Oknum polisi memukul siswa dengan popor senjata sesaat setelah insiden tawuran antar pelajar di Wamena (Video Captured) |
Jayapura, Antara – Ketua Dewan Adat
Daerah Paniai Jhon NR Gobay berpendapat bahwa kekerasan di Provinsi Papua
umumnya bermula dari tindakan represif oknum aparat keamanan TNI dan Polri dalam menangani suatu persoalan.
“Ada tindakan yang berlebihan dan
arogan oleh oknum aparat keamanan (TNI dan Polri) di daerah-daerah yang tidak
terjangkau oleh media, sehingga kekerasan-kekerasan yang terjadi tidak
terekspos dengan baik,” kata Jhon NR Gobay di Kota Jayapura, Papua, Kamis
(9/4/2015).
Kekerasan dari oknum aparat itu, seperti yang terjadi di
Enarotali, Kabupaten Paniai pada 8 Desember 2014. Lalu, di Intan Jaya, Deyai,
Puncak, Puncak Jaya, Nduga dan Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
“Kalau di daerah perkotaan, seperti
Kota Jayapura, kekerasan itu cepat terungkap, terkekspos dengan baik. Sehingga
aparat juga kelihatannya hati-hati dalam bertindak, meskipun ada juga terjadi,”
katanya.
Karena itu, ia menyarankan pimpinan
aparat keamanan seperti Kapolda dan Pangdam di Papua atau pimpinan tingkat
pusat yaitu Kapolri dan Panglima TNI memberikan pengetahuan HAM kepada
bawahannya untuk bagaimana memahami dan menangani masalah di lapangan terutama
menangani persoalan di Papua.
“Orang Papua dengan caranya, dengan
ekspresinya menyampaikan pendapat, menyatakan keinginanannya, masih asli dalam
budaya kita (gaya Papua), cara waita (demo sambil berlari dan bernyanyi),
dengan tari-tarian. Ini sebenarnya ada hal yang mau disampaikan,” katanya.
Seperti contoh kasus Enarotali,
Paniai pada 8 Desember 2014, ada ekspresi yang mau disampaikan untuk
menyelesaikan masalah, tetapi aparat yang bertugas kurang memahami budaya
setempat, aparat tidak memahami psikologi dari massa, akhirnya terjadi tindakan
represif terjadi.
“Pendekatan-pendekatan aparat
keamanan di Papua perlu dievaluasi secara menyekluruh. Dan, kesatuan-kesatuan
yang tidak semestinya ada, itu ada baiknya ditarik kel uar Papua, karena
semakin banyak aparat, dengan senjata di tengah masyarakat Papua yang sudah
berkurang populasinya bisa menimbulkan situasi yang kurang bagus,” katanya.
Situasi itu bisa menimbulkan gesekan
antara aparat keamanan dan masyarakat, dan bisa berujung pada terjadinya
pelanggaran HAM berat di Papua, seperti di Paniai. “Apa lagi, ada stigma OPM
yang kerap kali ditujukan kepada orang Papua jika ingin protes berlebihan,”
lanjutnya.
Padahal, kata Gobay, yang diberikan
stigma itu merupakan bagian dari masyarakat Papua dan Indonesia yang seharusnya
dilindungi dan dirangkul dengan pendekatan-pendekatan yang baik dan benar,
karena kalau tidak demikian maka aparat TNI dan Polri tidak mampu melakukan
tugas pokok dan fungsinya, tapi melenceng jauh.
“Maka itu, perlu evaluasi,
demiliterisasi di Papua, tidak ada lagi tindakan represif yang bisa melukai
hati orang Papua dan usut tuntas kasus Paniai berdarah,” katanya.
Mengenai kasus Paniai, katanya, jika
Komnas HAM tidak bisa mengungkap peristiwa itu, maka ada baiknya di Papua
didirikan Komnas HAM daerah yang mempunyai kewenangan seperti Komnas HAM Pusat,
sehingga bisa menyelidiki dan mengungkap berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM
di Papua.
“Dewan Adat Paniai dan mahasisawa
pemerhati kasus kekerasan, juga akan kembali ke kantor Perwakilan Komnas HAM
Papua, menurunkan papan namanya sebagai bentuk protes atas lemahnya institusi
itu dalam mengungkap kekerasan di Papua. Apa lagi, tidak dibentuk KPP HAM untuk
kasus Paniai,” katanya.
Pada Selasa (7/4), ratusan mahasiswa
dari berbagai kampus di Kota Jayapura yang tergabung dalam Forum Independen
Mahasiswa (FIM) didampingi Dewan Adat Daerah Paniai, berdemo dihalaman kantor
Perwakilan Komnas HAM Papua guna mendesak dibentuk KPP HAM terhadap kasus
Paniai 8 Desember 2014. (*)
0 komentar:
Posting Komentar