Pranata Kolonialisme
di Papua
UNTUK berbagai ragam masalah di tanah Papua, kita mau tidak mau
mesti berangkat dari pengertian bahwa bangsa Papua sedang dijajah. Peliknya
persoalan dan jenis kesengsaraan yang menimpa orang Papua, merupakan bentuk
dari kolonialisme modern yang kemudian dapat dibahasakan sebagai imperialisme.
Dengan begitu, perspektif cara pandang kita menjadi jelas bahwa semua
ketimpangan ekonomi, sosial dan politik di West Papua merupakan anak kandung
kaum imperialis yang bernama, Indonesia.
Dalam prakteknya, penjajahan di teritori West Papua, Indonesia
menggunakan metode yang kurang lebih serupa dengan pengalaman yang dialaminya
selama menjadi korban penjajahan. Selama hampir dua ratus tahun, daerah-daerah
di Indonesia mengalami periode kekerasan dari praktek kolonialisme Belanda.
Praktek kekerasan dalam mengendalikan tanah jajahan ini disebut sebagai repressive
colonialism. Selain Belanda, bentuk penjajahan seperti ini antara
lain diterapkan oleh beberapa negara Eropa seperti Spanyol dan Prancis. Tipe
kolonialisme yang represif ini mensyaratkan penutupan ruang-ruang kebebasan
bereskpresi dan penghancuran yang simultan serta kontinyu terdapat upaya-upaya
kemerdekaan yang muncul sebagai aspirasi sosial politik rakyat jajahan.
Bentuk tersebut agak berbeda dengan jenis kolonialisme yang
diterapkan Amerika Serikat dan Inggris yang disebutliberal colonialism.
Bentuk kolonialisme macam inu, bergulir dengan cara menjadikan daerah-daerah
jajahan menjadi satelit yang terikat dengan kebebasan yang terbatas.
Daerah-daerah koloni dikontrol sedemikian rupa dengan pendekatan hegemonik
sehingga menjadikan mereka yang terjajah merasa tidak membutuhkan kemerdekaan.
Bekerja melalui perangkat-perangkat ideologis sehingga aspirasi sosial politik
masyarakat terjajah adalah ketergantungan yang bersifat adiktif terhadap
penjajahnya.
Ekspansi kekuasan Indonesia yang dilakukan Soekarno melalui Trikora
(Tri Komando Rakyat) terhadap wilayah kedaulatan West Papua, yang dimulai pada
1 Mei 1961 (atau 19 hari setelah deklarasi Manifesto Kemerdekaan West Papua)
menjadi awal dari penjajahan tersebut. Aksi ekspansif Indonesia ke tanah Papua,
dengan berbagai alasan pembenarannya justru menjadi pembuktiaan mental
militerisme dan hasrat kolonialisme penguasa Indonesia saat itu yang akhirnya
terus berlangsung hingga sekarang. Praktis, hal tersebut menjadikan West Papua
sebaga wilayah protektorat dari kolonial Indonesia. Tindakan Indonesia yang
menganesksasi Papua sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kelakuan Perancis di
daerah-daerah Indocina tahun 1889, atau tidak jauh berbeda dengan tindakan
kolonial Belanda terhadap Indonesia di masa lalu. Warisan sifat-sifat
kolonialis Eropa di Indonesia misalnya tampak jelas dalam praktek pecah belah (devide
et impera) dan mengutamakan pendekatan yang berkarakter militeristik.
Orang-orang Papua kemudian saling diadu dan dipecah belah.
Sekolah-sekolah Indonesia di Papua kemudian mengajarkan bahwa menuntut
kemerdekaan adalah sesuatu yang illegal dan Indonesia bukanlah penjajah. Jika
ada kelompok yang telah mencapai kesadaran politik dalam dirinya untuk menuntut
hak sebagai manusia merdeka, mara mereka akan berhadapan dengan senjata.
Penyiksaan, penangkapan semena-mena, hingga eksekusi politik kemudian dianggap
lumrah. Menebar teror ke tengah bangsa Papua agar mereka menutup mulut dan
tidak bicara soal kemerdekaan.
