Sejarah West Papua |
MENJELANG 1 DESEMBER 2014,
CATATAN SEJARAH DEKLARASI MANUVESTO POLITIK DAN PERJALAN PERUJUAGAN MASA LALU.
Menjelang perayaan 53 tahun
Manuvesto politik bangsa Papua Barat 1 desember 2014 mendatang ada beberapa
sejarah manuvesto Politik kita perlu renunggkan bersama bahwa, perjuagan bangsa
Papua Barat untuk menuntut kemerdekaan bukan karena kecewa terhadap NKRI namun
sebelum Indonesia Menduduki wilayah Papua Barat suda ada. Salain itu perjugan
Bangsa Papua dan bangsa indonesia beda karena sejarah membuktikan bahwa Bangsa
Papua dan Bangsa Indonesia dua Bangsa yang berbeda.
1. Hubungan Sejarah Perjuangan Indonesia
dan Papua Barat
Indonesia (Sabang sampai Amboina)
dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, sedangkan Papua Barat (Nederland
Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua Barat dan
Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan
Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang
kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan
Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu
mulai dari Sabang sampai Amboina. Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan
dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari
Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke.
Tahun 1908 Indonesia masuk dalam
tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan otak) yang ditandai dengan berdirinya
berbagai organisasi perjuangan. Dalam babak perjuangan baru ini banyak
organisasi politik-ekonomi yang berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20
Mei 1908), Serikat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis
Indonesia (1913), Perhimpunan Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya.
Dalam babakan perjuangan ini,
terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi perjuangan ini, rakyat Papua
Barat sama sekali tidak terlibat atau dilibatkan. Hal ini dikarenakan musuh
yang dihadapi waktu itu, yaitu Belanda adalah musuh bangsa Indonesia sendiri,
bukan musuh bersama dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi
bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai musuh yang bersama dengan rakyat
Indonesia, karena Belanda adalah musuhnya masing-masing.
Rakyat Papua Barat juga tidak
mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Dalam
Sumpah Pemuda ini banyak pemuda di seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra Bond,
Jong Java, Jong Celebes, Jong Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan
kebulatan tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tetapi
tidak pernah satu pemuda dari Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda
tersebut. Karena itu, rakyat Papua Barat tidak pernah mengakui satu bangsa,
satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya “Indonesia” itu.
Setelah semua perjuangan masing-masing pihak mengalami jalan buntu, maka selanjutnya wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa yang diperebutkan oleh Belanda dan Indonesia. Indonesia dan Belanda sama-sama mempunyai ambisi politik yang besar dalam merebut Papua Barat.
Lambang Negara Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.
4. Alasan Pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia
Pada tanggal 27 Oktober 1814 dibuat sebuah kontrak antara sultan Ternate dan Tidore yang disaksikan oleh residen Inggris, bahwa seluruh kepulauan Papua Barat dan distrik-distrik Mansary, Karandefur, Ambarpura dan Umbarpon pada pesisir Papua Barat (daerah sekitar Kepala Burung) akan dipertimbangkan kemudian sebagai milik sah sultan Tidore.
Banyak peristiwa politik dalam memperjuangan kemerdekaan Papua Barat yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat terutama oleh OPM pasca Penentuan Pendapat Rakyat 1969, tetapi secara umum di sini hanya akan dikemukakan empat peristiwa penting dalam upaya untuk memerdekakan Papua Barat dari kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Akibat kemelut politik, terutama karena pembunuhan Arnol C. Ap maka terjadi gelombang pengungsian secara besar-besaran ke Papua New Guinea. Sebanyak 11.000 orang Papua dari Papua Barat ditampung di kamp-kamp pengungsi Wabo dan Yako yang lebih dikenal dengan nama Black Water dan Black Wara, dimana para pengungsi tersebut diurus oleh perwakilan UNHCR (United Nations High Commision for Refugees) di Vanimo.
7. Tim Seratus (T-100 )
b.Segera dibentuk pemerintahan peralihan dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selambat-lambatnya bulan Maret 1999.
d. Kami bangsa Papua Barat tidak ikut dalam Pemilihan Umum 1999.
Inti dari Manifesto Hak-hak Dasar Rakyat Papua dan Resolusi Kongres 2000 adalah: Papua Barat harus keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mendirikan Negara merdeka dan berdaulat sendiri.”
Saat itu Mohammad Hatta
menegaskan bahwa ; bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka
biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri. Sementara Soekarno
mengemukakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam
salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945.
Ketika Indonesia diproklamasikan,
daerah Indonesia yang masuk dalam proklamasi tersebut adalah Indonesia yang
masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak
termasuk kekuasaan Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat). Karena itu pernyataan
berdirinya Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas kekuasaan
wilayahnya dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat.
Tanggal 19 Agustus 1945 (dua hari
setelah kemerdekaan Indonesia) Indonesia dibagi dalam delapan buah Propinsi.
Salah satu Propinsinya adalah Maluku. Banyak kalangan berasumsi bahwa wilayah
Papua Barat masuk dalam wilayah Propinsi Maluku. Padahal secara nyata
penguasaan wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Propinsi Maluku itu dipikirkan
dan direalisasikan sejak pembentukan sebuah Biro Irian pada tanggal 14 Desember
1953 yang bertugas mengadakan penelitian mengenai daerah Indonesia yang bisa dijadikan
sebagai jembatan untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda.
Dari hasil penelitian itu,
ternyata pilihan jatuh pada wilayah Maluku Utara. Maka dengan lahirnya UU No.
15 Tahun 1956 tentang pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai
ibukota Propinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore)
yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian Propinsi Irian
Barat Perjuangan.
