MENCARI
SOLUSI PAPUA - Diskusi Awal Tahun bertemakan "Mencari Solusi Papua, yang
Adil dan Bermartabat" di kantor Sinar Harapan, Jakarta, Kamis (15/1).
Hadir dalam diskusi bersama SH seperti Wakil Ketua Majelis Pertimbangan PGI
Phil Erari, Senior Advisor PT Freeport Indonesia Simon Morin Manuel Kaisiepo,
dan anggota DPR, Paskalis Kosai.
Jokowi harus realisasikan janji membangun Istana
Presiden di dekat Danau Sentani yang bercorak budaya Melanesia.
Setelah 52 tahun menjadi bagian
dari Indonesia, masyarakat Papua belum mencapai peningkatan taraf hidup yang
berarti. Kemiskinan, buruknya pendidikan dan kesehatan, serta pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) bertubi-tubi, menjadi wajah Papua saat ini.
Kemunculan
Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden ketujuh RI, dengan gayanya yang simpatik,
diharapkan membawa perubahan, mampu membangun rasa saling percaya warga Papua
dengan pemerintah pusat di Jakarta. Rasa percaya ini yang sudah semakin hilang
dari orang asli Papua terhadap Jakarta.
Rohaniwan Papua, Benny Giay,
dalam perbincangan dengan SH mengatakan, rasa tidak percaya itu terbangun
lantaran kekecewaan yang terus-menerus dari orang asli Papua. Bertahun-tahun
orang di Papua diberikan janji dan janji, namun tidak ada yang terwujud.
Otonomi
khusus yang terbit di era Presiden Megawati Soakarnoputri, misalnya,
dibayangkan sebagai solusi, ternyata gagal. Berbagai lembaga dibentuk di era
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seperti UP4B, tapi gagal juga. Anggota
Majelis Rakyat Papua (MRP) Wolas Krenak mengatakan, setiap ada program baru
yang datang dari Jakarta ditanggapi curiga dengan ungkapan bernada gurau oleh
warga Papua. “Ko bawa datang apa lagi? He ko stop tipu-tipu sudah!”
Hanya
Soekarno
Sebaliknya, stigma dan stereotip
sebagai separatis terus dilekatkan kepada orang Papua. Dengan mudahnya orang
Papua yang vokal menuntut haknya, orang Papua yang berkumpul membicarakan
nasibnya, dicap sebagai separatis. Atas nama separatis, ratusan pemuda berakhir
hidup di ujung peluru. Stigma ini membuat aparat keamanan kerap memberi jawaban
terhadap protes orang Papua dengan senjata.
“Bahkan,
kalau anggota MRP bicara, bisa dibilang separatis,” kata Wakil Ketua MRP Ani
Sabami. Politikus senior Partai Golkar asal Papua, Simon Patrice Morin
mengatakan, pada masa awal bergabung dengan Indonesia tahun 1963, Papua sangat
diperhatikan oleh Presiden Soekarno.
Presiden pertama Indonesia itu
memberi apa pun yang dibutuhkan Papua. Ia sadar bahwa Papua butuh penyesuaian
agar sama kemajuannya dengan daerah lain. Ratusan pemuda asli Papua
disekolahkan di pusat-pusat pendidikan di Pulau Jawa. Bung Karno juga membangun
mes atau asrama khusus agar orang Papua yang datang ke Jawa, tidak kesulitan
mencari tempat tinggal. Ada kebijakan karantina politik untuk membatasi
pendatang masuk ke Papua. Bahkan, dibuat mata uang khusus rupiah Papua. “Itu
masa-masa bulan madu Papua dengan NKRI,” tuturnya.
Namun, keadaaan mulai berubah
saat pemerintahan Presiden Soeharto. Dimulai pada masa menjelang penentuan
pendapat rakyat (Pepera) 1969. Selanjutnya, Soeharto merasa perlu melakukan
pendekatan keamanan dalam upaya memenangkan Papua. Masyarakat Papua sempat
berpikir pendekatan keamanan selesai setelah pepera, nyatanya tidak sama
sekali. Malah makin menjadi-jadi.
