Pejuang Pembebasan Nasional Bangsa Papua Asal Biak di Tanah Amungsa - Bumi Kamoro, Tanah Air West Papua.
Almarhum Jack Yakonias Womsiwor adalah seorang anak Biak berbangsa Papua yang lahir dan dibesarkan dalam realitas penjajahan modern, penindasan struktural, ketidakadilan sosial, serta kekerasan negara Indonesia yang telah berlangsung lama di Tanah West Papua. Sejak masa mudanya, Almarhum menyaksikan secara langsung bagaimana bangsa Papua dan tanah West Papua yang kaya raya dieksploitasi, sementara rakyat sebagai pemilik sah tanah adat hidup dalam penderitaan, ketakutan, dan pemiskinan yang berlangsung secara sistematis.
Dalam perjalanan hidupnya, Almarhum Jack Yakonias Womsiwor sempat bekerja sebagai karyawan PT Freeport Indonesia melalui PT Trakindo di Tembagapura, West Papua. Pekerjaan tersebut memberinya penghidupan, namun tidak mampu menenangkan hati nuraninya. Ia menyadari bahwa keberadaan industri ekstraktif berskala besar tersebut berdiri di atas penderitaan rakyat Amungsa dan Kamoro, serta penderitaan bangsa Papua secara umum di atas tanah air West Papua.
Kesadaran ini menumbuhkan konflik batin yang mendalam antara kenyamanan pribadi dan panggilan moral sebagai anak bangsa Papua. Pada akhirnya, Almarhum Jack Yakonias Womsiwor mengambil keputusan sadar dan berani untuk meninggalkan pekerjaannya, karena baginya tidak ada jalan lain selain berjuang demi kemerdekaan dan martabat bangsa Papua di atas tanah air West Papua. Keputusan ini menjadi titik balik hidup Almarhum, dari seorang pekerja menjadi pejuang rakyat bangsa Papua, khususnya di Tanah Amungsa dan Bumi Kamoro.
Setelah meninggalkan dunia kerja, Almarhum Jack Yakonias Womsiwor secara aktif terlibat dalam gerakan perjuangan sipil rakyat bangsa Papua. Ia bergabung dan bekerja bersama jaringan Perjuangan Pembebasan Nasional Bangsa Papua, khususnya melalui Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Timika.
Almarhum dikenal sebagai pribadi yang tegas dalam prinsip, konsisten dalam perjuangan, berani menyuarakan kebenaran, serta disiplin dan bertanggung jawab dalam kerja-kerja organisasi. Dalam struktur perjuangan KNPB Wilayah Timika, Almarhum pernah menjalankan peran sebagai Ketua Komisariat Intelijen, sebuah posisi strategis yang menuntut keberanian, kepercayaan, dan komitmen tinggi. Posisi inilah yang kemudian menjadikan Almarhum sebagai target langsung aparat keamanan negara Indonesia.
Pada 17 Oktober 2012, Almarhum Jack Yakonias Womsiwor ditangkap bersama enam orang pejuang pembebasan nasional bangsa Papua oleh tim gabungan TNI–POLRI serta unsur BIN/BAIS di Timika, West Papua. Mereka adalah: Steven Itlay, Ketua KNPB Wilayah Timika saat itu, Romario Yatipai, Wakil Ketua Parlemen Nasional West Papua (PNWP), yang kini kembali menggunakan nama Nieuw Guinea Raad (NGR), Yakonias Womsiwor, Ketua Komisariat Intelijen KNPB Wilayah Timika, Alfred Marsyom, Anggota KNPB Wilayah Timika, Paulus Marsyom, Anggota KNPB Wilayah Timika dan Yanto Awerkion, Anggota KNPB Wilayah Timika.
Mereka ditangkap dan dituduh melakukan Makar (Pasal 106 KUHP), sebuah pasal warisan kolonial Belanda yang hingga kini kerap digunakan untuk menjerat dan membungkam para pejuang bangsa Papua yang memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan hak penentuan nasib sendiri di atas tanah air West Papua.
Setelah penangkapan tersebut, para pejuang ditahan di Polres Mimika Mile 32 pada Oktober 2012. Almarhum Jack Yakonias Womsiwor ditahan bersama Alfred Marsyom, Paulus Marsyom, dan Yanto Awerkion dalam satu ruang tahanan berukuran kurang lebih 2 x 2 meter, sementara Steven Itlay dan Romario Yatipai dipisahkan dan ditempatkan di ruang tahanan lain.