Setelah peresmian Propinsi Irian
Barat perjuangan, Papua Barat tetap menjadi daerah sengketa antara Indonesia
dan Belanda. Beberapa persitiwa politik dalam memperebutkan Papua Barat oleh
kedua bela pihak adalah:
a. Sebelum penandatangan Perjanjian
Lingggarjati pemerintah
Belanda pernah menyatakan agar
Papua Barat dapat menerima status sendiri terhadap Kerajaan Belanda dan Negara
Indonesia Serikat menurut jiwa pasal 3 dan 4 Perjanjian tersebut. Jadi di sini
Belanda mengadakan pengecualian bagi Papua Barat agar kedudukan hukum wilayah
tersebut tidak ditentukan oleh Perjanjian Linggarjati.
b. Dalam Konferensi Meja Bundar
yang dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus-2 November 1945
disepakati bahwa mengenai status quo wilayah Nieuw Guinea tetap berlaku seraya
ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan
kepada Republik Indonesia Serikat, masalah kedudukan-kenegaraan Papua Barat
akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat
dan Kerajaan Belanda.
Tetapi dalam kesempatan yang sama
pula status Papua Barat (Nederland Niew Guinea) secara eksplesit dinyatakan
oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat
tidak perlu dipersoalkan karena bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang
merdeka.”
c. Dalam konferensi para menteri
antara Belanda dan Indonesia yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 25
Maret-1 April dibentuk sebuah panitia gabungan dengan surat Keputusan Para
Menteri Uni Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T. Berdasarkan keputusan
tersebut, masing-masing pihak mengangkat tiga orang anggota sebelum tanggal 15
April 1950 dengan tugas untuk menyelidiki status Papua Barat secara ilmiah
untuk menentukan apakah layak masuk dalam kekuasaan Indonesia atau Nederland.
Akhirnya, berdasarkan hasil
penyedikan masing-masing pihak tidak ada pihak yang mengalah, sehingga wilayah
Papua Barat masih dipertahankan oleh Belanda. Selanjutnya disepakati bahwa
penyelesaikan masalah Papua Barat akan diselesaikan kemudian oleh United
Nations Commission for Indonesia tanpa batas waktu yang ditentukan.
d. Karena dirasa wilayah Papua
Barat dikuasai oleh Belanda, maka sejak tahun 1953 pihak Indonesia membawa
masalah Papua Barat ke forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa
dan Konferensi Asia Afrika.
3. Sejarah Manuvesto Plitik Papua
Barat
Ketika Papua Barat masih menjadi
daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara Indonesia dan Belanda,
tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah ada jauh
sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para
politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan
sebuah sekolah Pamongpraja (Bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan
mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan Papua
Barat.
Selanjutnya atas desakan para
politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka pemerintah Belanda
membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik
yang masuk dalam Dewan ini adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk
Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari), A.K.
Gebze (Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N. Tanggahma
(Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian wakil-wakil
dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan H.F.W.
Gosewisch (mewakili Manokwari).
Setelah melakukan berbagai
persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan
Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang beranggotakan 21
orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam mempersiapkan kemerdekaan Papua
Barat. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan
dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya:
MANIVETO POLITIK PAPUA BARAT
1. Menetukan nama Negara : Papua Barat
2. Menentukan lagu kebangsaan :
Hai Tanahku Papua
3. Menentukan bendera Negara :
Bintang Kejora
4. Menentukan bahwa bendera
Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961.
Rencana pengibaran bendera
Bintang Kejora tanggal 1 November 1961 tidak jadi dilaksanakan karena belum
mendapat persetujuan dari Pemerintah Belanda. Tetapi sOetelah persetujuan dari
Komite Nasional, maka Bendera Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di
Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera Bintang
Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku
Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”.
Deklarasi kemerdekaan Papua Barat
ini disiarkan oleh Radio Belanda dan Australia. Momen inilah yang menjadi
Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat secara de facto dan de jure sebagai sebuah
negara yang merdeka dan berdaulat.
Walaupun Papua Barat telah
mendeklarasikan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, tetapi
kemerdekaan itu hanya berumur 19 hari, karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden
Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta yang
isinya:
1. Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian
Barat Tanah Air Indonesia
3. Bersiaplah untuk mobilisasi
umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Realisasi dari isi Trikora ini,
maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan
Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan
kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi
militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Akhirnya dilakukan beberapa
gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan
untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton,
Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi
Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi
Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase
eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus). Melalui
operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak orang Papua yang
telah dibantai pada waktu itu.
Mengapa Soekarno sangat “keras
kepala” dalam merebut wilayah Papua Barat untuk memasukannya ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia? Soekarno mempunyai empat alasan utama dalam
pencaplokan Papua Barat ke wilayah Indonesia. Keempat alasan itu adalah klaim
yang dipegang oleh Indonesia sebagai tindakan pembenaran kekuasaan atas wilayah
Papua Barat. Keempat klaim itu adalah :
1. Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit.
2. Kepulauan Raja Ampat di daerah
kepala burung, Papua Barat, oleh sultan Tidore dan Soekarno diklaim sebagai
bagian dari Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai
bagian dari daerah “Indonesia Bagian Timur”.
3. Papua Barat diklaim sebagai
bagian dari negara bekas Hindia Belanda.
4. Soekarno yang anti barat ingin
menghalau pengaruh imperialisme barat di Asia Tenggara. Di samping itu,
Soekarno memiliki ambisi hegemoni untuk mengembalikan kejayaan kerajaan
Majapahit (ingat: “Ganyang Malaysia”), termasuk Papua Barat yang ketika itu
masih dijajah oleh Belanda.
