Sesi 26 sidang HAM PBB (Jubi/Victor Mambor) |
Jenewa, 12/6 (Jubi) – Koalisi Internasional
untuk Papua (ICP) kembali menyampaikan pernyataan keprihatinan terhadap
pembatasan kebebasan berekspresi di Papua. Pernyataan ini disampaikan ICP
dihadapan sesi 26 sidang tahunan Dewan HAM PBB di Geneva, 11 Juni 2011.
ICP dalam pernyataan ini meminta perhatian
Dewan HAM PBB untuk meninjau pembatasan kebebasan berekspresi dan berkumpul
secara damai di Papua, Indonesia. Papua terbatas bagi para pengamat HAM
internasional, wartawan asing dan peneliti. Menurut ICP, pada 2013 jumlah
tahanan politik meningkat dua kali lipat, jumlah kasus penyiksaan yang
dilaporkan dan perlakuan buruk terhadap tahanan meningkat empat kali lipat, dan
jumlah kasus yang melibatkan penolakan akses untuk mendapatkan pendampingan
hukum dan pengadilan yang adil meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
“Peningkatan
ini disebabkan oleh meningkatnya kordinasi aktivitas politik damai di Papua
Barat hingga memicu respon polisi yang represif, yang mewakili serangan
konsisten dan mengkhawatirkan untuk hak berkumpul secara damai. Pada 2013,
setidaknya ada 19 kasus penangkapan yang dilakukan untuk mencegah, menangkap
atau menghukum pelaku demonstrasi damai. Data menunjukkan peningkatan frekuensi
penangkapan secara massal.” ujar Budi Tjahjono, anggota ICP dari Fransiskan
Internasional saat menyampaikan pernyataan ICP kepada Dewan HAM PBB.
Kepemilikan
Bendera Bintang Kejora, menurut ICP, semakin sering digunakan sebagai alasan
untuk penangkapan dan intimidasi. Data terbaru juga menunjukkan bahwa UU Darurat
12/1951, tentang kepemilikan senjata tajam, senjata api dan amunisi, terkadang
digunakan juga bersama tuduhan makar untuk meyakinkan pengadilan jika tidak ada
bukti yang kredibel atas tuduhan makar.
“Pada
2 April 2014, dua mahasiswa, Alfares Kapisa dan Yali Wenda ditangkap dan
disiksa oleh polisi saat keduanya, bersama beberapa mahasiswa menyerukan
pembebasan tahanan politik dan membuka ruang demokrasi di Papua dalam sebuah
demonstrasi damai. Mereka dipukuli, disetrum, diinjak-injak dan tidak mendapatkan
perawatan medis yang memadai. Polisi juga melecehkan para mahasiswa dengan
menyebut mereka “monyet.” tambah Budi.
ICP
menyebutkan, hingga akhir Mei 2014, setidaknya ada 79 tahanan politik di
penjara Papua. Tahun 2013 setidaknya ada 42 kasus intimidasi terhadap tahanan
yang dilaporkan.
ICP
juga menyebutkan wartawan di Papua menghadapi resiko penangkapan, ancaman dan
intimidasi. Menurut Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (Aliansi Jurnalis
Independen, AJI) Jayapura, pada tahun 2013, ada 20 kasus kekerasan dan
intimidasi terhadap wartawan di Papua. Jumlah ini meningkat dari 12 kasus yang
dilaporkan pada tahun 2012.
Situasi
pembatasan kebebasan berekspresi ini mendorong ICP merekomendasikan pemerintah
Indonesia untuk melakukan finalisasi amandemen KUHP Indonesia sehingga mematuhi
semua perjanjian hak asasi manusia, terutama kriminalisasi dan larangan
penyiksaan dan pembatalan Pasal 106 dan 110. Selain itu, pemerintah Indonesia
diharapkan meninjau kebijakan kepolisian di Papua dan pelatihan pasukan
keamanan untuk memastikan bahwa hak kebebasan berekspresi dan berkumpul secara
damai sepenuhnya dihormati. ICP juga merekomendasikan adanya pembebasan tanpa
syarat para tahanan politik Papua Barat sebagai bagian dari kebijakan yang
komprehensif untuk mengakhiri hukuman kebebasan berekspresi.
“Indonesia juga diharapkan memenuhi komitmennya
untuk menerima kunjungan dari Pelapor Khusus tentang Kebebasan Berekspresi dan
memfasilitasi akses terbuka dan bebas ke Papua.” tambah Budi.
Frank
La Rue, pelapor khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi saat ditemui usai sesi
dialog dengan misi negara dan Organisasi Non Pemerintah, mengatakan masalah
kebebasan berekspresi di Papua mendapatkan perhatian cukup besar dari dirinya
sebagai pelapor khusus. Terutama, karena dirinya sendiri tidak mendapatkan
kases untuk mengunjungi Papua beberapa tahun lalu.
“Saya tahu masalah kebebasan berekspresi di
Papua. Terima kasih sudah menyampaikan pernyataan yang sangat kuat. Tahun ini
mungkin saya tidak terpilih lagi sebagai pelapor khusus untuk Kebebasan
Berskpresi. Tapi masalah kebebasan berekspresi di Papua ini akan terus menjadi
perhatian pelapor khusus selanjutnya.” kata Frank La Rue kepada Jubi. (Jubi/Victor Mambor)
Sumber: http://tabloidjubi.com
0 komentar:
Posting Komentar