TAPOL PAPUA (IST) |
Rilis
NAPAS untuk aksi serentak internasional 2 April menuntut pembebasan Tapol Papua
Jayapura, 2/4 (Jubi) – Setelah 15 tahun, hampir 16 tahun,
reformasi Indonesia, yang pernah membebaskan tahanan politik di masa Orde Baru,
orang-orang Papua yang menjadi tahanan politik justru bertambah. Ditengah hiruk
pikuk pemilu 2014 di Indonesia, represi terus meningkat di Papua sehingga
menambah banyak orang-orang yang ditahan atas dasar motivasi politik. Tidak
adanya ruang berekspresi dan beraspirasi secara bebas di Papua, serta
penambahan jumlah tahanan politik tersebut, belum satupun menjadi perhatian
para calon legislatif dan calon-calon presiden dalam pemilu 2014.
Saat
ini sebanyak 76 orang-orang Papua menjadi tahanan politik di berbagai penjara
Papua*. Dalam waktu hanya setahun, sejak April 2013, website orang-orang Papua
di balik jeruji telah mencatat penambahan tahanan politik di Papua sebanyak dua
kali lipat. Per 31 Maret 2013 sebanyak 40 orang tahanan politik ada dalam
penjara Manokwari, Sarmi, Timika, Serui, Abepura, Biak, Wamena, dan Nabire. Per
Februari 2014 setidaknya bertambah sebanyak 36 tahanan politik, yang tersebar
di berbagai lokasi tahanan kepolisian seperti di Yapen, Jayapura, Puncak Jaya,
Polda Papua, dan Sarmi, selain di tempat-tempat yang sama dimana tahanan
politik sebelumnya berada.
Hentikan stigma, perbaiki layanan, dan tegakkan HAM
Rakyat
Indonesia dan semua lembaga yang mau membuka hati dan pikirannya perlu
mengetahui keberadaan tapol, sejarah tapol-napol Papua, yang disiksa, ditolak
akses terhadap pendampingan hukum, dipaksa untuk mengaku, dan segala macam
bentuk pelanggaran HAM lainnya. Keberadaan para tahanan politik ini tidaklah
mesti diingkari seperti pernyataan Menkopolkam Indonesia, Djoko Suyanto bahwa
yang ada dalam tahanan di Papua hanyalah para pelaku tindak pidana yang
menjalani pembinaan.
Pada
diskusi yang diselenggarakan NAPAS terkait keberadaan dan situasi Tapol di
Papua, tahun lalu, Dirjen Lapas Kemenkumham, melalui biro komunikasinya Akbar
Hadi, menyatakan bahwa pihak Lapas di Papua memiliki prosedur memadai dalam
memperlakukan para tahanan. Menurutnya, mereka tidak kenal istilah kategori
tapol dan yang lainnya, dan hanya berkewajiban memberi layanan memadai. Namun
Akbar Hadi juga mengakui bahwa layanan kesehatan adalah persoalan paling serius
di Lapas karena kurangnya dana.
Memang
alasan yang klise karena kita tahu dana yang mengalir melalui otsus ataupun
UP4B seharusnya bisa dipergunakan untuk memperbaiki layanan. Masalahnya ada
pada stigma separatis yang terus dicitrakan oleh pemerintah Indonesia sehingga
memperburuk situasi dan kondisi tahanan politik di Papua. Seperti ada
kesengajaan membiarkan tahanan politik ini sakit-sakitan, bahkan meninggal
tanpa pengobatan.
Sebetulnya
pemerintah Indonesia sudah mengesahkan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik melalui UU No.12/2005, termasuk pengesahan Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau
Merendahkan Martabat Manusia melalui UU No. 5/1998. Namun seluruh kasus makar
yang diproses lewat lembaga pengadilan Negara di Papua, tetap saja menggunakan KUHP
Nomor 107 dan Undang-Undang Darurat Nomor 5 Tahun 1951 yang bernuansa pidana.