Mungkin juga Soekarno memiliki
perasaan curiga, bahwa pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat akan
merupakan benteng Belanda untuk sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara
Indonesia. Hal ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede
politionele aktie) pada 19-12-1948 untuk menghancurkan negara RI.
Apakah keempat klaim – sebagai
alasan mengusai Papua Barat ini benar? Mari kita buktikan.
1. Klaim atas Kekuasaan Majapahit
Kerajaan Majapahit (1293-1520)
lahir di Jawa Timur dan memperoleh kejayaannya di bawah raja Hayam Wuruk Rajasanagara
(1350-1389). Ensiklopedi-ensiklopedi di negeri Belanda memuat ringkasan sejarah
Majapahit, bahwa “batas kerajaan Majapahit pada jaman Gajah Mada mencakup
sebagian besar daerah Indonesia”. Sejarawan Indonesia mengklaim bahwa batas
wilayah Majapahit terbentang dari Madagaskar hingga ke pulau Pas (Chili).
Hingga saat ini belum ditemukan
bukti-bukti sejarah berupa ceritera tertulis maupun lisan atau benda-benda
sejarah lainnya yang dapat digunakan sebagai bahan-bahan ilmiah untuk membuat
suatu analisa dengan definisi yang tepat bahwa Papua Barat pernah merupakan
bagian dari Kerajaan Majapahit. Mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari
kerajaan Majapahit tentunya sangat meragukan, karena Soekarno tidak memenuhi
prinsip-prinsip membuat analisa dan definisi sejarah yang tepat, khususnya
sejarah tertulis.
Berkaitan dengan kekuasaan
wilayah kerajaan Majapahit di Indonesia, secara jelas dijelaskan panjang lebar
oleh Prof. Dr. Slamet Muljana, bahwa kekuasaan kerajaan Majapahit, dalam
Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 disebutkan bahwa kerajaan Majapahit mempunyai
wilayah yang luas sekali, baik di kepulauan Nusantara maupun di semenanjung
Melayu.
Pulau-pulau di sebelah timur
pulau Jawa yang paling jauh tersebut dalam pupuh 14/15 ialah deretan pulau
Ambon dan Maluku, Seram dan Timor; semenajung Melayu disebut nama-nama
Langkasuka, Kelantan, Tringgano, Paka, Muara Dingin, Tumasik, Klang, Kedah,
Jerai.
Demikianlah, wilayah kerajaan
Majapahit pada zaman Hayam Wuruk menurut Nagarakretagama meluputi wilayah yang
lebih luas dari pada Negara Republik Indonesia sekarang. Hanya Irian yang tidak
tersebut sebagai batas yang terjauh di sebelah timur. Boleh dikatakan bahwa
batas sebelah timur kerajaan Majapahit ialah kepulauan Maluku. Ini berarti
Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Karena itu sudah
jelas bahwa Soekarno telah memanipulasikan sejarah.
2. Klaim atas Kekuasaan Tidore
Di dalam suatu pernyataan yang di
lakukan antara sultan Tidore dengan VOC pada tahun 1660, secara sepihak sultan
Tidore mengklaim bahwa kepulauan Papua atau pulau-pulau yang termasuk di
dalamnya merupakan daerah kesultanan Tidore.
Soekarno mengklaim bahwa
kesultanan Tidore merupakan “Indonesia Bagian Timur”, maka Papua Barat
merupakan bagian daripadanya. Di samping itu, Soekarno mengklaim bahwa
raja-raja di kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, pernah
mengadakan hubungan dengan sultan Tidore.
Apakah kedua klaim dari sultan
Tidore dan Soekarno dapat dibuktikan secara ilmiah? Gubernur kepulauan Banda,
Keyts melaporkan pada tahun 1678 bahwa dia tidak menemukan bukti adanya
kekuasaan Tidore di Papua Barat. Pada tahun 1679 Keyts menulis lagi bahwa
sultan Tidore tidak perlu dihiraukan di dalam hal Papua Barat.
Menurut laporan dari kapten
Thomas Forrest (1775) dan dari Gubernur Ternate (1778) terbukti bahwa kekuasaan
sultan Tidore di Papua Barat betul-betul tidak kelihatan.
Kontrak ini dibuat di luar
ketahuan dan keinginan rakyat Papua Barat. Berbagai penulis melaporkan, bahwa
yang diklaim oleh sultan Tidore dengan nama Papua adalah pulau Misol. Bukan
daratan Papua seluruhnya.
Ketika sultan Tidore mengadakan
perjalanan keliling ke Papua Barat pada bulan Maret 1949, rakyat Papua Barat
tidak menunjukkan keinginan mereka untuk menjadi bagian dari kesultanan Tidore.
Adanya raja-raja di Papua Barat bagian barat, sama sekali tidak dapat
dibuktikan dengan teori yang benar.
Lahirnya sebutan ‘Raja Ampat’
berasal dari mitos. Raja Ampat berasal dari telur burung Maleo (ayam hutan).
Dari telur-telur itu lahirlah anak-anak manusia yang kemudian menjadi raja.
Mitos ini memberikan bukti, bahwa
tidak pernah terdapat raja-raja di kepulauan Raja Ampat menurut kenyataan yang
sebenarnya. Rakyat Papua Barat pernah mengenal seorang pemimpin armada laut
asal Biak: Kurabesi, yang menurut F.C. Kamma, pernah mengadakan penjelajahan
sampai ke ujung barat Papua Barat. Kurabesi kemudian kawin dengan putri sultan
Tidore. Adanya armada Kurabesi dapat memberikan kesangsian terhadap kehadiran
kekuasaan asing di Papua Barat.