Selama kurang lebih satu minggu penuh, mereka mengalami perlakuan tidak manusiawi, antara lain: Tidak diberi makan oleh petugas selama satu minggu, Tidak diizinkan keluar dari sel untuk buang air, Hidup dalam ruang sempit, pengap, dan tidak layak, Mengalami tekanan fisik dan psikologis yang berat.
Perlakuan tersebut merupakan bentuk penyiksaan dan perlakuan kejam, yang bertentangan dengan hukum nasional Indonesia maupun hukum Hak Asasi Manusia internasional.
Pada suatu malam, diperkirakan malam Jumat sekitar pukul 23.00 WIT, aparat keamanan gabungan TNI–POLRI melakukan tindakan yang sangat brutal. Lampu ruang tahanan dimatikan, aparat berpakaian serba hitam dan mengenakan topeng memasuki ruang sel dan menjemput Almarhum Jack Yakonias Womsiwor secara paksa, lalu membawanya keluar dari sel tahanan tanpa penjelasan apa pun.
Dalam kesaksiannya kemudian, Almarhum menceritakan bahwa matanya ditutup menggunakan kantong plastik hitam, kemudian ditutup lagi dengan kain hitam dan dilakban. Tangannya diikat ke belakang, ia dipukul dengan popor senjata, ditendang, dan diseret. Almarhum dipaksa masuk ke dalam peti atau bufet, ditodong senjata, dan dipukul secara terus-menerus.
Penyiksaan tersebut dilakukan oleh aparat TNI dan Polri dengan tujuan memaksa Almarhum mengaku di mana senjata dan bom disembunyikan, karena tuduhan awal penahanan adalah memiliki senjata dan bom. Namun tuduhan tersebut tidak pernah terbukti, dan hanya dijadikan dalih untuk melegitimasi kekerasan terhadap para pejuang bangsa Papua yang telah ditangkap.
Pada tahun 2019, kekerasan kembali dialami Almarhum. Saat aparat gabungan TNI–POLRI memasuki Kantor Sekretariat KNPB Wilayah Timika di Jalan Freeport Lama, Almarhum Yakonias Womsiwor secara terbuka mempertanyakan dasar hukum tindakan tersebut: apa dasar penggerebekan, dan di mana surat perintah yang sah. Alih-alih menjawab secara hukum, aparat justru menembak Almarhum sebanyak enam kali di bagian kaki, kemudian menangkapnya dan menuduhnya menyimpan amunisi.
Amunisi yang ditemukan di kantor KNPB Wilayah Timika tersebut diduga kuat merupakan barang rekayasa (banpol) yang sengaja dipasang untuk menjebak Almarhum dan rekan-rekannya.
Akibat kekerasan yang dialami sejak tahun 2012 hingga 2019, Almarhum menderita sakit kronis akibat luka tembak dan penyiksaan, penderitaan fisik berkepanjangan, serta trauma psikologis yang mendalam. Almarhum berulang kali berobat ke berbagai tempat, namun tidak pernah mendapatkan pemulihan yang layak. Negara Indonesia tidak pernah memberikan keadilan, pengakuan kesalahan, maupun rehabilitasi bagi korban.
Pada 12 Desember 2025, setelah bertahun-tahun menanggung penderitaan akibat kekerasan aparat negara Indonesia, Almarhum Jack Yakonias Womsiwor menghembuskan napas terakhir di RSUD Biak Numfor. Ia wafat bukan sebagai penjahat, melainkan sebagai korban kekerasan aparat negara Indonesia dan sebagai Pejuang Pembebasan Nasional Bangsa Papua yang setia hingga akhir hayat.
Riwayat hidup dan perjuangan Almarhum Jack Yakonias Womsiwor adalah cermin keteguhan rakyat bangsa Papua dalam mempertahankan martabat dan hak hidupnya. Ia boleh gugur, tetapi nilai dan semangat perjuangannya akan terus hidup.
Pejuang boleh gugur, tetapi perjuangan tidak pernah mati.
MAMBRI YAKONIAS JACK WOMSIWOR
SYOWI KUNEM
Tanah Amungsa – Bumi Kamoro dan Tanah Air West Papua menyimpan namamu dalam lembaran sejarah bangsa Papua untuk selamanya.
