Herman Wayoi, tokoh pendiri
Partai Nasional Papua, 1960.
(Jubi/dam)
|
Jayapura, 20/5 (Jubi)-Mendiang
Herman Wayoi tokoh pendiri Partai Nasional Papua, 1960 menyebutkan hak dari
Papua Barat sebagai suatu negara dan bangsa juga memperoleh dukungan dalam
Hukum Internasional sebagai suatu bangsa jajahan baru di bawah prinsip-prinsip
hukum Internasional.
“Praktek-praktek seperti ini belum
pernah terjadi sebelumnya dalam hukum Internasional. Terakhir hanya Bangladesh
dan Eriteria merupakan pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dari praktek Hukum
Internasional,”tulis Herman Wayoi dalam makalah berjudul Quo Vadis Papua yang
diserahkan secara utuh kepada Presiden RI Ketiga Prof Dr BJ Habibie bersama tim
100 saat menghadap di Istana Negara di Jakarta, 25 Februari 1999.
Menurut Wayoi hak tersebut diberikan
dan berlaku jika negara paska kolonial membuat diskriminasi dan menekan suatu
kelompok tertentu di dalam negaranya.
“Negara dan bangsa Papua Barat
yang telah diserahkan dibenarkan di dalam kriteria seperti itu untuk
dekolonisasi paska kolonial,”tulisnya seraya menegaskan kenyataannya bahwa
tuntutan untuk menentukan nasib sendiri dalam situasi yang non kolonial atau
situasi paska kolonial semakin berkembang baik secara jumlah maupun
intensitasnya.
“Hal ini juga sama benarnya bahwa
penentuan nasib sendiri yang eksternal ( di dalam negara yang ada). Pemisahan
diri Bangladesh dari Pakistan Barat menggambarkan, kemungkinan tentang
penentuan nasib sendiri dalam situasi paska kolonial,”tulis Herman Wayoi.
Menurut tokoh Papua yang pernah
mendekam dalam penjara tahanan politik Pepera 1969 di Ifar Gunung, apa yang
disebut Penentuan Pendapat Rakyat tidak hanya suatu pelanggaran terhadap
aturan-aturan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) tentang
dekolonisasi, tetapi juga suatu tindakan yang tidak mempunyai dasar hukum dalam
Hukum Internasional.
“Oleh karena itu, Pepera
dinyatakan secara tepat sebagai ACT OF NO CHOICE(Tidak Ada Penentuan Pendapat
Rakyat). Klaim atau tuntutan Indonesia atas Papua Barat untuk itu, tidak
berlaku berdasarkan Hukum Internasional dan tidak memiliki efek hukum, “tulis
Herman Wayoi.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa
untuk alasan tersebut, maka PBB dan masyarakat Internasional perlu meninjau
dukungannya, Papua Barat adalah bagian dari Republik Indonesia dan mendaftarkan
kembali Papua Barat ke dalam daftar negara-negara yang belum merdeka.
Pdt Socratez Sofyan Yoman
mengatakan sampai saat ini masih saja terjadi diskriminasi misalnya dalam
dialog Aceh dan Pemerintah Jakarta. “Kalau Aceh bisa diberikan dialog
berkali-kali, mengapa rakyat Papua tidak diberi kesempatan dialog,”tulis Yoman
dalam bukunya berjudul Pepera 1969 di Papua Barat Tidak Demokratis. Dia
menegaskan kalau cara-cara ini masih tetap dipertahankan sampai kapan pun
program pemerintah terhadap Papua sulit berjalan mulus.
Bukan hanya itu saja, pendirian
partai politik lokal di Papua termasuk program rekonsiliasi dan pengadilan HAM
masih berjalan di tempat. Berbeda dengan Aceh, terdapat partai politik lokal
yang semuanya termasuk anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Gubernur Nangroe
Aceh Darusalam(NAD) adalah pentolan GAM. Kondisi ini jelas berbeda dengan Papua
untuk menjadi anggota MRP saja tak satupun bekas anggota Organisasi Papua
Merdeka(OPM) yang diberikan peluang. Apalagi anggota Dewan Adat Papua(DAP) yang
telah dilabeli separatis.
Pakar antropologi Indonesia, alm
Prof Dr Koentjaraninggrat dalam artikelnya berjudul Perang Suku Bangsa di
Yugoslavia menulis masalah hubungan antar suku bangsa dan agama di Indonesia
agak jauh lebih beruntung.
Hanya saja begawan antropolog itu
mengingatkan bahwa ada tiga hal yang maha penting yang senantiasa perlu
dihindari. Pertama, upaya memaksakan konsep mengenai nilai-nilai budaya kepada
penduduk yang dipandang “terbelakang” seperti yang masih dilakukan terhadap
penduduk bekas Provinsi Timor Timur dan Papua.
Kedua mendiskiriminasikan sesama warga bangsa Indonesia, seperti
yang secara sadar ataupun tidak sadar masih saja dilakukan. Ketiga, menjaga
agar kesenjangan antara daerah yang cepat maju dengan yang lambat maju tidak
menjadi terlalu besar. (Jubi/dominggus a mampioper)
Sumber: tabloidjubi.com
0 komentar:
Posting Komentar