Ilustrasi |
Bangsa
Indonesia baru saja memperingati ulang tahunnya yang ke-68 tahun, 17 Agustus
2013. Apa makna yang bisa kita ambil dari ulang tahun proklamasi tersebut untuk
menyelesaikan persoalan bangsa ini agar bisa lebih bermartabat dan adil
menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang di hadapinya terutama di daerah/wilayah
di Indonesia yang di klaim sebagai wilayah konflik misalnya Aceh dan Papua.
Khusus
untuk Papua penerapan pasal makar seharusnya tidak di gunakan lagi karena
pertama untuk ukuran Negara demokrasi justru hal itu akan menciderai makna
demokrasi itu sendiri. Kedua penerapan pasal makar di KUHP justru di negeri
asalnya (Baca ; Belanda) tidak di pergunakan lagi. Ketiga penerapan pasal makar
akan justru menjauhkan Papua dari Indonesia, artinya apa , bahwa akan selalu
melahirkan kekerasan kekerasan baru dan mengarah pada dendam sejarah dari satu
generasi ke generasi selanjutnya.
Makar
selalu menunggu dan siap mengikat para aktivis serta siapapun yang bersuara
lantang menuntut keadilan dan menyampaikan pendapat di muka umum. Pasal-pasal
makar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) muncul pada abad ke 19,
ketika Menteri Kehakiman Belanda menolak mentah usul penggunaan makar sebagai
peraturan terhadap seluruh masyarakat. Dia menyatakan, “de ondergeteekende zou
deze bepalingen, welke op zichzelf te verklaren zijn door de behoefte van een
koloniale samenleving, zeker niet voor het rijk in Europa willen overnemen,”
(peraturan di bawah ini, dengan sendirinya dinyatakan hanya berlaku bagi
kebutuhan masyarakat kolonial, jelas tidak diperuntukkan bagi negara-negara
Eropa) (Prof MR. J.M.J. schepper,het gevaar voor de vrijheid van godsdienstige
belijdenis te duchten van het in artikel 156 No. 1 SW.Omschreven
haatzaaidelict”, T. 143, hal. 581-582).
Pasal-pasal
makar KUHP diadopsi pemerintah kolonial Belanda dari pasal 124 a British Indian
Penal Code tahun 1915. Walaupun, dinyatakan sudah tidak berlaku lagi oleh
Indian Supreme Court dan East Punjab High Court, karena dinilai bertentangan
dengan konstitusi India yang mendukung kebebasan memiliki dan menyatakan
pendapat. Di Belanda, ketentuan dalam pasal-pasal makar KUHP ini dipandang
tidak demokratis karena bertentangan dengan gagasan freedom of expression and
opinion. Inilah alasan Pemerintah Kolonial Belanda hanya memberlakukan
pasal-pasal tersebut di koloni-koloninya. Sehingga sudah semestinya, setelah
puluhan tahun Indonesia merdeka dari Belanda, pasal-pasal tersebut sudah raib
dari hadapan warga negara Indonesia, termasuk di Papua. Karena Papua bukanlah
koloni Indonesia.
Makar
(aanslag) secara yuridis, adalah suatu tindakan penyerangan secara sepihak
terhadap penguasa umum dengan maksud supaya sebagian wilayah negara jatuh ke
tangan musuh atau memisahkan sebahagian wilayah dari negara lain.
Makar
diatur dalam pasal 104 hingga pasal 129 KUHP. Dalam pengertian lain, makar juga
bisa diklasifikasikan sebagai: kejahatan terhadap presiden dan wakil presiden
(negara dan/atau wakil kepala negara sahabat), terhadap pemerintahan yang sah
atau badan-badan pemerintah, menjadi mata-mata musuh, perlawanan terhadap
pegawai pemerintah, pemberontakan, dan perbuatan lain yang ‘merugikan’
kepentingan negara. Makar juga kerap kali dimaknai sebagai penyerangan yang
ditujukan kepada pemerintah (kepala negara dan wakilnya). Motif utamanya: membuat
subjek tidak cakap memerintah, merampas kemerdekaan, menggulingkan pemerintah,
mengubah sistem pemerintahan dengan cara yang tidak sah, merusak kedaulatan
negara dengan menaklukan atau memisahkan sebagian negara untuk diserahkan
kepada pemerintahan lain atau dijadikan negara yang berdiri sendiri.
Sedangkan
pasal-pasal “penyebaran kebencian” (Haatzai Artikelen) atau penghasutan dalam
KUHP diatur dalam Pasal 154, 155, dan 156. Pasal-pasal ini menetapkan,
“pernyataan di muka umum mengenai perasaan permusuhan, kebencian atau
penghinaan terhadap pemerintah” sebagai sebuah kejahatan dan melarang
“pernyataan mengenai perasaan atau pandangan semacam itu melalui media publik.”
Pelanggaran atas pasal-pasal tersebut diancam hukuman penjara hingga tujuh
tahun.
Di era Presiden Soeharto (mendiang), pasal-pasal ini sering digunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat. Lawan-lawan politik, kritikus, mahasiswa, dan pembela hak asasi manusia paling sering menjadi target pembungkaman. Penguasa menarik-ulur pasal-pasal ini (pasal-pasal “karet”) untuk membatasi dan mengekang hak-hak individu atas kebebasan berpendapat. Di era reformasi ini, pasal-pasal ini masih sering digunakan untuk mendakwa aktivis pro demokrasi. Di Papua sendiri, pasal ini getol dijeratkan pada untuk aktivis prodemokrasi, jika mereka gagal dibuktikan terlibat makar.