Pada tahun 1848 dilakukan suatu
kontrak rahasia antara Pemerintah Hindia Belanda (Indonesia jaman Belanda)
dengan Sultan Tidore di mana pesisir barat-laut dan barat-daya Papua Barat
merupakan daerah teritorial kesultanan Tidore. Hal ini dilakukan dengan harapan
untuk mencegah digunakannya Papua Barat sebagai papan-loncat penetrasi Inggris
ke kepulauan Maluku. Di dalam hal ini Tidore sesungguhnya hanya merupakan
vassal proportion (hubungan antara seorang yang menduduki tanah dengan janji
memberikan pelayanan militer kepada tuan tanah) terhadap kedaulatan kekuasaan.
Belanda, tulis C.S.I.J.
Lagerberg. Sultan Tidore diberikan mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun
1861 untuk mengurus perjalanan hongi (hongi-tochten, di dalam bahasa Belanda).
Ketika itu banyak pelaut asal Biak yang berhongi (berlayar) sampai ke Tidore.
Menurut C.S.I.J. Lagerberg hongi asal Biak merupakan pembajakan laut, tapi
menurut bekas-bekas pelaut Biak, hongi ketika itu merupakan usaha menghalau
penjelajah asing. Pengejaran terhadap penjelajah asing itu dilakukan hingga ke
Tidore. Untuk menghadapi para penghalau dari Biak, sultan Tidore diberi mandat
oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Jadi, justru yang terjadi ketika
itu bukan suatu kekuasaan pemerintahan atas teritorial Papua Barat. Setelah
pada tahun 1880-an Jerman dan Inggris secara nyata menjajah Papua New Guinea,
maka Belanda juga secara nyata memulai penjajahannya di Papua Barat pada tahun
1898 dengan membentuk dua bagian tertentu di dalam pemerintahan otonomi
(zelfbestuursgebied) Tidore, yaitu bagian utara dengan ibukota Manokwari dan
bagian selatan dengan ibukota Fakfak. Jadi, ketika itu daerah pemerintahan
Manokwari dan Fakfak berada di bawah keresidenan Tidore. Mengenai manipulasi sejarah
berdasarkan kekuasaan Tidore atas wilayah Papua Barat ini, Dr. George Junus
Aditjondro menyatakan bahwa:
Kita mempertahankan Papua Barat
karena Papua Barat adalah bagian dari Hindia Belanda. Itu atas dasar apa? Hanya
karena kesultanan Tidore mengklaim bahwa dia menjajah Papua Barat sampai teluk
Yotefa mungkin? Maka kemudian, ketika Tidore ditaklukan oleh Belanda, Belanda
belum merasa otomatis mendapatkan hak atas penjajahan Tidore? Belanda mundur,
Indonesia punya hak atas semua eks-jajahan Tidore? Itu kan suatu mitos.
Sejak kapan berbagai daerah di
Papua barat takluk kepada Tidore?... Saya kira tidak. Yang ada adalah hubungan
vertikal antara Tidore dan Papua Barat, tidak ada kekuasaan Tidore untuk
menaklukan Papua Barat. Atas dasar itu, klaim bahwa Indonesia berhak atas
seluruh Hindia Belanda dulu, merupakan imajinasi.” Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk
mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan
Tidore.
3. Klaim atas kekuasaan Hindia
Belanda
Secara historis penjajahan, Papua
Barat sesungguhnya bukan bagian dari Wilayah Republik Indonesia, karena Papua
Barat bukan bagian dari Hindia Belanda. Pada tanggal 24 agustus 1828 di Lobo,
Teluk Triton Kaimana (pantai selatan Papua Barat) diproklamasikan penguasaan
Papua Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland. Sedangkan di Bogor, 19 Februari
1936 dalam Lembaran Negara Hindia Belanda disepakati tentang pembagian daerah
teritorial Hindia Belanda, yaitu sabang sampai Amboina tidak termasuk Papua
Barat (Nederland Neiw Guinea).
Juga perlu diingat bahwa walaupun
Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun
administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah
oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang
Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda
atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina (Hindia Belanda).
Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port
Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke
(Nederland Nieuw Guinea).
Selain itu saat tertanam dan
tercabutnya kaki penjajahan Belanda di Papua Barat tidak bertepatan waktu
dengan yang terjadi di Indonesia. Kurun waktunya berbeda, di mana Indonesia
dijajah selama tiga setengah abad sedangkan Papua Barat hanya 64 tahun (1898-1962).
Tanggal 24 Agustus 1828, ratu Belanda mengeluarkan pernyataan unilateral bahwa
Papua Barat merupakan daerah kekuasaan Belanda.
Secara politik praktis, Belanda
memulai penjajahannya pada tahun 1898 dengan menanamkan pos pemerintahan
pertama di Manokwari (untuk daerah barat Papua Barat) dan di Fakfak (untuk
daerah selatan Papua Barat. Tahun 1902, pos pemerintahan lainnya dibuka di
Merauke di mana daerah tersebut terlepas dari lingkungan teritorial Fakfak.
Tanggal 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Papua Barat ke dalam PBB. Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan
sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk
dalam kekuasaan Hindia Belanda.
4. Menghalau Pengaruh
Imperialisme Barat di Asia Tenggara.
Soekarno mengancam akan memohon
dukungan dari pemerintah bekas Uni Sovyet untuk menganeksasi Papua Barat jika
pemerintah Belanda tidak bersedia menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik
Indonesia.