Demi
membangun ekonomi, arus modal masuk, pendekatan keamanan dilakukan agar tetap
stabil. Namun Soeharto, kata Morin, tidak mempersiapkan cara bagaimana orang
Papua harus menghadapi perubahan. Bukan itu saja, arus pendatang masuk dengan program
transmigrasi. “Sejarah berulang. Dulu Jawa menolak Belanda karena pembangunan
yang justru menjadikan orang Jawa terasing di negerinya. Sekarang, Papua juga
merasa pembangunan ini tidak tepat,” ujar Morin.
Terobosan
Kosong
Setelah Soeharto jatuh, Presiden
BJ Habibie membuat terobosan. Wakil Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di
Indonesia Karel Phil Erari mengatakan pada 1999, BJ Habibie mengundang 100
tokoh Papua berdialog di Istana Merdeka, Jakarta. “Itu pertemuan bersejarah,
untuk pertama kalinya orang Papua datang ke Istana Negara, minta Papua
merdeka,” katanya.
Berikutnya, pada masa Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk pertama kalinya nama Papua boleh digunakan
secara resmi. Gus Dur mengundang sejumlah tokoh Papua termasuk dirinya, Michael
Manufandu, Simon Patrice Morin, dan Lukas Degey. “Gus Dur bilang ‘Kalian boleh
minta apa pun kecuali melepaskan diri,” kenangnya.
Kemudian muncullah UU 21/2001
tentang Otonomi Khusus Papua oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Megawati
juga memekarkan Papua, muncul Provinsi Papua Barat. Ada dana khusus untuk
Papua, yang seolah-olah menjadi “maskawin” agar Papua tidak lepas dari NKRI.
Setelah hampir satu dekade, rakyat Papua menilai otsus dari Megawati itu juga
gagal total.
Dalam pertemuan dengan Presiden
SBY di Cikeas, Bogor, empat tokoh Papua didampingi PGI mengkritik pemerintah
pusat. Benny Giay menyatakan kepada SBY bahwa Indonesia sendiri yang telah
melahirkan benih separatis di Papua. Aktivis dan rohaniwan Socrates Yoman
menyatakan, 120 persen rakyat Papua ingin merdeka. Tokoh perempuan Papua,
Yemima Krey, dalam pertemuan itu mengatakan kegagalan pemerintah sudah
sempurna.
SBY
mengklaim melakukan pendekatan kesejahteraan kepada masyarakat Papua, bukan
pendekatan keamanan. Sayang, semua hanya omong kosong. Fakta di lapangan
menunjukkan pembunuhan, penembakan, dan kekerasan lainnya terus terjadi.
Kualitas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur justru makin memburuk.
Triliunan rupiah dana otsus hanya sebutannya saja bagi orang Papua, tetapi
faktanya dana itu habis digunakan oleh pemerintah di Jakarta.
Apa
Jualan Jokowi?
Jokowi pada pemilu lalu mampu
meraih hati orang Papua. Ia menang telak di Tanah Papua sehingga harapan ada
perubahan diharapkan akan ada. Apalagi sudah menyampaikan minimal tiga kali
dalam satu tahun mengunjungi Papua. Menurut Phil Erari, tugas pertama Jokowi
adalah membangun kembali trust (kepercayaan) orang Papua terhadap Indonesia.
Karena itu, Jokowi segera
menginisiasi pembicaraan dengan wakil-wakil komponen rakyat Papua dengan agenda
membangun kepercayaan dengan pendekatan kebudayaan. Ada kebijakan strategis
yang bisa dilakukan Jokowi. Misalnya, mendorong kebiajakan afirmatif melalui
Perda Khusus (Perdasus) untuk membatasi laju migrasi penduduk yang deras dari
luar Papua. Hal ini dalam rangka keseimbangan demografi.
Selain itu, melakukan reformasi
militer dan kepolisian dalam rangka penghentian kekerasan militer. “Wajah
Indonesia ada di dalam wajah para tentara harus berubah,” ia menegaskan. Dengan
demikian, stigma separatisme dihapus. Jokowi juga harus bisa menunjukkan
keseriusan dengan membangun Istana Presiden di Papua dengan lokasi di Danau
Sentani yang bercorak Melanesia.
Akhirnya,
masyarakat Papua masih menginginkan adanya bendera Papua sebagai simbol budaya.
Karena itu, Jokowi juga harus laksanakan amanat Gus Dur dulu, mengeluarkan
perpres soal bendera Papua sebagai lambang budaya. Monggo, Mas Joko!
Sumber : Sinar Harapan
0 komentar:
Posting Komentar