Di era Presiden Soeharto (mendiang), pasal-pasal ini sering digunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat. Lawan-lawan politik, kritikus, mahasiswa, dan pembela hak asasi manusia paling sering menjadi target pembungkaman. Penguasa menarik-ulur pasal-pasal ini (pasal-pasal “karet”) untuk membatasi dan mengekang hak-hak individu atas kebebasan berpendapat. Di era reformasi ini, pasal-pasal ini masih sering digunakan untuk mendakwa aktivis pro demokrasi. Di Papua sendiri, pasal ini getol dijeratkan pada untuk aktivis prodemokrasi, jika mereka gagal dibuktikan terlibat makar.
Human
Rights Watch (HRW), dalam laporannya “Protes dan Hukuman Tahanan Politik di
Papua” 2007, menyebutkan Indonesia sebagai contoh sebuah negara di mana
pengecualian yang berlaku-batasan dan kekangan yang dimaksud oleh komite-
sering bertentangan dengan prinsip dasar kebebasan berpendapat. HRW melihat
banyaknya peristiwa penangkapan dan pemenjaraan individu di Indonesia, terutama
Papua, atas keterlibatan secara damai dalam upacara pengibaran bendera.
Tindakan yang melanggar undang-undang internasional hak asasi manusia.
Pengadilan Indonesia juga kerap menerapkan pasal “penyebar kebencian” atau
“penghasutan” kepada aktivis pro-damai yang menggunakan prinsip-prinsip
kebebasan berpendapat. Pasal-pasal tersebut juga melanggar semangat konstitusi
Indonesia, yang menjamin hak semacam itu di saat kemerdekaan dicapai.
Mengenai kecenderungan Pengadilan Negeri di Papua mengalihkan ketidakterbuktian kasus makar menjadi pidana penghasutan. “Pasal makar ini digunakan di zaman kolonial Belanda untuk menekan individu atau kelompok yang memberontak (membangkang). Padahal di era kini, pasal makar ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak masyarakaat sipil untuk mengemukakan aspirasi di muka umum,” tegas Harry Maturbongs mantan koordinator Kontras Papua.
Mengenai kecenderungan Pengadilan Negeri di Papua mengalihkan ketidakterbuktian kasus makar menjadi pidana penghasutan. “Pasal makar ini digunakan di zaman kolonial Belanda untuk menekan individu atau kelompok yang memberontak (membangkang). Padahal di era kini, pasal makar ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak masyarakaat sipil untuk mengemukakan aspirasi di muka umum,” tegas Harry Maturbongs mantan koordinator Kontras Papua.
Gustaf
Kawer, salah satu pengacara di Papua menyebut, kecenderungan pihak Pengadilan
Negeri dan Jaksa Penuntut Umum di Papua mengalihkan ketidakterbuktian kasus
makar menjadi pidana Penghasutan sebagai sebuah bentuk kehati-hatian penegak
hukum. Ini untuk mencegah terjadinya gugatan balik dari pihak terdakwa kepada
negara, jika tidak terbukti bersalah di pengadilan.
Seringkali,
aktivis pro-damai di Papua dijerat dengan pasal berlapis dari pada pasal tertentu
KUHP sesuai pelanggaran spesifik. Kasus Buchtar, misalnya pada 2010. Ia dijerat
dengan lima pasal, yakni Pasal 106 KUHP JO Pasal 110 (makar) KUHP, Pasal 160
KUHP, Pasal 212 KUHP serta Pasal 216 KUHP terkait kasus makar, penghasutan dan
melawan perintah jabatan. Kasus lainnya yang juga divonis pasal makar adalah
kasus Forkorus Cs yang ditangkap aparat kepolisian setelah menyelenggarakan
Kongres Rakyat Papua (KRP) III pada 19 Oktober 2011. Sang ‘Presiden’ Forkorus
bersama Perdana Menterinya Edison G. Waromi, serta tiga tokoh penyelenggara
Kongres Papua-III tersebut, yakni Dominikus Surabut, Agus M. Sananay Kraar, dan
Selfius Bobii, oleh tim jaksa penuntut umum yang dipimpin Jaksa Yulius D.
Memasuki
tahun 2013, pasal makar tetap jalan terus. Tujuh tersangka kasus Aimas, Sorong
Selatan, Papua Barat, masing-masing Klemens Kodimko (71tahun), Obeth Kamesrar
(68 tahun), Antonius Saruf (62 tahun), Obaja Kamesrar (52 tahun), Yordan
Magablo (42 tahun), Hengky Mangamis (39 tahun) dan Isak Klabin (52 tahun),
dituding melakukan makar dalam sidang perdana yang digelar di Pengadilan
Sorong, Senin,19 Agutus 2013.
Juru Bicara Kepolisian Daerah Papua, I Gede Sumerta Jaya mengatakan, penerapan pasal makar kepada keenam tersangka sebelumnya satu pelaku ditentukan, karena dari hasil pemeriksaan, terungkap bahwa mereka adalah tokoh kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau kelompok radikal yang aktif dalam merencanakan, menyuarakan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah.
Juru Bicara Kepolisian Daerah Papua, I Gede Sumerta Jaya mengatakan, penerapan pasal makar kepada keenam tersangka sebelumnya satu pelaku ditentukan, karena dari hasil pemeriksaan, terungkap bahwa mereka adalah tokoh kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau kelompok radikal yang aktif dalam merencanakan, menyuarakan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah.
Padahal
saat itu, ratusan warga berada dalam posko yang baru saja mereka bangun
sebelumnya, Selasa, 30 April sore. Mereka sementara berkumpul dan menyanyi.
Warga berencana merayakan 1 Mei pada Rabu. Sementara menyanyi, bunyi tembakan
dari luar kea rah posko. Penembakan dilakukan oleh beberapa orang yang menggunakan
mobil avanza berkaca gelap dan satu mobil patroli polisi.
0 komentar:
Posting Komentar