Nabire — Sebuah organisasi pro Papua Merdeka yang berbasis di Australia mengkritik pernyataan Perdana Menteri Prancis, Gabriel Attal yang menyatakan akan mengambil tindakan tegas terhadap perusuh di Kaledonai Baru.
Australia West Papua Association (AWPA) mengatakan bahwa komentar Perdana Menteri Prancis itu yang menyatakan Paris akan “menunjukkan ketegasan terhadap para penjarah dan perusuh serta memperberat sanksi” merupakan pernyataan yang “picik” dan tidak “melihat penyebab utama dari protes tersebut”.
“Prancis harus mendengarkan orang-orang Kanak,” kata organisasi tersebut dalam sebuah pernyataan sebagaimana laporan RNZ Pacific.
Jo Collins dari AWPA mengatakan “seperti semua kekuatan kolonial di manapun di dunia, respon pertama terhadap apa yang dimulai sebagai protes damai adalah mengirim lebih banyak pasukan, mengumumkan keadaan darurat dan tentu saja menuduh kekuatan asing sebagai pemicu kerusuhan”.
Dia mengatakan bahwa kerusuhan tersebut disebabkan oleh Prancis sendiri.
Sebelumnya, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) juga mengutuk kebijakan kolonial Prancis yang mengakibatkan ketegangan keamanan dan hilangnya nyawa sebagaimana laporan yang diterima belum lama ini.
“Kami mendukung posisi FLNKS dalam menentang proyek kolonial Prancis. Seperti halnya Papua Barat, sebagaimana yang ditengahi terkait persoalan Papua oleh Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia tanpa konsultasi dengan penduduk asli Papua Barat pada awal tahun 1960-an – dan kemudian memilih segelintir pemimpin Papua Barat untuk memberikan suara di bawah paksaan yang disebut sebagai tindakan pilihan bebas,” kata Markus Haluk, Sekretaris Eksekutif ULMWP.
Kata Haluk, pihaknya memahami dampak dari pemungutan suara oleh majelis nasional Paris terhadap hak penduduk pribumi Kanak.
“Kami memahami dampak yang signifikan dari pemungutan suara di Majelis Nasional Paris terhadap penduduk asli setempat. Oleh sbeba itu kami menyadari pentingnya kekuatan rakyat dan mengakui pentingnya persatuan dan ketahanan di tengah-tengah tantangan yang akan dating,”Haluk.
Serupa disampaikan Pdt. James Bhagwan, Sekretaris Umum Konferensi Gereja Pasifik (PCC) bahwa Prancis harus menghormati perannya yang tidak memihak dalam proses dekolonisasi dengan segera menarik RUU konstitusional untuk membekukan pemilihan dan segera memulai proses dialog yang sesuai, yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral.
Ia juga memnita agr PBB untuk memimpin misi dialog yang tidak memihak dan kompeten untuk memantau secara kritis situasi yang mengkhawatirkan di negara (Kaledonia) tersebut.
Ia bahkan meminta agar gereja-gereja anggota PCC untuk mendoakan dan bersolidaritas terkait persoalan yang dihadapi rakyat Kanak.
“Gereja-Gereja anggota kami [PCC] dan dewan-dewan gereja nasional, dan kepada mitra regional dan global, untuk doa dan solidaritas dalam mendukung suara rakyat di wilayah ini dan di dunia internasional.”
“Lebih lanjut kami menyerukan kepada Dewan Gereja Dunia, melalui Komisi Gereja-gereja untuk Urusan Internasional agar menjadikan isu ini sebagai prioritas dalam pekerjaannya melalui keterlibatan dengan Pemerintah Perancis dan Komite PBB untuk Dekolonisasi (Komite C24 dan Komite 4) di kantornya di Jenewa dan New York,” pungkas Pdt. Bhagwan.
Bendera Kaledonia Baru/Kanaky (dari kiri), dan bendera Papua Barat, serta Aborigin. Anggota Australia West Papua Association melakukan protes di luar Balai Kota Leichhardt Sydney pada Hari Kemerdekaan Papua Barat pada 1 Desember 2022. (Dog AWPA - Suara Papua)
Sumber: Suara Papua
0 komentar:
Posting Komentar