Mengenakan koteka, Mahasiswa mulai marak ikut proses studi di Kampus Uncen, USTJ, juga Umel Mandiri. Dosen tegur. Beberapa Mahasiswa/i melihatnya jijik. Yang lain merasa minder/malu. Barangkali yang lain mengira ini manusia gila, tak bertetika, atau sekedar mencari sensasi.
Lalu mereka menjawab. Saya justru kagum pada jawaban mereka, yang menunjukkan mereka memiliki basis argumentasi kuat, dalam menghadapi beragam pandangan di kampus:
Pertama, mereka menyatakannya sebagai busana diri. Kedua, mereka lantas mengakui sebagai aksi menolak eksploitasi busana koteka. Ketiga, secara fungsional, mereka merasa nyaman belajar dengan mengenakan busana koteka. Keempat, tentu sebagai upaya melestarikan budaya leluhur.
Saya lihat mereka berangkat dari perenungan yang mendalam, dengan kecintaan besar terhadap jati diri mereka sebagai manusia Papua. Sementara, pihak yang mandangnya "tidak beretika" datang dengan kooptasi etika moderen: berpakaian.
Etika benar dan salah bersumber dari pikiran manusia. Dibentuk oleh peradaban yang berkuasa. Sehingga kalau berpakaian milik budaya barat (eropa) adalah beretika, maka kita hendak bilang busana koteka yang berkembang dalam perabadan orang Papua itu tidak beretika.
Lalu, barangkali kita hendak bilang koteka biar hanya menjadi simbol (stereotip). Hanya boleh menjadi bahan pertunjukkan di acara-cara. Atau hanya sekedar mode dalam seni photography. Dan lebih gila, koteka adalah busana kuno, yang dipandang sebagai simbol ketertinggalan, kebodohan, tidak beradab.
Gerakan Mahasiswa ini (saya katakan gerakan karena memiki visi), hendak menolak dan mengembalikan pandangan buruk terhadap identitas busana diri mereka. Pertanyaanya, apakah itu memiliki dampak dalam mengembalikan (melestarikan) budaya leluhur?
Dari dasar argumentasi mereka, tentu memiliki dampak. Mereka memiliki visi untuk menghentikan pakaian dengan segala macam mode yang lambat laun merubah kesadaran (nilai-nilai diri) manusia Papua. Merubah paradigma orang-orang Papua yang terus menjadi budak mode (fashion) dari luar.
Ketika anak muda milenia tenggelam dalam budaya hedonis, huru-hara, yang mengukur kemanusiaan dari produk penampilan moderen. Yang jelas-jelas, tidak hanya mode (fashion), tetapi diikuti dengan rias wajah, kulit, dan rambut. Kriting dipaksa lurus, Hitam dipaksa jadi putih. Lalu dari yospan menuju goyang Patola, dll.
Disitulah Papua kehilangan kesadaran diri sebagai manusia Papua. Tidak hanya kehilangan identitas diri, tetapi nilai-nilai, yang membuat kita menjadi manusia robot yang dalam tingkah laku hendak dikontrol oleh ideologi penguasa kolonial dan kapitalis (imperialis).
Saya kagum pada Mahasiswa Devio Tekege, Adewereknak Arebo, Hoseri Edoway dan Albertus dalam makna perlawanan melawan dikotomi-dikotomi, stigma-stigma, bahkan teori-teori hegemoni yang dibangun dan bertumbu subur dalam dan diluar kampus-kampus di Papua.
Sumber : Victor Yeimo (Ketua Umum KNPB Pusat)
0 komentar:
Posting Komentar