![]() |
Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua, Pdt Benny Giay |
Jayapura, Jubi – Masuknya isu HAM dan politik Papua ke sidang Majelis
Umum PBB yang sedang berlangsung hingga 25 September, adalah kenyataan
sejarah yang tidak bisa dihindari dan seharusnya membuat pemerintah
Indonesia merefleksikan diri.
Hal itu dikemukakan Pendeta Benny Giay, Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di
Tanah Papua, kepada Jubi Minggu (18/9/2016) menanggapi meluasnya isu
Papua di Pasifik dan dorongan pemimpin negara-negara di Pasifik membawa
isu West Papua ke Majelis Umum PBB.
“Bagi saya, ketika masalah Papua sampai ke Majelis Umum PBB oleh para
pemimpin negara-negara Pasifik, itu membenarkan pandangan bahwa sejarah
sudah saatnya berubah,” ujar Benny Giay yang menyampaikan bahwa setelah
50 tahun Papua di Indonesiakan, inilah saatnya sejarah akan berubah.
Benny Giay merasa sangat optimis bahwa harapan masyarakat Papua, yang
berjuang untuk penentuan nasib sendiri, sedang mengalami kebangkitan
khususnya karena didorong oleh kebangkitan di Pasifik.
“Yang terjadi di Pasifik itu adalah kebangkitan kesadaran kemanusian. Di
batin saya, kalau solidaritas untuk hak politik (kemerdekaan) maka itu
bisa dilakukan profesional saja. Tetapi kebangkitan di pasifik ini
melebihi itu,” ujar Giay yang melanjutkan bahwa kebangkitan itu
dilandasai oleh satu kekhawatiran besar bahwa bangsa Papua akan punah.
Papua Jadi Isu Negara
Sementara itu Ferry Marisan, Direktur ElsHAM Papua, memandang bahwa
kemajuan advokasi isu Papua saat ini hingga ke Majelis Umum PBB terletak
pada pihak yang mengadvokasi, yaitu negara.
“Kalau dulu advokasi dilakukan di Jenewa-Swiss, oleh masyarakat sipil
untuk isu-isu HAM Papua, maka kini, melalui Vanuatu dan Solomon bahkan
Tonga, advokasi sudah meningkat ke New York oleh tangan negara,” ujar
Ferry.
Ketika isu Papua masuk ke Majelis Umum PBB di New York maka artinya,
lanjut Ferry, hal itu akan menjadi pembicaraan di tingkat negara-negara
lain yang tidak saja Pasifik.
Peter Thomson, Duta Besar Fiji untuk PBB baru saja dilantik sebagai
presiden sidang Majelis Umum. Thomson disumpah Selasa lalu, (12/9),
membuka sesi ke-71 sidang Majelis Umum yang terdiri dari 193 negara itu.
“Kita tunggu hasilnya, negara-negara mana yang akan menambah dukungan,
tidak saja untuk isu HAM tetapi juga referendum Papua dan agenda
pendaftaran Papua ke Komite 24 Dekolonisasi,” ujarnya.
Terpisah Victor Yeimo, Ketua Umum KNPB dan Tim Kerja ULMWP, menilai
sudah saatnya PBB mengambil tanggung jawab terkait hak politik Papua.
“PBB harus ambil tanggung jawab untuk selesaikan status politik West
Papua. Karena itu kekuatan rakyat dalam ULMWP, bersama negara Pasifik
dalam Koalisi Pasifik untuk West Papua akan mendorong masalah ini ke
Komite Dekolonisasi PBB untuk dapat memfasilitasi referendum,” ujarnya.
Dia juga menambahkan melalui proses itu, Indonesia juga akan didesak
untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan yang terus berlanjut di West
Papua.
Tetapi Ferry Marisan juga mengingatkan bahwa proses ini panjang dan bisa
bertahun-tahun untuk meyakinkan negara-negara lain terus mendukung
Papua. “Sekalipun demikian, capaian saat ini sudah membuka jalan ke
sana,” ujarnya.
Baik Ferry maupun Pendeta Benny Giay tidak khawatir akan proses yang
memakan waktu tersebut. Menurut Giay, justru saat inilah di era
globalisasi peluang lebih besar karena mata banyak manusia bisa melihat
apa yang terjadi.
“Kebangkitan solidaritas saat ini adalah tanda kebangkitan kesadaran
kemanusiaan, dan itu terjadi di era globalisasi yang bisa diketahui oleh
semua orang melalui media sosial. Saya menyambutnya dengan optmis,”
ujar Giay.(*)
Sumber: tabloidjubi.com
0 komentar:
Posting Komentar