Edison Matuan (21) Korban yang diduga meninggal karena dianiaya polisi di Wamena. (Elisa Sekenyap - SP) |
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Penganiayaan hingga meninggal
dunia yang menimpa Edison Matuan di Wamena, Jayawijaya, Papua, Kamis
(12/1/2017), merupakan bukti tindak kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi
Manusia masih subur di Tanah Papua.
Penegasan ini
dikemukakan Jaringan Advokasi Penegak Hukum dan HAM Pegunungan Tengah
bersama Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta dalam
siaran pers di Jakarta, 16 Januari 2017 lalu.
Theo Hesegem, ketua
Jaringan Advokasi Penegak Hukum dan HAM Pegunungan Tengah, mengungkapkan
kronologi kejadian, Edison menjadi korban kekerasan aparat setelah
dianiaya berkali-kali oleh lima anggota Polres Jayawijaya hingga
meninggal dunia.
Dari kejadian itu, ia menilai aparat penegak
hukum tak bisa menghentikan budaya kekerasan oleh aparat keamanan
terhadap masyarakat sipil Papua.
Kata Theo, ini bukti tiadanya
langkah tegas dari Presiden dalam menghentikan segala tindak kekerasan
dan bentuk pelanggaran HAM di Tanah Papua.
“Jaringan Advokasi
Penegak Hukum dan HAM Pegunungan Tengah dan ELSAM Jakarta mendesak
Presiden Joko Widodo untuk segera memerintahkan Kapolri untuk segera
memanggil Kapolda Papua untuk memastikan dilakukannya pemberhentian
secara tidak hormat terhadap anggota Polresta Jayawijaya yang terlibat
melakukan penganiayaan terhadap Edison Matuan,” demikian bunyi pertama
tuntutannya.
Kapolri juga harus segera melakukan proses hukum
(pidana) terhadap anggota Polresta Jayawijaya yang terlibat melakukan
penganiayaan terhadap Edison Matuan. Selain itu, Menkopolhukham diminta
untuk memfasilitasi dilakukannya mekanisme pemulihan bagi keluarga
korban kekerasan dan pelanggaran HAM di Wamena.
“Kami mendesak
pimpinan lembaga-lembaga negara terkait seperti Komnas HAM, Kompolnas
agar bersinergi sesuai fungsi masing-masing dalam penanganan kasus
kekerasan ini.”
Tuntutan kelima, segera mengambil langkah-langkah
dan kebijakan konkrit untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan
pelanggaran HAM yang terjadi di Papua maupun Papua Barat.
Selain
mendesak segera melakukan evaluasi terhadap keberadaan korps keamanan di
Papua dan Papua Barat, dua LSM ini juga minta Kapolda Papua dan Papua
Barat agar menginstruksikan kepada seluruh jajarannya di wilayah hukum
Papua dan Papua Barat untuk taat pada code of conduct
Kepolisian Republik Indonesia, tak terkecuali dalam mengemban tugasnya
wajib menghormati nilai-nilai hak asasi manusia tiap orang Papua.
Kekerasan Tragis
Edison
Matuan awalnya ditangkap oleh sejumlah anggota Polres Jayawijaya pada
hari Rabu (10/1/2016) di sekitar Jalan Irian Kota Wamena. Kata Theo,
pria berusia 21 tahun ini diduga keras dianiaya hingga korban tak
sadarkan diri, bahkan penganiayaan terus berlanjut saat korban berada di
Rumah Sakit Umum Daerah Wamena.
“Bahkan oknum aparat menggunakan
popor senjata untuk memukuli kepala Edison. Padahal, saat itu Edison
sedang dalam perawatan medis. Setelah korban sadar, ia dibawa ke Polsek
Bandara Wamena. Namun, penganiayaan belum berakhir. Edison kembali
dianiaya hingga tidak sadarkan diri lagi, kemudian dibawa ke rumah sakit
lagi, hingga akhirnya meninggal dunia,” beber Theo.
Theo menulis kronologi kejadian setelah melakukan investigasi awal ke RSUD Wamena, bahkan ia turut mendampingi keluarga korban.
Hasil
otopsi dari RS Bhayangkara telah keluar pada Sabtu (14/1/2017) dan
diserahkan oleh petugas kepada Kapolda Papua, Irjen Paulus Waterpauw.
Kapolda mengakui bahwa tindakan dari anggotanya sudah berlebihan. Ia
berjanji akan menindak tegas anggotanya dengan memberhentikan secara
tidak hormat dan memproses secara pidana.
“Kekerasan seperti ini
terus terjadi. Polisi yang mestinya menjadi penegak hukum, pengayom
masyarakat justru bertindak sebaliknya. Jika mereka ingin dihargai oleh
masyarakat, mestinya menjalankan tugas dengan baik dan profesional,”
tulisnya dalam siaran pers.
Ditegaskan, kasus kekerasan oleh
aparat ini harus diproses secara hukum. Kapolri, Komnas HAM, juga pihak
lain seperti Menteri Kesehatan (dalam kasus ini) harus bertanggungjawab
atas meninggalnya Edison Matuan, korban kekerasan aparat keamanan.
Menurut ELSAM, hingga kini pendekatan keamanan di Papua masih digunakan oleh pemerintahan Jokowi.
Pada
masa pemerintahan ini, lanjut Adiani Viviana dari ELSAM Jakarta, tak
berbeda dengan masa-masa pemerintahan sebelumnya. Sebab, Jokowi tak
mampu menyelesaikan kasus-kasus kekerasan oleh aparat kemanan di Tanah
Papua.
“Kasus serupa terus berulang, di Papua maupun Papua Barat.
Belum ada kebijakan dan langkah konkrit dari Presiden Jokowi dalam
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua. Situasi itu
menimbulkan terus berulangnya kasus serupa.”
ELSAM menyayangkan
penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan terhadap penduduk sipil,
termmasuk di Papua. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap
Prinsip-Prinsip dasar PBB mengenai penggunaan Kekuatan dan Senjata Api
bagi aparat penegak hukum, yang telah diadopsi sejak tahun 1990. Juga
Prinsip-prinsip hak asasi manusia yang telah menjadi bagian integral
dari prosedur penanggulangan anarki, diatur dalam Protap Kapolri No.
1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki.
Secara spesifik, Perkap
Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi
Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan tugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia juga menekankan agar setiap anggota
Kepolisian wajib memahami instrumen-instrumen HAM serta wajib
menerapkan perlindungan dan penghormatan terhadap nilai-nilai HAM dalam
menjalankan tugas sehari-hari.
Redaksi
0 komentar:
Posting Komentar