Ilustrasi. (IST) |
London,
Jubi/Antara – Amnesty International menyambut baik pengumuman Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia yang merekomendasikan pembentukan tim penyelidikan
pro-justicia untuk melakukan investigasi kasus terbunuhnya empat pelajar oleh
pasukan keamanan di Paniai, Papua, pada Desember 2014.
Para
korban dan keluarga mereka, serta kelompok-kelompok HAM telah menyerukan
keadilan sejak peristiwa yang juga menyebabkan belasan orang luka-luka itu
terjadi. “Berita ini memberikan mereka suatu harapan sejati untuk
akuntabilitas,” demikian Josef Roy Benedict, Campaigner – Indonesia & Timor-Leste
Southeast Asia and Pacific Regional Office Amnesty International, Sabtu
(11/4/2015).
Amnesty
International yang bermarkas di London menyebutkan gabungan pasukan keamanan,
baik polisi maupun militer, diduga telah mengeluarkan tembakan kepada ratusan
pengunjuk rasa damai di lapangan Karel Gobai, di kota Enarotali, Paniai.
Setelah
tembakan berakhir, dilaporkan empat orang ditemukan tewas karena luka tembakan.
Mereka adalah Apius Gobay (16) tertembak di perut, Alpius Youw (18) di pantat,
Simon Degei (17) di rusuk kiri, sementara Yulianus Yeimo (17) terkena tembakan
di perut dan punggungnya. Paling sedikit 17 orang lainnya mengalami luka-luka
setelah terkena peluru tembakan atau tusukan bayonet pasukan keamanan.
Di
bawah hukum dan standar internasional, aparat penegak hukum hanya boleh
menggunakan kekuatan jika benar-benar dibutuhkan, sejauh untuk melaksanakan
tujuan penegakan hukum yang sah. Mereka tidak boleh menggunakan senjata api
kecuali membela diri terhadap ancaman segera yang mematikan atau mengakibatkan
cedera serius.
Penggunaan
kekuatan yang sewenang-wenang dan disalahgunakan oleh kepolisian atau aparat
keamanan lain yang melakukan tugas penegakan hukum harus dihukum sebagai tindak
kriminal, demikian Amnesty International.
Presiden
Joko Widodo secara terbuka berkomitmen untuk menyelesaikan kasus ini dan beberapa
saat setelahnya Komnas HAM membentuk suatu tim untuk melakukan investigasi awal
terhadap kasus ini.
Setelah
empat bulan bekerja, Komnas HAM menemukan bukti pelanggaran HAM berat
sebagaimana yang didefinisikan dalam UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM, dan
telah merekomendasikan tim penyelidik pro-justicia (KPP HAM) untuk melakukan
investigasi lebih rinci.
Proses
investigasi yang akhirnya berujung pada persidangan dalam suatu Pengadilan HAM.
Komnas HAM akan mengambil keputusan akhir pada Mei 2015 setelah tim kasus
Paniai menyempurnakan kompilasi informasi kasus tersebut dan analisis hukum
sebagaimana diatur undang-undang.
Amnesty
International menyerukan kepada pihak berwenang di Indonesia untuk memastikan
bahwa semua pihak yang relevan, termasuk pasukan keamanan, bekerja sama dengan
tim bentukan Komnas HAM.
Ketika
tim dibentuk dan menjalankan tugas-tugasnya, Komnas HAM menyediakan sumber daya
yang memadai, termasuk ahli forensik dan ahli lain yang relevan, untuk bekerja.
Para korban dan saksi harus diberikan perlindungan yang memadai.
Budaya
impunitas telah berkontribusi pada tutup matanya pemerintahan sebelumnya
terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pasukan keamanan di Papua,
termasuk pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekuatan yang berlebihan, dan
penyiksaan serta bentuk perlakukan buruk lainnya.
Jika
penyelidikan Komnas HAM dan komitmen terbuka Presiden Joko Widodo untuk
menyelesaikan kasus itu berujung pada suatu akuntabilitas yang sejati, dan
reparasi bagi para korban serta keluarga mereka, maka diharapkan akan menjadi
indikasi positif bagi orang-orang Papua. Indikasi positif terkait komitmen
Presiden Joko Widodo untuk memperbaiki situasi HAM di wilayah tersebut,
demmikian Amnesty International. (*)
0 komentar:
Posting Komentar