Tuan: Benny Wenda |
OnewsPapua,-- 50 tahun perjuangan Papua Barat
ingin melepaskan diri dari Indonesia adalah satu diantara konflik terpanjang
yang hingga kini masih terjadi di dunia. Aktivis di pengasingan Benny Wenda
mencoba menarik perhatian dunia.
Mengenakan kaos bermotif Papua, potongan Benny
Wenda gampang dikenali di jalanan Melbourne. Kini dia sedang menjalani tur
dunia terbaru, mencoba menarik perhatian dunia.
Ada perasaan hening penuh damai sekaligus keputusasaan
saat dia menjelaskan situasi yang dialami rakyat Papua Barat.
“Anda tidak bisa berburu dan berkebun setiap hari,
ke manapun anda pergi ada pos penjagaan militer, di mana-mana,“ kata dia. “Ke
manapun anda pergi, intel mengawasi dan memonitor apa yang anda kerjakan.“
Papua Barat dulunya adalah bekas koloni Belanda, yang secara efektif diserahkan kepada pemerintah Indonesia pada tahun 1962 melalui perjanjian yang dibuat oleh Amerika. Melalui referendum kontroversial pada tahun 1962, Indonesia mengontrol penuh wilayah itu. Hingga sekarang konflik masih berlanjut antara Organisasi Papua Merdeka OPM dengan tentara Indonesia.
Bukan Tanpa Alasan
Wenda lahir di desa Baliem di pusat dataran tinggi
Papua Barat pada tahun 1975. Dia mengatakan, dirinya secara terpaksa sejak muda
menyaksikan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pasukan keamanan
Indonesia.
“Bibi saya diperkosa di depan mata saya,“ kata dia.“Ibu saya dipukuli di depan saya. Saat itu saya berusia lima tahun. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya menangis.”
“Bibi saya diperkosa di depan mata saya,“ kata dia.“Ibu saya dipukuli di depan saya. Saat itu saya berusia lima tahun. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya menangis.”
Ketika militer Indonesia membombardir desa Benny
pada akhir 1970 an, keluarganya bersama ribuan orang lainnya dipaksa hidup
bersembunyi di hutan.
Pengalaman inilah yang mengobarkan semangatnya untuk mencari kebenaran dan mencoba memerdekakan rakyatnya dari penindasan.
“Saat itulah saya berdiri dan mengatakan: ini tidak adil,” kata Wenda. ”Saya sekolah, belajar dan mulai berjuang untuk kemerdekaan rakyat saya.“
Wenda menjadi seorang pemimpin perwakilan sukunya pada tahun 1999, selama periode yang dikenal sebagai “Musim Semi Orang Papua,” masa ketika semakin banyak aksi damai menuntut kemerdekaan.
Tak lama kemudian dia dipenjara, ditangkap karena
dituduh ikut merencanakan penyerangan sebuah kantor polisi dan membakar dua
toko dalam kerusuhan tahun 2000. Dia menyebut penahanan itu bermotif politik
dan pengadilan atas dirinya adalah pengadilan yang tidak adil. Organisasi Fair
Trials International mendukung klaim Wenda.
Ketika di penjara, ia menulis sebuah lagu bagi para
pendukungnya. Salah satu lirik lagu itu berisi: “Bagaimana sekarang saya bisa
menolong rakyat jika saya terkurung?”
Setelah beberapa bulan dalam tahanan isolasi, Wenda
berhasil melarikan diri. Dia kabur ke Papua Nugini dan kemudian dengan dibantu
oleh LSM Eropa melakukan perjalanan ke Inggris, di mana ia kemudian mendapatkan
suaka politik.
Kampanye Perubahan
Dalam pengasingan, Wenda mendirikan “Papua Barat
Merdeka“ yang berkampanye menuntut penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua
Barat dan diakhirinya pelanggaran HAM, yang kata dia semakin memburuk. Tahun
lalu saja, 22 aktivis tewas dibunuh., tambah Wenda.
Beberapa kalangan memperkirakan sebanyak setengah
juta orang Papua terbunuh sejak Indonesia mengambil alih wilayah itu, dan
organisasi HAM terus menerima laporan mengenai pelanggaran yang dilakukan
tentara Indonesia.
“Situasi HAM semakin memburuk setiap hari,” kata Wenda. ”Orang Papua Barat kini sekarat di atas jalanan di tangan polisi. Dengan membunuh orang Papua mereka mendapat pangkat dan promosi.”
Banyak kepentingan Indonesia dan dunia di Papua
Barat yang didasari atas kekayaan alam wilayah itu, dengan mengeksploitasi
emas, tembaga, minyak dan penebangan hutan. Kepentingan ekonomi ini, sejalan
dengan kepentingan strategis banyak Negara, sehingga membuat isu Papua Barat
jauh dari sorotan.
Menyebarkan Kata
Wenda kini mendorong akses lebih besar bagi media
asing dan organisasi HAM agar bisa bekerja di Papua.
“Selama 50 tahun terakhir para
wartawan (asing-red) dilarang masuk,“ kata dia. “Kenapa Indonesia takut
membolehkan para wartawan? Apakah mereka sedang menyembunyikan sesuatu? Jika
mengkampanyekan demokrasi, maka sebuah negara demokratis seharusnya boleh bagi
wartawan manapun.”
Kedutaan Indonesia di Australia menolak permintaan Deutsche Welle untuk memberi komentar atas pernyataan Benny Wenda. Mengenai akses media ke Papua Barat mereka mengatakan tidak ada larangan bagi media asing, sambil menambahkan bahwa dua tahun terakhir ada enam wartawan yang diperbolehkan berkunjung ke sana.
Sebagai pemimpin politik di
pengasingan, Benny Wenda terus menerima informasi dari para pemimpin di dalam
Papua Barat dan dia menggunakan kampanye internasional untuk membawa pesan
mereka kepada para politisi dan komunitas di seluruh dunia.
Sumber: http://www.dw.de
0 komentar:
Posting Komentar