Ilustrasi |
Jayapura,
3/4 (Jubi) – Thedorus Bitbit dan Noah Maryen ketika
memperkuat Pelita Jaya dalam Galatama di Indonesia sekitar 1990 an dilempari
kulit pisang saat bermain di dalam lapangan sepak bola. Jacksen F Tiago,
Pelatih Persipura meloncat kegirangan saat Nelson Allom mencetak gol kedua ke
gawang Rifki Mokodompit dari Sriwijaya FC karena menahan emosinya yang
disebabkan oleh teriakan rasialis suporter Arema yang menyamakan, manusia
dengan monyet, dalam sebuah pertandingan Indonesia Super League musim 2013.
Pada musim sebelumnya, Ortizan Solossa sampai naik pitam dan menyerang para
supporter Arema Indonesia di pinggir lapangan karena teriakan rasis yang sama.
Itu
di lapangan sepakbola yang sangat menjunjung sportifitas dan anti rasisme dan
terjadi di luar Tanah Papua. Seandainya di Tanah Papua, suporter paling extreme
sekalipun, seperti suporter klub sepakbola di Eropa Timur akan berpikir
beribu-ribu kali untuk mengucapkan kata-kata rasis kepada para pemain di
lapangan. Namun karena mereka adalah manusia yang punya kecenderungan tidak
pernah puas, mungkin mereka akan menulis di tembok-tembok kota atau ruang
publik lainnya. Di zaman teknologi informasi seperti sekarang ini, sifat
seperti itu menjelma lewat jejaring sosial seperti Facebook atau Twitter.
Bahkan, tidak jarang orang yang dianggap intelek pun bisa berubah menjadi tidak
beradab di jejaring sosial, karena misalnya, mengumpamakan Kota Jayapura ini
sebagai tempat untuk memelihara monyet, namun banyak pohon di tebang? Padahal,
menurutnya monyet seharusnya bergelantungan dari satu pohon ke pohon lain.
Sementara kita semua tau, Monyet atau Kera, anggota superfamilia Hominoidea dari
ordo Primata ini bukanlah satwa endemik di Tanah Papua.
Atau,
yang terkini, oknum anggota polisi yang mengucapkan kata “Monyet” pada massa
aksi demo damai Solidaritas Mahasiswa Peduli Tapol/Napol (SMPTN) saat
akan melakukan unjuk rasa di sekitar Gapura Kampus Universitas Cenderawasih
(Uncen), Waena, Kota Jayapura, Papua, Rabu (2/4) siang kemarin, seperti
diberitakan oleh media ini. Entah apa yang ada dalam kepala oknum anggota
polisi tersebut hingga mengeluarkan kata-kata seperti itu? Kita patut curiga, jangan-jangan
oknum polisi tersebut tidak punya kepala, seterusnya tidak punya otak dan
akhirnya tak punya akal. Wajar saja kita berpikir demikian, karena oknum polisi
saat mengamankan unjuk rasa di Papua lebih suka menggunakan peralatan lengkap,
termasuk menutup kepala mereka dengan helm. Siapa yang tau kepala mereka ada
atau tidak? Yang terlihat hanya helm yang dipasang diatas leher mereka.
Singkatnya,
semua kata “monyet” yang diucapkan oleh manusia lain kepada sesama manusia
adalah sebuah sarkasme untuk mengidentikan seseorang dengan hewan primata ini
secara fisik. Karena hampir di setiap kasus sarkasme “monyet” (dengan maksud
rasis) ditujukan kepada manusia ras Negroid.
Seperti
juga manusia, monyet bukan hanya punya fisik saja. Monyet juga punya sifat dan perilaku.
Wikimedia mendeskripsikan “Monyet” sebagai istilah untuk semua anggota primata
yang bukan prosimia (“pra-kera”, seperti lemur dan tarsius) atau kera, baik
yang tinggal di Dunia Lama maupun Dunia Baru. Hingga saat ini dikenal 264 jenis
monyet yang hidup di dunia. Tidak seperti kera, monyet biasanya berekor dan
berukuran lebih kecil. Monyet diketahui dapat belajar dan menggunakan alat
untuk membantunya dalam mendapatkan makanan.
Pengelompokan
monyet bersifat parafiletik, karena monyet Dunia Lama (Cercopithecoidea)
sebenarnya lebih dekat kekerabatan genetiknya dengan kera (Hominidae), daripada
monyet Dunia Baru (Platyrrhini). Monyet terbesar adalah mandrill. Beberapa
monyet dalam bahasa sehari-hari juga sering disebut sebagai kera.
Banyaknya
jenis monyet di dunia ini membuat para peneliti satwa (mungkin) kesulitan untuk
mendeskripsikan sifat dan perilaku monyet secara umum. Lebih mudah mengulik
sifat dan perilaku monyet dari Zodiak Cina atau bacaan populer tentang monyet,
sifat dan perilakunya.