Status para tersangka, maupun mereka yang menjalani masa hukuman di penjara
dalam kasus-kasus makar, tak ada bedanya dengan para narapidana lain yang
melakukan tindak kriminal lainnya seperti pencurian, pemerkosaan dan lain
sebagainya.
Ubah pendekatan
Sudah
terbukti bahwa kebijakan apapun yang diputuskan oleh pemerintah pusat di
Jakarta dan di Papua tidak menyelesaikan persoalan kemanusiaan di Papua selama
pendekatannya tidak diubah. Pendekatan yang terus dipertahankan saat ini
adalah represi dan anti dialog. Ruang demokrasi untuk berkumpul dan menyatakan
pendapat tidak diberikan, bahkan akses untuk pemberitaan dan pemantauan
internasional juga dihambat.
Bila
pendekatan seperti ini terus yang dipertahankan, maka akan semakin banyak jatuh
korban, semakin tinggi angka pelanggaran HAM dan semakin sulit meyakinkan
rakyat Papua untuk percaya pada pemerintahan di Indonesia. Sesungguhnya
pendekatan seperti inilah yang membuat semakin berkembang kehendak rakyat
Papua, khususnya yang merasakan langsung penindasan ini, untuk memisahkan diri.
Tekanan internasional
Dalam
hearing dengan Sub Komite HAM Parlemen Eropa, 23 Januari 2014, NAPAS menghimbau
dihadapan duta besar Indonesia untuk Uni Eropa agar pemerintah Indonesia
mengakui bahwa keadaan HAM di Papua sangat serius. Keberadaan Tapol, tidak
adanya kebebasan berkumpul dan berekspresi serta pembatasan akses jurnalis
adalah indikator utama.
Sebanyak
16 anggota Parlemen Eropa membuat pernyataan sikap dan rekomendasi kepada
CATHERINE ASHTON, pejabat yang bertanggung jawab atas Kebijakan Luar Negeri dan
Keamanan Uni Eropa, terkait kemendesakan situasi di Papua. Salah satu
rekomendasinya terkait keberadaan tahanan politik adalah: menyerukan kepada
pemerintah Indonesia untuk membebaskan semua tahanan politik dan menghentikan
penangkapan terhadap orang-orang yang melakukan aktivitas politik damai dengan
tuduhan kriminal seperti pasal makar 106 dalam KUHP.
Tapol
Inggris, suatu lembaga yang mendukung demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia
menyerukan aksi solidaritas serentak internasional menuntut pembebasan Tapol
Papua. Aksi dilakukan tanggal 2 April bersama-sama dengan Amnesty International
UK, Survival Internasional dan Free West Papua Campaign di depan Kedubes
Indonesia. London Inggris. Napas mendukung seruan ini dengan melakukan dialog
dengan Palang Merah Internasional (ICRC) wilayah Indonesia dan Yimor Leste di
waktu yang sama.
Jika
kita menghendaki perubahan yang lebih baik di Indonesia, maka wajah Papua harus
dibersihkan dari duka, dendam, darah dan air mata. Apa lagi yang kita tunggu?
Saatnya semua pihak yang pro perubahan, dan para politisi serta aktivis yang
hendak mencalokan diri menjadi anggota legislatif dan presiden, memasukkan
agenda ini ke dalam cakrawala pikiran dan program perjuangan mereka:
Membebaskan
semua tahanan politik yang berada di penjara-penjara di Papua serta membuka
kembali peluang upaya dialog damai dengan rakyat Papua.
Menjamin hak-hak tapol, napol terhadap akses kesehatan dan pelayanan hukum.
Menjamin hak-hak tapol, napol terhadap akses kesehatan dan pelayanan hukum.
Jakarta, 2 April 2014
National Papua Solidarity (NAPAS)
Zely
Ariane
Koordinator
Sumber:http://tabloidjubi.com
0 komentar:
Posting Komentar