Selain dua strategi di atas, Indonesia juga menjalankan praktik
penjajahan lain melalui politik asimilisasi (Indonesianisasi). Praktek ini
dijalankan dengan pendapat bahwa orang Papua masih terbelakang dan tuntutan
kemerdekaan yang muncul semata-mata karena ketidakpahaman mengenai
ke-Indonesia-an itu sendiri. Praktek Indonesianisasi ini, misalkan, dijalankan
melalui pendidikan sosial budaya baik melalui sekolah maupun institusi terkait
lain. Orang Papua sebagai ras Melanesia diajarkan bahwa mereka adalah Indonesia
itu sendiri walau sebenarnya West Papua tidak berbagi kesamaan sejarah dan
budaya seperti Melayu Indonesia. Pendekatan macam ini digunakan sebagai bagian
dari trik untuk menjadikan bangsa Papua sebagai bangsa terjajah kemudian
memiliki ketergantungan kepada penjajah Indonesia dan akhirnya takut untuk
berdiri di atas kakinya sendiri. Alasan lain penggunaan taktik asimilasi ini
adalah menguatnya tekanan internasional atas rangkaian praktek kekerasan oleh
Indonesia terhadap aktifis kemerdekaan Papua dan juga pembatasan kebebasan
hak-hak politik warga sipil. Sejauh ini semua taktik Indonesia untuk
menundukkan Papua dan hasrat kemerdekaannya masih belum berhasil. Dalam
beberapa kasus, justru dukungan terhadap Papua semakin meluas setelah
masyarakat internasional menyaksikan bagaimana orang Papua ditindas di tanahnya
sendiri.
Selain itu, rakyat West Papua mulai memahami sejarah dirinya sebagai
bangsa dan bagaimana kemudian pola kolonialisme yang dilakukan Indonesia secara
menyeluruh di tanah Papua. Pendidikan sejarah dan budaya orang Papua kemudian
secara perlahan menjadi alat untuk menumbuhkan kesadaran dalam menuntut
kemerdekaan sebagai bangsa yang bermartabat. Orang-orang Papua (khususnya
generasi muda) kemudian dapat memahami bahwa berbagai konflik di tanah Papua
sebenarnya dilahirkan oleh kontradiksi alamiah antara dua kekuatan yang
bertentangan. Di satu sisi ada semangat kolonialisme Indonesia, sementara di
sini yang berseberangan ada hasrat mulia anak-anak Papua untuk memerdekakan
diri dari penjajahan.. Seperti yang dikatakan Frantz Fanon bahwa, akan selalu
ada kontradiksi antara kolonialisme yang semakin kokoh menanamkan kuku dan
semakin tingginya spirit dekolonisasi dari bangsa yang terjajah. Kontradiksi tersebut
kemudian akan meruncing kepada benturan konflik antara dua kepentingan yang
berbeda ini. Sebagai seorang revolusioner Fanon menyadari bahwa satu-satunya
cara untuk menyelesaikan konflik yang terjadi terus menerus tersebut adalah
dengan menghapuskan penjajahan itu sendiri. Sebab, penjajahan adalah akar dari
konflik-konflik tersebut.
Dalam kasus yang sedang dialami bangsa Papua, solusi yang ditawarkan
Fanon belum tercapai. Hal ini disebabkan karena praktek penindasan kolonial
Indonesia berupaya untuk terus mempertahankan teritori tanah Papua sebagai
objek transaksi ekonomi politik Indonesia dan para pendukungnya seperti Amerika
Serikat. Namun kita semua juga harus tahu dan memahami bahwa sebagai penjajah,
Indonesia sendiri sebenarnya tidaklah benar-benar merdeka. Penguasa kolonial
Indonesia buktinya masih juga memiliki ketergantungan dengan seperti Amerika
Serikat. Dengan kata lain, Indonesia adalah penjajah yang juga masih terjajah.
Dijajahnya Indonesia secara ekonomi dan politik oleh bangsa lain menjadi salah
satu sebab mengapa, eskploitasi terhadap Papua berlangsung berkali lipat lebih
keras. Bahwa rakyat Indonesia sendiri masih berada di bawah bayang-bayang
imperialisme global yang membuat nasibnya sedikit lebih baik karena berhasil
menjerumuskan rakyat West Papua ke dalam mata rantai penindasan..
Aneksasi Indonesia terhadap Papua pada 1 Mei 1961, sebenarnya jelas
bertentangan dengan semangat dasar dekolonisasi dalam Konferensi Asia Afrika
(KAA) di tahun 1955, yang mana Indonesia merupakan salah satu bangsa
penggagasnya. Dalam KAA pertama itu, tercantum dengan jelas bahwa forum
tersebut berupaya mendorong kemerdekaan bangsa-bangsa yang sedang berada di
bawah penjajahan dan saling bantu antar bangsa yang baru saja merengkuh
kemerdekaannya. Namun delapan tahun kemudian, Indonesia mengkhianati semangat
KAA dengan menjadikan bangsa Papua sebagai jajahannya. Walau sebenarnya
Indonesia dapat mengambil pilihan lain yang lebih bermartabat, yaitu dengan
ikut mendorong dekolonisasi West Papua sekaligus mengulurkan tangan dan
membantu bangsa Papua membangun diri dan bangsanya. Pilihan untuk menempuh
cara-cara imperialis kolonialis seperti yang dilakukan bangsa Eropa sebelumnya
terhadap Indonesia, membuktikan bahwa penguasa Indonesia telah diracuni oleh
pemikiran kolonialisme tersebut. Dengan begitu tentu kita semua dapat menemukan
bahwa sikap Indonesia dalam KAA baru-baru ini terkait soal kemerdekaan
Palestina menjadi sesuatu yang kontra produktif. Sebab ketulusan mendukung
kemerdekaan sebuah bangsa tidak mungkin kita temukan dari mulut seorang
penjajah. Dukungan Indonesia terhadap Palestina menjadi tidak sesuai dengan
kenyataan praktek kolonisasi teritori West Papua.