Pemerintah Amerika Serikat (AS)
pada waktu itu sangat takut akan jatuhnya negara Indonesia ke dalam Blok
komunis. Soekarno dikenal oleh dunia barat sebagai seorang Presiden yang sangat
anti imperialisme barat dan pro Blok Timur. Pemerintah Amerika Serikat ingin
mencegah kemungkinan terjadinya perang fisik antara Belanda dan Indonesia.
Maka Amerika Serikat memaksa
pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia.
Di samping menekan pemerintah Belanda, pemerintah AS berusaha mendekati
presiden Soekarno. Soekarno diundang untuk berkunjung ke Washington (Amerika
Serikat) pada tahun 1961. Tahun 1962 utusan pribadi Presiden John Kennedy yaitu
Jaksa Agung Robert Kennedy mengadakan kunjungan balasan ke Indonesia untuk
membuktikan keinginan Amerika Serikat tentang dukungan kepada Soekarno di dalam
usaha menganeksasi Papua Barat.
Untuk mengelabui mata dunia, maka
proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat dilakukan melalui jalur hukum
internasional secara sah dengan dimasukkannya masalah Papua Barat ke dalam
agenda Majelis Umum PBB pada tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum PBB dibuatlah
Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free Choice”
(Pernyataan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian diterjemahkan oleh
pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Pernyataan Pendapat Rakyat) yang
dilaksanakan pada tahun 1969.
5. Proses Ilegal Pentuan Pendapat
Rakyat (PEPERA) 1969
Penandatanganan New York
Agreement (Perjanjian New York) antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan
oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar
Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962.
Beberapa hal pokok dalam perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah
sebagai berikut:
1. New York Agreement (Perjanjin
New York) adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun
moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa
Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi
bangsa Papua Barat.
2. Sejak 1 Mei 1963, bertepatan
dengan Unites Nations Temporrary Executive Administratins (UNTEA) atau
Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat menyerakan kekuasaanya kepada
Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan
militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua, akibatnya hak-hak politik
dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.
3. Pasal XVIII ayat (d) New York
Agreement mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not
foreign nationals to participate in the act of self determination to be carried
out in accordance whit international practice Aturan ini berarti penentuan
nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita
yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement.
Namun hal ini tidak dilaksanakan.
Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh
1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan
dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang
menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia.
Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat
penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam
penentuan nasib sendiri itu.
4. Teror, intimidasi dan
pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969 untuk
memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer Indonesia.
Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.:
r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida
kabupaten Merauke, isi surat tersebut:
“Apabila pada masa poling
tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (dewan musyawarah),
penggantiannya dilakukan jauh sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan
secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak
dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan
PEPERA, harus berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk menyingkirkan
anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang
DEMUS PEPERA. Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa PEPERA secara
mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara ‘tidak’ wajar.”
Mengingat bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula
kabupaten-kabupaten lain di luar kabupaten Merauke, maka patut diduga keras
surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati
yang lain.
Pada tahun 1967 Freeport-McMoRan
(sebuah perusahaan Amerika Serikat) menandatangani Kontrak Kerja dengan
pemerintah Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga dan emas di Pegunungan
Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak
Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991. Kepentingan Amerika
Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan Kontrak
Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi realitas.
Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua Barat. Di sini
terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat dari tahun 1962 hingga 1969
dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa.
Penentuan Pendapat Rakyat tahun
1969 tidak sah karena dilaksanakan dengan sistem “musyawarah” (sistem local
Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York Agreement, di samping
itu PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat terror, intimidasi,
penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi).
Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya disahkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.
6. Papua Barat dalam Kekuasaan
Indonesia (Era Negara Orde Baru-NOB)
a. Proklamasi 1 Juli 1971
Setelah wilayah Papua Barat
dimasukan secara sepihak lewat manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat oleh
Indonesia pada tahun 1969, wilayah ini diduduki layaknya sebuah wilayah
jajahan. Indonesia mulai memperketat wilayah ini untuk mematikan gerakan
kemerdekaan Papua Barat yang dilancarkan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM)
lewat perjuangan diplomasi dan gerilya.
Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu
tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea,
yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat
Papua Barat sebagai “Mavik" “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua
Barat. Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem sebagai Presiden
Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan
Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon
Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional
(TEPENAL ), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL Republik Papua
Barat.
Isi teks Proklamasi 1 Juli 1971
adalah:
PROKLAMASI Kepada seluruh rakyat
Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan
Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi. Dengan pertolongan dan berkat
Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian
bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan
menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure).
Semoga Tuhan beserta kita, dan
semoga dunia menjadi maklum, bahwa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat
Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah
dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua
Barat, Seth Jafet Rumkorem (Brigadir-Jenderal)
b. Imajinasi Negara Melanesia
Barat
Tiga tahun sesudah proklamasi di
“Markas Victoria”, imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah negara
tetangga mereka, Papua New Guinea. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang
pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani
apa yang mereka sebut “Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen”, yang isinya
menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua
New Guinea) sampai ke Sorong, yang “100% merdeka di luar Republik Indonesia”.
Sejak Februari 1975, lima di
antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang di
antara penandatangan “proklamasi Sorong-Samarai” itu, Y. Ch. Merino, orang Biak
yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14
Februari 1975 kedapatan “bunuh diri” di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di
rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua tahun
ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, diajukan ke
pengadilan negeri Jayapura. Pada tanggal 9 Maret 1977, kelimanya divonis
delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan “maker”.
c. Gelombang Pengungsian dan
Pembunuhan Arnold Clemens Ap
Pada tanggal 26 April 1984,
pemerintah Indonesia melakukan “sesuatu” yang justru semakin menumbuhkan
kesadaran nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang martir yang
kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang
saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal
Papua Barat, Arnold Clemens Ap, ditembak oleh Koppasanda (sekarang Kopassus) di
pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Arnold Ap sedang
menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua New
Guinea, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi
terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.
