Secara Hukum Internasional ULMWP sudah tidak bisa lagi disebut sebagai pemberontak atau separatis semata.
Menurut
hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai
pihak yang bersengketa (belligerent) dalam keadaan-keadaan tertentu.
Keadaan tertentu ini ditentukan oleh pengakuan pihak ketiga bagi
pemberontak atau pihak yang bersengketa bila ada niat untuk
diselesaikan. Dan pengakuan pihak ketiga lahir dari Hak Asasi Manusia,
dimana bangsa-bangsa di dunia dianggap mempunyai beberapa hak asasi.
Seperti: hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk secara bebas
memilih sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem sosial sendiri, dan
hak untuk menguasai sumber kekayaan alam dari wilayah yang didudukinya.
Dalam Konvensi Wina 1969 yang diterima dan diakui oleh dunia internasional mengatur tentang Pemberontakan dalam Bagian V Pasal 53 mengenai “jus Cogens” yaitu menyebut pemberontakan sebagai gejolak yang terjadi dalam sebuah negara yang penanganannya diatur secara nasional. Namun dalam “Premptory norm” sebagai bagian dari hukum internasional, mengikat individu, selain negara, termasuk kaum pemberontak, sehingga mengakui pemberontak sebagai bagian dari subyek hukum internasional.
Demikian juga dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2131 (XX) yang dikeluarkan tahun 1965, Belligerent dapat disebut sebagai subyek Hukum Internasional dengan syarat: tidak ada upaya penyelesaian konflik dari suatu negara, sumber konfliknya nasionalisme, selain pemberontak telah terorganisasi dalam satu kekuasaan yang rapi dan menghindari kekerasan kepada rakyat sipil dan mendapat pengakuan beberapa negara.
Dengan demikian, bila beberapa elemen perjuangan bersepakat dan melahirkan ULMWP, tidak diselesaikannya berbagai konflik sebagaimana kami sebutkan di atas, dukungan Vanuatu, Solomon Island, Tonga, Tuvalu, serta diundangnya ULMWP dalam pertemuan MSG dan PIF, serta adanya kesepakatan antara Solomon Island, Vanuatu, Gerakan Kanak dengan ULMWP, diundangnya ULMWP dalam pertemuan PCWP serta dukungan berbagai pihak di dunia, telah menunjukkan kepada kita bahwa ULMWP telah memenuhi kriteria sebagai “Belligerent” dan sudah dapat dikategorikan sebagai bagian dari subyek Hukum Internasional.
Sehingga, tugas ULMWP adalah mencari pengakuan sebagai “Belligerent” dengan melakukan syarat sebagai Subyek Hukum Internasional. Dimana, ULMWP wajib berjuang mendukung hak dan kewajiban internasional, melakukan tindakan tertentu yang bersifat internasional,berhak menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional; mempunyai hak melakukan penuntutan terhadap pihak yang melanggar kewajiban internasional; mempunyai hak kekebalan dari pengaruh dan penerapan yuridiksi nasional suatu negara; dapat menjadi anggota dan berpartisipasi dalam keanggotaan suatu organisasi internasional.
Jadi, perjuangan Papua melalui ULMWP yang lahir dari hasil koalisi dan dari sumber-sumber konflik di atas, maka secara Hukum Internasional sudah tidak bisa lagi disebut sebagai pemberontak atau separatis semata, namun perjuangan ini telah naik satu tingkat dari Insurgent ke Belligerent dan akibat hukumnya, lembaga tersebut telah menjadi subyek Hukum Internasional yang memiliki hak yang sama dengan apa yang dimiliki oleh subjek hukum internasional lainnya.
Dalam Konvensi Wina 1969 yang diterima dan diakui oleh dunia internasional mengatur tentang Pemberontakan dalam Bagian V Pasal 53 mengenai “jus Cogens” yaitu menyebut pemberontakan sebagai gejolak yang terjadi dalam sebuah negara yang penanganannya diatur secara nasional. Namun dalam “Premptory norm” sebagai bagian dari hukum internasional, mengikat individu, selain negara, termasuk kaum pemberontak, sehingga mengakui pemberontak sebagai bagian dari subyek hukum internasional.
Demikian juga dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2131 (XX) yang dikeluarkan tahun 1965, Belligerent dapat disebut sebagai subyek Hukum Internasional dengan syarat: tidak ada upaya penyelesaian konflik dari suatu negara, sumber konfliknya nasionalisme, selain pemberontak telah terorganisasi dalam satu kekuasaan yang rapi dan menghindari kekerasan kepada rakyat sipil dan mendapat pengakuan beberapa negara.
Dengan demikian, bila beberapa elemen perjuangan bersepakat dan melahirkan ULMWP, tidak diselesaikannya berbagai konflik sebagaimana kami sebutkan di atas, dukungan Vanuatu, Solomon Island, Tonga, Tuvalu, serta diundangnya ULMWP dalam pertemuan MSG dan PIF, serta adanya kesepakatan antara Solomon Island, Vanuatu, Gerakan Kanak dengan ULMWP, diundangnya ULMWP dalam pertemuan PCWP serta dukungan berbagai pihak di dunia, telah menunjukkan kepada kita bahwa ULMWP telah memenuhi kriteria sebagai “Belligerent” dan sudah dapat dikategorikan sebagai bagian dari subyek Hukum Internasional.
Sehingga, tugas ULMWP adalah mencari pengakuan sebagai “Belligerent” dengan melakukan syarat sebagai Subyek Hukum Internasional. Dimana, ULMWP wajib berjuang mendukung hak dan kewajiban internasional, melakukan tindakan tertentu yang bersifat internasional,berhak menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional; mempunyai hak melakukan penuntutan terhadap pihak yang melanggar kewajiban internasional; mempunyai hak kekebalan dari pengaruh dan penerapan yuridiksi nasional suatu negara; dapat menjadi anggota dan berpartisipasi dalam keanggotaan suatu organisasi internasional.
Jadi, perjuangan Papua melalui ULMWP yang lahir dari hasil koalisi dan dari sumber-sumber konflik di atas, maka secara Hukum Internasional sudah tidak bisa lagi disebut sebagai pemberontak atau separatis semata, namun perjuangan ini telah naik satu tingkat dari Insurgent ke Belligerent dan akibat hukumnya, lembaga tersebut telah menjadi subyek Hukum Internasional yang memiliki hak yang sama dengan apa yang dimiliki oleh subjek hukum internasional lainnya.
Disposkan: Suara Wiyaimana Papua
0 komentar:
Posting Komentar