Semangat nasionalisme Indonesia yang dibentuk sebagai semangat anti
penjajahan, seharusnya tidak digunakan untuk membenarkan praktik penjajahan itu
sendiri. Indonesia juga seharusnya berhenti melakukan tindak rekayasa sejarah
dengan mengaitkan teritori West Papua sebagai wilayah kedaulatannya. Sebab
sejarah sosial budaya antara West Papua dan Indonesia jelas berbeda. Indonesia
dan West Papua hanya akan dapat menemukan kesamaan mereka pada soal spirit
untuk mendorong kemerdekaan dari penjajahan dan cita-cita membangun bangsa
masing-masing untuk menjadi lebih maju dan beradab.
Pembebasan Bangsa
Perlawanan rakyat Papua terhadap pendudukan kolonialisme Indonesia
di teritori West Papua tidaklah terkurung dalam romantisme dan nasionalisme
sempit. Perjuangan orang-orang West Papua untuk mencapai kemerdekaan
dilandaskan sepenuhnya pada kesadaran dan gagasan yang lebih besar. Yakni
kesadaran untuk bebas dari segala bentuk dan aktor yang sedang menguasai dan
menjajah serta merusak bumi Papua. Selayaknya bangsa-bangsa lain di dunia,
bangsa Papua juga memiliki hak azasi untuk menentukan nasibnya sendiri. Penentuan
nasib sendiri adalah pintu awal untuk kembali menata peradaban bangsanya.
Penentuan nasib sendiri oleh orang Papua adalah cara untuk
menyelamatkan bumi Papua dari kerusakan besar-besaran yang terus melanda.
Penentuan nasib sendiri secara ekonomi dan politik adalah cara untuk
menghentikan konflik bersenjata dan lingkaran kekerasan yang menjadikan
anak-anak Papua sebagai korban. Penentuan nasib sendiri adalah cara untuk
menyelamatkan orang Papua dari kepunahan. Penentuan nasib sendiri adalah cara
agar orang Papua dapat maju dan berkembang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di
dunia. Penentuan nasib sendiri adalah cara agar orang-orang Papua tidak lagi
menjadi warga kelas dua di atas tanah leluhurnya. Penentuan nasib sendiri
adalah cara menyelamatkan warisan kebudayaan Papua yang beragam agar tidak
musnah. Penentuan nasib sendiri adalah tuntutan nurani setiap anak Papua.
Penentuan nasib sendiri termasuk di dalamnya kebebasan agar orang
Papua dapat menentukan sistem ekonomi yang dapat melepaskan bangsanya dari
ketergantungan mekanisme pasar global. Sistem ekonomi yang bebas dari
intervensi neo-liberalisme yang merupakan wajah baru kolonialisme. Penentuan
nasib sendiri adalah soal bagaimana anak-anak Papua mengambil tanggung jawab
untuk menata sistem perekonomian yang sesuai dengan corak produksi rakyat Papua
sendiri. Agar di kemudian mama-mama kami tidak berjualan di atas trotoar jalan,
atau terkucil di bawah dominasi ekonomi kapitalis yang dilindungi penguasa
kolonial Indonesia. Dengan penentuan nasib sendiri Papua dapat kembali menjadi
bangsa yang bermartabat serta kembali dapat menata hidup dalam kekerabatan
keluarga, marga dan suku di atas tanah Papua, sesuai dengan wilayah adat kami
masing-masing. Kemerdekaan bagi orang-orang Papua berarti bahwa kami dapat
mengatur sendiri kontruksi sosial budaya kami dalam tata hidup budaya
Melanesia.
Kami yakin bahwa dengan kemerdekaan, kami orang Papua dapat
menemukan kembali nilai dan prinsip-prinsip politik yang telah tertanam dalam
kehidupan sosial-politik kami, dan mencegah bangsa kami untuk melakukan atau
mendiamkan segala bentuk penindasan manusia bumi.
Itu mengapa hak untuk menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua
harus diperjuangkan untuk memutus mata rantai penindasan. Menindas orang-orang
Papua sebagai jalan keluar karena penindasan yang diterima dan dialami
Indonesia dari bangsa lain, tidak akan membuat bangsa Indonesia jauh lebih
baik. Sebaliknya, mendukung kemerdekaan Papua akan membuat Indonesia satu
langkah lebih dekat dengan kemerdekaannya dari penjajahan ekonomi dan politik
bangsa lain.***
7
May 2015.
Oleh : Tuan Victor Yeimo
Penulis adalah Ketua
Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB)
0 komentar:
Posting Komentar