadi dasar ideologi pemikiran
kebebasan dan perjuangan kemerdekaan rumpun melanesia untuk membebaskan diri
dari jajahan kolonial, sebuah nilai budaya yang berhasil dari paham melanesian
brotherhood yang dilahirkan di Kota Honiara, Kepulauan Salomon Tahun 1925,
masih tetap dihati dan tidak terhapus dari pikiran semua pemimpin negara-negara
MSG,” tandasnya.
Yang
dirinya tahu bahwa paham melanesian brotherhood, persaudaraannya jauh lebih
kuat, mengingat secara emosional dibanding berapapun jumlah uang yang
ditawarkan. Selama Pemerintah Indonesia tetap percaya bahwa dengan kasih uang
banyak masalah Papua beres, maka kali ini Pemerintah Indonesia akan pulang
dengan tangan kosong dari road show diplomasi dan loby pasifik selatan.
Diplomasi people to people oleh rakyat Papua ke MSG, akan berhasil untuk kali
ini. Apakah kemudian kedepan Papua akan menjadi Timor Leste kedua? Tentunya
masih tanda tanya, karena Papua menuju kemerdekaan masihlah sebuah perjalanan
panjang. Masuk menjadi anggota MSG, belum tentu otomatis membawa Papua pada
penentuan nasib sendiri.
Dengan demikian, Pemerintah Indonesia tidak perlu kebakaran jenggot dengan perkembangan isu Papua di MSG. Masalah Papua ini ibarat api dan asap api. Kalau asap api yang diurus dengan serius sedangkan apinya tidak dipadamkan dengan serius, sampai kapanpun masalah tidak akan selesai-selesai.
Dengan demikian, Pemerintah Indonesia tidak perlu kebakaran jenggot dengan perkembangan isu Papua di MSG. Masalah Papua ini ibarat api dan asap api. Kalau asap api yang diurus dengan serius sedangkan apinya tidak dipadamkan dengan serius, sampai kapanpun masalah tidak akan selesai-selesai.
Mana
mungkin masalah Papua bisa selesai, kalau sibuk meloby MSG, sedangkan di Papua
pelanggaran HAM berlangsung terus, kasus pembantaian Paniai tidak ada ujung
penyelesaiannya, dan mash terus securty approach di kedepankan dalam
menyelesaikan masalah Papua.
Baginya,
api konflik di Papua harus dipadamkan terlebih dahulu, maka dengan sendirinya
asap apinya akan hilang. Aneh sekali, masa hanya untuk menghilangkan asap api
isu Papua di MSG harus Jutaan dolar habis, dimana sebenarnya logika sehat
Pemerintah Jokowi. Tanpa perlu jutaan dollar dikeluarkan, asap api isu Papua
itu bisa hilang dengan sendirinya asalkan pelaku pelanggaran HAM berat
ditangkap dan diproses hukum. Hukum dan keadilan mestinya berlaku adil diatas
tanah Papua. Tidak ada satupun pelaku pelanggaran HAM yang harus dilindungi
atau memiliki kekebalan hukum.
Semuanya
itu dikembalikan pada political will Pemerintah Presiden Jokowi, sebelum isu
Papua menjadi bola liar politik yang mengalir dari forum MSG sampai ke forum
sidang PBB, maka hentikan diplomasi melempar garam di air laut yang dilakukan
Menteri Luar Negeri RI ke MSG.
Lanjutnya,
Presiden Jokowi harus fokus selesaikan masalah-masalah pelanggaran HAM berat
Papua, dan sejumlah masalah-masalah krusial lainnya di Papua melalui pendekatan
yang ditawarkan masyarakat Papua yakni dialog damai dan bermartabat secara
nasional antara orang Papua dengan Jakarta.
“Mungkin
dialog Papua-Jakarta bisa menjadi Sup yang enak bagi rakyat Papua untuk
menyelesaikan masalah Papua di Injury time saat ini? Ya, semua itu tergantung
political will Presiden Jokowi,” pungkasnya. (nls/don/l03)
0 komentar:
Posting Komentar