Irian atau Papua hanya sebuah nama(Jubi/ist) |
Jayapura, 11/4 (Jubi)-Sejarawan LIPI Asvi
Warman Adam dalam artikelnya berjudul, “Kembalikan Irian Pada Bangsa
Indonesia.” Berharap agar parlemen yang baru dipilih pada 9 April 2014, segera
merevisi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus, sehingga Papua kembali menjadi
Irian.
Bagi dia penggantian nama Irian itu sama saja dengan menghilangkan
sejarah perjuangan merebut Irian Barat dari penjajah Belanda. Begitu tulis Asvi
Warman Adam di kolom Tempo, Jumat 11 April lalu.
Hal itu menurutnya telah disinggung oleh Presiden Sukarno, tepat delapan
belas hari setelah pengibaran Bintang Kejora di seluruh tanah Papua pada 1
Desember 1961. Salah satu perintahnya dalam Tri Komando Rakyat (Trikora) pada
19 Desember 1961 adalah mengibarkan Merah Putih di seluruh Irian Barat.
Jadi menurut pakar sejarah LIPI yang akan direbut dari Belanda adalah
Irian Barat dan bukan Papua.
Mendiang tokoh Papua Merdeka yang bertahun-tahun tinggal di Belanda,
Markus Kaisiepo juga pernah mengusulkan hal yang sama. Dalam Surat Pembaca yang
ditulisnya kepada Surat Kabar Penyuluh di Brisbane Columbia Camp, Australia, 8
September 1945 silam, dia menuliskan dua poin berikut:
1. Kepada Pemerintah Belanda supaya berubah sikap, cara bekerja dalam pemerintahan dan politik, sehingga orang Papua juga diberi kesempatan belajar/pendidikan, lapangan pekerjaan di pemerintahan dan swasta, maka politik penjajahan jangan dipakai lagi dalam zaman baru, zaman persamaan hak sesudah Perang Dunia Kedua ini. Mungkin orang Papua tidak diberi kesempatan bekerja, belajar dan lain-lain. Oleh sebab nama Papua yang tidak diketahui artinya yang menyebabkan putera-puteri di daerah ini tidak diberikan kesempatan kerja di segala bidang pembangunan masyarakat, sehingga masyarakat di daerah ini ditinggalkan berabad abad lamanya.
2. Bagi saudara-saudara bangsa Indonesia dan perbuatan sesuai dengan
zaman baru, zaman kemerdekaan, zaman persamaan hak dan zaman persaudaraan ini.
Jangan monopoli pekerjaan, pendidikan dan perusahaan dalam pemerintahan atau
pun swasta, karena selama masalah-masalah ini masih ada, maka persatuan dan
kesatuan serta persaudaraan tidak ada. Zaman kemerdekaan, zaman perubahan sudah
tiba, maka nama Papua pun tidak diingini oleh putera-puterinya, karena mungkin
dengan nama itu. Pemerintah Belanda dan saudara-saudara bangsa Indonesia tidak
memberikan kesempatan kerja, belajar dan bergerak lainnya bagi orang Papua.
Maka dengan perantaraan surat kiriman ini kami serukan agar nama yang boleh
dipakai sesuai dengan keadaan iklim daerah ini ialah: Irian yang artinya panas
sebagai pengganti nama Papua.
Tapi sejarah mencatat, nama Irian Barat tidak
bertahan lama, pada Maret 1973 Presiden Soeharto mengubahnya menjadi Irian
Jaya, bertepatan dengan peresmian produksi pertama tambang tembaga PT Freeport.
Nama Irian terus melekat dan seiring waktu, orang merasa takut menyebut Papua.
Terkecuali kalau menyebut Papua New Guinea negara tetangga yang sudah merdeka
pada 16 September 1975.
Pasalnya di era Orde Baru, sebutan Papua identik dengan separatis,
yang berarti anti pemerintah. Tak pelak lagi, penyetujuan pemakaian nama Papua
oleh Gus Dur merupakan sebuah keberanian moral tersendiri di tengah banyaknya
tantangan. Terutama, dari Departemen Dalam Negeri yang menaruh kekhawatiran.
Apalagi nama Papua melekat dan berasosiasi pada Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Antropolog JR Mansoben dalam disertasi berjudul Sistem Politik
Tradisional di Irian Jaya menyebutkan, kalau nama pertama yang dipakai untuk
menamakan penduduk dan Pulau Nieuw Guinea dalam laporan tertulis ialah nama
Papua.
Ada beberapa pendapat mengenai soal dari mana kata atau nama Papua itu
berasal, misalnya antara Pijnappel (1854) dan Earl (1853). Polemik mereka
berakhir tanpa kesesuaian pendapat. Earl (1853) dan para ahli yang mempunyai
pendirian yang sama berpendapat bahwa nama tersebut berasal dari bahasa Melayu
yaitu dari asal kata pua-pua yang berarti keriting.
Sebaliknya Pijnappel dan para ahli lain yang mendasarkan
argumentasinya atas pendapat Miiller dan Kamus Marsden, berpendirian bahwa kata
Papua tidak berasal dari bahasa Melayu karena asal kata pua-pua tidak terdapat
di dalam Melayu.
Jadi, menurutnya nama tersebut berasal dari salah satu bahasa penduduk
Pulau New Guinea sendiri atau dari bahasa Alfura yang penduduknya telah lama
berhubungan dengan penduduk Pulau New Guinea, jauh sebelum orang Melayu datang
ke tempat ini (Pijnappel 1854: 351,352).