Pembunuhan ini berawal dari
sebuah “tawaran” kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari tahanan Polda guna
menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo, tampaknya sangat
menggiurkan. Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang
berakhir dengan meninggalnya sang budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26
April 1984. Sebelum “ditawar” untuk melarikan diri, pada tanggal 30 November
1983, Arnold ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis di Jayapura. Sebelum
dan sesudahnya, sekitar 20 orang Papua lain, yang umumnya bergerak di
lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk
diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan dan
di luar negeri.
Arnol dibunuh karena ia juga
dicurigai menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan dengan yang ada di
kota, yang memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan Jantje Hembring,
tokoh OPM di hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian
seorang dosen Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua
Barat, Seth Jafet Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak.
Selain itu, Indonesia merasa sangat khawatir dengan Group Musik Manbesak yang
dicurigai membangkitkan semangat nasionalisme Papua Barat untuk merdeka lepas
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Proklamasi Melanesia Barat
Pada tanggal 14 Desember 1988,
Dr. Thomas Wapai Wanggai memproklamasikan Negara Melanesia Barat. Ia mengusung
nama Negara Melanesia Barat untuk melepaskan Papua Barat dari kekuasaan
Indonesia. Dia Mendeklarasikan Kemerdekaan Melanesia Barat dengan menaikan
Bendera Bintang Empat Belas (B-14) di Lapangan Mandala Port Numbay tahun 1988.
Akibatnya dia dipenjarakan di LP Cipinang Jakarta, tetapi dia meninggal dunia
tahun 1996 karena sakit ketika menjalani hukumannya. Kematiannya dicurigai
karena diracuni. Akhirnya banyak pengikutnya yang hingga kini melarikan diri ke
luar negeri.
Ide Thomas Wapai Wanggai mengenai
Negara Melanesia Barat ini tidak jelas mengenai batas wilayah “Melanesia Barat”
itu. Apakah Melanesia Barat juga meliputi Maluku, Timor Timur, dan Nusa
Tenggara Timur, yang penduduknya serumpun Melanesia? Ataukah penggunaan istilah
itu hanyalah suatu taktik politik, suatu appeal ke arah isu Solidaritas
Melanesia yang populer di beberapa negara Pasifik Selatan. Yang jelas,
proklamasi Tom Wanggai punya appeal yang besar terhadap sebagian penduduk kota
Jayapura dan kota-kota satelit-satelitnya.
Selain empat peristiwa politik
yang telah disebutkan di atas, masih ada juga aksi-aksi perjuangan rutin baik
secara diplomatik maupun gerilya yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat. Secara
diplomatik misalnya terjadi lobi dan pembukaan kantor-kantor perwakilan OPM di
berbagai negara, seperti di Swedia (1972), Senegal (1976), dan kampanye yang
dilakukan di Belanda, Yunani, Jepang, PNG dan negara lainnya. Sementara secara
gerilya misalnya terjadi penyerangan-penyerangan terhadap Pos Militer
(TNI/POLRI) oleh TPN-OPM, terjadi penyanderaan, dan lainnya sepanjang kekuasaan
Negara Indonesia era Orde Baru di Papua Barat.
Sebagai balasannya Indonesia
melalui kekuatan militer lewat penerapan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM)
melakukan teror, intimidari, pengejaran, pemenjarahan, pemerkosaan, pembunuhan,
pembakaran fasilitas umum dan kampung, dan aksi kejahatan militer yang lainnya.
Selain itu dilakukan Operasi Koteka pada tahun 1970-an, yang mana rakyat
dipaksa untuk mengenakan pakaian ala orang Indonesia yang terbuat dari kain.
Akibat Operasi Militer banyak
rakyat Papua Barat yang telah menjadi korban. Hal dapat dilihat dari laporan
Amnesty International yang mengemukakan bahwa telah terjadi 100 ribu rakyat
Papua Barat dibantai oleh militer Indonesia. Selain itu Universitas Yale
mengeluarkan laporan resmi bahwa telah terjadi Genosida di Papua Barat yang
dilakukan oleh pemerintah dan militer Indonesia yang berjudul “Indonesia Human
Rights Abuse in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History
of Indonesia Control.” Selain Universitas Yale, John Wing dan Peter King dari
Center for Peace and Conflict Studies di Universitas Sydney Australia juga
telah menerbitkan sebuah laporan sebagai hasil riset tentang Genosida di Papua
Barat yang berjudul “Genocide in West Papua? The Role of Indonesian State
Apparatus and a Current Needs Assessment of the Papua People”.
7. Kebangkitan Nasional Papua Barat
(Era Reformasi Indonesia)
Bersamaan dengan tumbangnya
“raja” Soeharto dari kursi kekuasaanya, lahirnya masa Reformasi di Indonesia.
hal itu terjadi sejak tahun 1998, dan sekarang ini juga kita berada dalam masa
Reformasi Indonesia. Lahirnya Reformasi memberikan “angin segar” bagi rakyat
Papua Barat untuk memperjuangan kemerdekaan negaranya secara terbuka. Berikut
ini beberapa peristiwa politik (perjuangan) yang dilakukan oleh rakyat Papua
Barat dalam upaya untuk mendirikan Negara Papua Barat yang merdeka dan
berdaulat, yaitu:
1. Demonstrasi Pelanggaran HAM di
Papua Barat
Ada tiga peristiwa penting
demonstrasi Pelanggaran HAM di Papua Barat selama bulan Mei dan Juni 1998,
yaitu tanggal 25 Mei 1998, 5 Juni 1998, dan 11 Juni 1998. Ketiga demonstrasi
tersebut menuntut pertanggungjawaban TNI/POLRI dan Pemerintah Indonesia atas
segala pelanggaran HAM di Papua Barat.