Zodiak
Cina, mendeskripsikan monyet sebagai binatang yang mewarisi kecerdasan dan
kesanggupan manusia untuk menipu! Monyet dijadikan lambang penemu. Hewan
primata ini dianggap penuh inovasi, pandai berimprovisasi dan sanggup menarik
perhatian orang terhadapnya karena akalnya yang seribu satu macam dan daya
pikatnya yang tak dapat ditiru. Monyet diyakini mampu memecahkan masalah yang
ruwet-ruwet dengan gampang dan dapat belajar dengan cepat. Sejak berusia dini,
ia sudah memupuk keahlian bermasyarakat. Ia mengerti bagaimana cara bergaul
yang baik dan bagaimana cara membujuk orang lain untuk memperoleh apa yang
diperlukannya secara tepat. Inilah sisi positif monyet.
Segi
negatifnya? Di antara binatang shio lainnya dalam zodiak Cina, monyet adalah
hewan “superiority complex”, alias terlalu mengagungkan diri sendiri. Monyet
bisa menjadi mahluk yang egois, angkuh, dan sombong. Monyet juga punya rasa iri
yang tinggi. Hewan ini mempunyai rasa bersaing yang hebat, namun amat mahir
dalam menyembunyikannya dan dalam merencanakan tindakannya yang licik. Shio
Monyet dalam zodiak Cina digambarkan sebagai sifat tak tertandingi dalam
usahanya mengejar uang, sukses, atau kekuasaan. Karenanya, orang yang bershio
monyet diyakini sebagai manusia yang memiliki karakter yang teramat supel, yang
memiliki bakat istimewa buat menjadikan anda kita padanya, padahal sesaat
sebelumnya ia pernah mengakali kita.
Daya
cipta seekor Monyet dalam zodiak Cina ini tidak hanya mengarah pada ketrampilan
atau keahlian pikiran, tetapi juga mengarah pada kecenderungan untuk membelokan
kebenaran demi keuntungan mereka pada situasi tertentu. Dalam bermacam hal,
mereka membuat angan-angan dan kenyataan menjadi kabur, fakta dicampur
dengan fiksi, dan kebenaran dan kebohongan beriringan. Andaikata standar moral
“Monyet” yang tidak terlalu tinggi membuatnya menjerumuskan diri dalam suatu
kesulitan, maka kecerdasan, kelincahan, dan kelicikannya akan membuatnya mudah
memutar-balikkan kenyataan untuk menyelamatkan mukanya dan mencari dalih
untuk kepentingan diri sendiri.
Dalam
kepribadian seseorang bershio Monyet, satu-satunya yang tak pernah ketinggalan
dalam dirinya adalah rasa percaya diri. Tak peduli betapa pemalu atau jinaknya
pun tampangnya, ia akan berusaha sebaik-baiknya untuk memperlihatkan tingkah
laku yang baik, kesopanan yang terlatih, dan ketenangan yang meyakinkan. Ia
percaya sepenuhnya pada kemampuannya untuk menghadapi tantangan apa saja.
Namun
di alam nyata, monyet dikenal pandai mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa
susah-payah. Karenanya seekor monyet cenderung untuk cepat bosan dan kurang
menghargai apa yang sudah dimilikinya. Tentu saja, sikap ini juga dapat
mengganggu asmaranya. Untuk menjaga hubungan asmaranya ini Monyet, monyet
membutuhkan sedikit intrik dan banyak variasi. Terutama di waktu muda, Monyet
yang selalu ingin mencoba pengalaman baru mungkin kurang sanggup mempertahankan
sebuah hubungan serius jangka panjang. Bahkan ada beberapa antaranya yang suka
mengganggu hubungan orang lain dan menikmati kekacauan akibat ulah mereka.
Itulah
monyet dalam Zodiak Cina.
Cerita
tentang sifat monyet lainnya pernah dibahas juga dalam sebuah majalah Islam,
Sabili. Majalah ini mengulik sifat-sifat seekor monyet yang dianggap sama
dengan sebagian manusia. Manusia yang melupakan pendukungnya setelah
mendapatkan kekuasaan sangat mirip dengan sifat seekor monyet berwatak
sesukanya dan berlagak “malas tau”.
Monyet
adalah hewan yang tidak bisa diam karena tangan dan kakinya selalu bergerak
walau sekedar menggaruk-garuk kepala. Perilaku monyet ini sama dengan manusia
yang suka memprovokasi. Tak lebih dari biang kerok yang pandai memancing
keributan dan menambah permasalahan baru, untuk meraih kepentingan
pribadi atau kelompoknya. Monyet juga pandai berakting atau merekayasa
sesuatu untuk menutupi tindakannya yang merugikan orang lain.
Rakus
adalah sifat monyet lainnya yang ada pada manusia-manusia yang memanfaatkan
status dan posisinya untuk meraih keuntungan sebesar mungkin. Seekor monyet,
ketika ada kesempatan mengambil makanan, segera ia penuhi tangan kanan dan
kirinya, bahkan kedua kakinya. Sama dengan manusia yang tidak ada rasa malu dan
risih untuk meraup segala sesuatu selama status dan posisinya memungkinkan
untuk itu. Bahkan jika harus mengorbankan orang lain, akan dia lakukan dengan
kekuasaan yang dimiliki karena status dan posisinya itu.
Begitulah
sifat dan perilaku monyet. Sifat dan perilaku monyet memang cenderung berelasi
dengan “kekuasaan” dan “superiority complex”. Bukan dengan “Survivors” atau
“Victim”, terkecuali topeng monyet!
Jadi, siapa yang Monyet? Saya atau Kamu? (Jubi/Victor Mambor)
0 komentar:
Posting Komentar