Pendapat terakhir tentang asal usul nama Papua berasal dari Sollewijn
Gelpke (1993:318-332). Gelpke melakukan penelusuran dengan bersandar pada
laporan-laporan Portugis dan Spanyol pada abad ke-15, serta tinjauan kritis
terhadap etimologi kata Papua dalam kamus Crawfurd (1856:135, 148, 299) dan
kamus Wilkinson (1932), Sollewijn Gelpke tiba pada
pendapat yang sama dengan pendapat sementara Kamma yang dimuat dalam
karangannya (1954), bahwa istilah atau nama tersebut berasal dari bahasa Biak,
dari kata-kata sup i babwa yang berubah dalam dialek Biak di Raja Ampat menjadi
sup ipapwa yang berarti tanah atau negeri di bawah, ialah tanah atau negeri
yang terletak di tempat matahari terbenam.
Nama yang mula-mula dipakai oleh orang Biak di
Kepulauan Raja Ampat untuk menamakan tanah atau pulau-pulau di sebelah
baratnya, tempat matahari terbenam, itulah yang lambat laun berubah menjadi
istilah atau nama Papua yang digunakan untuk menamakan Pulau Nieuw Guinea dan
penduduknya (Sollewijn Gelpke 1993:326,330).
Lepas dari pendapat mana yang benar dan mana yang salah telah menjadi
fakta bahwa istilah atau nama Papua telah digunakan untuk menamakan Pulau Nieuw
Guinea dan penduduknya berabad-abad lamanya. Baik di Papua jajahan Belanda
maupun Papua New Guinea jajahan Inggris dan Australia.
Mengutip pendapat Kaisiepo nama Irian yang berasal dari bahasa Biak
dan juga Gelpke tentang nama Papua yang juga berasal dari bahasa Biak/Raja
Ampat. Ini artinya kedua nama ini sudah tidak asing, bagi masyarakat di Tanah
Papua. Apalah arti sebuah nama kalau praktek-praktek pasca kolonial masih saja
terjadi, setelah Papua kembali ke dalam genggaman Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Gus Dur dalam mengusulkan nama Papua pernah bertanya kepada Freddy Numbery
sebagaimana ditulis di buku berjudul “Quo Vadis Papua”. Berikut kutipan dialog
antara Numbery dan Gus Dur:
“Pak Freddy, apakah dengan mengembalikan nama Papua, akan berdampak
kepada rakyat Papua untuk minta merdeka?”
”Bapak Presiden, justru hal ini merupakan obat mujarab, satu momentum
untuk kembali merebut hati dan pikiran orang Papua, bahwa bangsa yang besar ini
bangsa Indonesia, peduli dengan saudara-saudaranya di Tanah Papua ”begitu jawab
Numbery. kemudian, Gur Dur berkelakar, “Gitu Saja Kok Repot.”
Pada 1 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid memperbolehkan
pemakaian kembali nama Papua untuk menggantikan nama Irian Jaya. Kebijakan ini
jelas cukup berimplikasi terhadap peraturan-peraturan pemerintah yang telah
mencantumkan nama Irian Jaya.
Menteri Dalam Negeri saat itu, Hari Sabarno , usai Rapat Kerja (Raker)
pembahasan RUU Otonomi Khusus Irian Jaya yang dipimpin Ferry Mursyidan,
mengatakan pada prinsipnya pemerintah tidak keberatan terhadap penggunaan nama
Papua bagi provinsi yang sekarang bernama Irian Jaya.
Namun menurutnya, ada berbagai implikasi lokal dan internasional yang
patut dipertimbangkan. Karena itu, persoalan ini harus dikonsultasikan dengan
jajaran menteri di bawah Menkopolhukam.
Sejak awal memang pemerintah telah menolak penggantian nama Provinsi
Irian Jaya menjadi Provinsi Papua. Alasannya, secara historis masyarakat di
Provinsi Irian Jaya telah memilih nama Irian bagi daerah itu.
Hari Sabarno ketika itu berdalih belum ada usulan resmi dari DPRD
Provinsi Papua, dan Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 2000 masih menyebut nama
Provinsi Irian Jaya.
Namun, bekas Wakil Ketua Pansus, Ferry Mursyidan Baldan dari Fraksi
Partai Golkar mengemukakan, formalitas undang-undang dan ketetapan MPR tidak
perlu dipermasalahkan.
Rujukannya, Aceh yang dalam ketetapan MPR disebut sebagai Provinsi
Aceh akhirnya pada Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh berganti nama menjadi
Nangroe Aceh Darussalam.
Begitupula mantan anggota DPR RI Alex Hesegem, berpendapat bahwa penggantian
nama Irian Jaya pada tahun 1973 juga tidak ditetapkan melalui undang-undang,
hanya melalui peraturan pemerintah. Penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua
merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar. Pemaksaan nama Irian Jaya justru
bisa menjadi pelecut tuntutan kemerdekaann (Timika Pos, 7 Oktober 2011).
Mendiang mantan Gubernur Papua J.P. Solossa, mengatakan, pemerintah
pusat hendaknya tidak menaruh kecurigaan berlebihan terhadap Otonomi Khusus
Papua yang sedang dibahas Pansus DPR RI. Otonomi Khusus justru akan menjadi
pengikat dan pemersatu negara kesatuan RI.
Kekhawatiran yang berlebihan itu justru akan menunjukan pemerintah
pusat masih berorientasi pada paradigma lama, mencurigai perbedaan dan
keragaman dengan pendekatan sentralistik. Pendekatan seperti itu adalah
paradigma Orde Baru yang justru dapat menimbulkan desintegrasi bangsa. (Jubi/dominggus a mampioper)
Sumber: tabloidjubi.com
0 komentar:
Posting Komentar