2. Surat Kongres Amerika Serikat
dan RFK Memorian
Pada tanggal 22 Mei 1998 (sehari
sesudah B.J. Habibie diangkat menjadi Presiden Indonesia) Indonesia menerima
surat dari Kongres Amerika Serikat, dan tanggal 27 Mei 1998 (seminggu setelah
B.J. Habibie diangkat menjadi Presiden Indonesia) Indonesia menerima surat dari
Roberth F. Kennedy. Salah satu poin yang menjadi perhatian dan dorongan bagi
rakyat Papua adalah butir keempat dari surat tersebut yang isinya berbunyi
sebagai berikut: “Memprakarsai dialog yang langsung dan beritikat baik dengan
masyarakat Timor Timur dan Irian Jaya menyangkut perlindungan HAM serta
memprakarsai jalan keluar yang adil mengenai status politik kedua daerah”.
3. Aksi Pengibaran Bendera Papua
Semangat kebangkitan rakyat Papua
Barat menuju Papua Baru yang merdeka dan berdaulat semakin nyata dari sejumlah
aksi-aksi politik yang berkisar pada pengibaran Bendera Bintang Kejora di
seluruh Tanah Papua Barat dan luar Papua Barat. Beberapa aksi pengibaran
Bendera Bintang Kejora dan aksi demonstrasi adalah:
a. Pengibaran Bendera Papua di Jayapura, tanggal 1 Juli 1998
b. Pengibaran Bendera Papua di
Biak, tanggal 2-6 Juli 1998
c. Pengibaran Bendera Papua di di
Sorong, tanggal 2 -3 Juli 1998
d. Pengibaran Bendera Papua di
Wamena, tanggal 7 Juli 1998
e. Pengibaran Bendera Papua di Manokwari,
tanggal 2 Oktober 1998
f. Aski pengibaran Bendera Papua
juga terjadi di beberapa kota di Papua seperti Serui, Fak Fak, Timika, Nabire,
Puncak Jaya dan Merauke.
g. Demonstrasi mahasiswa Papua
dibawah komando Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Jakarta yang diikuti oleh aksi
demosntrasi mahasiswa di Bali dan Sulawesi.
4. Pendirian FORERI
Dengan melihat perkembangan
aspirasi dan perjuangan “Papua Barat Merdeka”, maka tokoh agama, tokoh adat,
tokoh perempuan, tokoh pemuda dan wakil mahasiswa membentuk Forum Rekonsiliasi
Masyarakat Irian Jaya (FORERI) pada tanggal 24 Juli 1998 di Kantor Elsham
Kotaraja Jayapura.
Forum ini dibentuk untuk menjembatani
semua aspirasi yang berkembang di masyarakat untuk disampaikan ke Pemerintah
Pusat atau kemungkinan solusi lain dalam penyelesaian masalah Papua Barat,
terutama dalam masalah kemerdekaan Papua Barat, tawaran otonomi oleh pemerintah
Indonesia, masalah pelanggaran HAM, dialog nasional, pembebasan tahanan politik
dan beberapa masalah aktual lainnya. Drs. Willy Mandowen diangkat sebagai
Sekretaris Eksekutif yang dibantu oleh Drs. Martinus Patay dan beberapa
sukarelawan dari mahasiswa dalam menjalankan tugasnya.
5. Tim Pencari Fakta DPR RI
Mengkristalnya tuntutan
kemerdekaan Papua Barat memaksa DPR RI membentuk Tim Pencari Fakta. Pada
tanggal 27 Juli 1998 Tim Pencari Fakta bertemu dengan para pendiri FORERI di
hotel Matoa Jayapura. FORERI menyerahkan laporan pelanggaran HAM di Papua,
kemudian Theys Hiyo Eluay mengusulkan untuk diadakan Dialog Nasional dan Dialog
Internasional mengenai masalah Papua Barat, sementara Dr. Benny Giyai
memaparkan penderitaan rakyat Papua selama 32 tahun dan akar masalah tuntutan
kemerdekaan Papua Barat.
6. Deklarasi 1 Agustus 1999
Dalam usaha untuk mengakomodir
semua gerakan kebangkitan Papua Barat yang semakin marak di Papua Barat, maka
Theys Hiyo Eluway dan Yorrys Th. Raweyai menggelar pertemuan di Gedung BPD
Jayapura. Pertemuan ini diawali dengan dengan doa kemudian dilanjutkan dengan
penyampaian aspirasi oleh semua komponen yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Beberapa kesepakatan penting yang diambil dalam pertemuan ini adalah:
a. Menyamakan persepsi politik, yakni rakyat ingin “Papua
Merdeka”.
b. Diusulkan nama Irian Jaya
diganti dengan nama Papua.
c. Perlu dilakukan Dialog
Nasional antara rakyat Papua Barat dengan Presiden B.J. Habibie.
d. Theys Hiyo Eluay mengundurkan
diri dari segala aktivitas politik dalam NKRI dan menanggalkan segala atribut
“Merah Putih” yang disandangnya sejak 1969 dan menyatakan diri sebagai
“Pemimpin Gerakan Papua Merdeka” ke depan.
Dalam pertemuan Tim Seratus
(T-100) dengan Presiden B.J. Habibie yang dilaksanakan di Istana Negara Jakarta
pada tanggal 26 Februari 1999, seratus orang perwakilan rakyat Papua Barat
dengan tegas menyampaikan keinginannya untuk merdeka sebagai negara berdaulat
dari kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari
isi pernyataan politik bangsa Papua bahwa:
a. Kami keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk
membentuk negara yang merdeka dan berdaulat penuh dan berdiri sejajajar dengan
bangsa-bangsa lain. Kemerdekaan ini menjamin nilai-nilai kemanusiaan yang
selama ini diinjak-injak oleh bangsa Indonesia disamping pembangunan ekonomi,
sosial dan budaya. Di dalam kemerdekaan itulah dapat dibangun tanah dan bangsa
Papua.
c. Sebagai tindak lanjut politis
adalah segera diadakan perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia, bangsa
Papua Barat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
8. Musyawarah Besar Papua 2000
Pada tanggal 23-26 Februari 2000
dilakukan Musyawarah Besar (Mubes) di Sentani, Jayapura. Mubes ini dilakukan
sebagai sebuah langkah strategis untuk mempersiapkan Kongres Papua 2000. Mubes
ini dilaksanakan untuk menguji kematangan demokrasi rakyat Papua.
Selain untuk menguji kematangan
demokrasi rakyat Papua, Mubes juga mempersiapkan dan merumuskan agenda-agenda
penting sebagai pilar-pilar (tema-teman) perjuangan Papua Barat. Agenda-agenda
itu antara lain tentang Agenda Pelurusan sejarah, Agenda Politik, dan
Konsolidasi Komponen Perjuangan Papua. Yang paling penting dari Mubes ini
adalah membuat kendaraan politik, yaitu dengan membentuk Dewan Papua yang
terdiri dari Panel dan Presidium Dewan Papua.
9. Kongres Rakyat Papua II (2000)
Kongres Papua II (2000)
dilaksanakan pada tanggal 29 Mei-4 Juni 2000 di Gedung Olahraga Cenderawasih
(GOR) Jayapura, dengan tema kongres: Mari Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat,
sedangkan subtema kongres: Rakyat Bangsa Papua Bertekat Menegakan Demokrasi dan
Hak Asasi Manusia Berdasarkan Prinsip-Prinsip Kebenaran dan Keadilan Menuju
Papua Baru.
Kongres ini dihadiri oleh 3000
peserta resmi yang diundang, selain itu dihadiri oleh ribuan rakyat Papua Barat
yang tidak diundang. 3000 peserta resmi itu terdiri dari beberapa kategori,
yaitu:
a. Presidium Dewan Papua 31
orang.
b. Panel Dewan Papua 400 orang.
c. Utusan Langsung Masyarakat
Papua 1800 orang
d. Utusan Pemerintah dan DPR/DPRD
150 orang
e. Pengamat 50 orang
f. Peninjau Khusus 30 orang
g. Pers-Jurnalis 100 orang
h. Undangan Khusus 100 orang.
Kongres ini telah berhasil
melahirkan sebuah Manifesto Hak-hak Dasar Rakyat Papua dalam empat bidang,
yaitu Bidang Ekonomi, Bidang Sosial (Pendidikan, Kesehatan, dan Kependudukan),
Bidang Budaya, dan Bidang Hak-hak Sipil dan Politik. Kemudian pula melahirkan
sebuah Resolusi Kongres Papua 2000 yang menegaskan kepada Indonesia dan
bangsa-bangsa di duniai: “mengakui kemerdekaan Papua 1 Desember 1961, menolak
New York Agreement 1962, menolak hasil PEPERA 1969, mendesak pengakuan
kemerdekaan Papua Barat, dan mendesak penuntasan pelanggaran HAM, mengutuk
Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
memanipulasi dan melantarkan nasib bangsa Papua.”
Selanjutnya dalam Resolusi
Kongres 2000 rakyat Papua memberikan mandat sepenuhnya kepada Presidium Dewan
Papua untuk melaksanakan beberapa hal, seperti: “memperjuangkan pengakuan
kemerdekaan Papua Barat, memperjuangkan pelaksanaan Referendum, mengadakan
usaha dana perjuangan, Panel Kongres harus memberikan dukungan perjuangan
kepada Presidium Dewan Papua, dan mempertanggungjawabkan hasil perjuangan pada
1 Desember 2000.
10. Setelah Kongres Papua 2000
Perjuangan Papua Barat untuk
merdeka mulai menampakkan hasil, namun sejak kematian Theys Hiyo Eluway
perjuangan mengalami kemunduran. Hal itu bertahan hingga tahun 2008.
Tahun 2008 Komite Nasional Papua
Barat KNPB dibentuk dan melakukan kampanye kampanye secara terbuka, untuk
mengiternasionalisasi persoalan Papua Barat selama 6 tahun sejak terhitung
tahun 2008 sampai dengan 2013.
Saat ini kemajuan perjuangan
Papua Barat mengalami kemajuan,hal ini telah terbukti bahwa, selama 52
Persoalan Papua Barat Tidak pernah dibawa oleh Ke PBB Namun dua Tahun terakhir
ini negara vanutu membawa Masalah Papua ke PBB ini merupakan satu langkah maju
oleh sebab itu mari kita tersus Berjuang demi hak penentuan nasib sendiri
Sumber: Fb. (Ones Nesta Suhuniap)
0 komentar:
Posting Komentar