_____________________________
LAMPIRAN KRONOLOGIS PENANGKAPAN, PENAHANAN, DAN KEKERASAN TERHADAP ALMARHUM JACK YAKONIAS WOMSIWOR.
Yakonias Womsiwor adalah anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Timika yang berulang kali menjadi sasaran penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan kriminalisasi politik oleh aparat negara Indonesia.
1. Penangkapan Pertama – 19 Oktober 2012
Pada 19 Oktober 2012 sekitar pukul 01.00 WIT, aparat Polres Mimika menyerbu rumah anggota KNPB Wilayah Timika, Alfred Marsyom, dan menangkap Yakonias Womsiwor bersama 11 aktivis KNPB lainnya. Penangkapan dilakukan tanpa surat pemberitahuan penangkapan maupun penahanan.
Kedua belas aktivis tersebut kemudian dibawa ke Polres Mimika Mile 32 untuk pemeriksaan lanjutan. Selama masa penahanan, para aktivis mengalami pemukulan dan tekanan fisik untuk dipaksa mengakui kepemilikan panah tradisional adat Biak dan bahan peledak yang dituduhkan akan digunakan dalam aksi demonstrasi pada 23 Oktober 2012.
Pada malam 22 Oktober 2012, Yakonias Womsiwor diinterogasi oleh beberapa aparat bertopeng. Dengan mata tertutup dan kedua tangan diborgol ke belakang, ia dipaksa masuk ke dalam sebuah kotak, di mana aparat terus menginterogasi sambil memukulnya berulang kali. Dalam proses tersebut, Yakonias dipaksa menunjukkan lokasi penyimpanan senjata dan bahan peledak. Kepalanya dipukul menggunakan popor pistol dan ia diancam akan dibunuh apabila tidak mengaku.
2. Penahanan Lanjutan dan Proses Peradilan (2012–2013)
Pada 24 Oktober 2012, enam aktivis KNPB dibebaskan. Namun Yakonias Womsiwor bersama lima aktivis lainnya, yakni Steven Itlay, Romario Yatipai, Paulus Marsyom, Yanto Awerkion, dan Alfred Marsyom, tetap ditahan dengan tuduhan makar (Pasal 106 KUHP) dan kepemilikan bahan peledak.
Selain dakwaan makar, keenam aktivis KNPB tersebut semula juga didakwa melanggar UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan bahan peledak. Dalam perkembangan penyidikan, hanya Yanto Awerkion yang tetap menghadapi dakwaan berdasarkan UU Darurat tersebut.
Sidang perdana Yakonias Womsiwor digelar pada 7 Februari 2013 dengan dakwaan membuat panah Wayar adat Orang Biak. Pada 14 Mei 2013, Pengadilan Negeri Timika menyatakan Yakonias bersalah dan menjatuhkan hukuman delapan (8) bulan penjara.
3. Penangkapan Kedua – 26 November 2013
Pada 26 November 2013, Yakonias Womsiwor kembali ditangkap saat mengikuti aksi demonstrasi damai KNPB Wilayah Timika yang awalnya berlokasi di makam Kelly Kwalik. Sekitar pukul 08.15 WIT, aparat gabungan TNI–POLRI menyerbu lokasi pemakaman dan membubarkan aksi secara paksa.
Yakonias bersama sekitar 30 aktivis KNPB lainnya ditangkap dan dibawa ke Polres Mimika. Mereka akhirnya dibebaskan pada sore hari setelah ribuan masyarakat Timika mendatangi Polres Mimika dan menuntut pembebasan para aktivis.
4. Penangkapan dan Penembakan – 15 September 2018
Pada 15 September 2018, Yakonias Womsiwor kembali ditangkap bersama Erichzon Mandobar oleh aparat gabungan TNI–POLRI Mimika. Keduanya ditangkap bersama 7 aktivis KNPB lainnya saat aparat melakukan penggerebekan Sekretariat KNPB Kota Timika, Kebun Siri, sekitar pukul 07.00 WIT, tanpa surat penggeledahan dari pengadilan.
Penggerebekan tersebut dikaitkan dengan pengembangan perkara Jakob Fabian, seorang warga negara Polandia yang ditangkap pada 26 Agustus 2018. Tanpa surat pemberitahuan penangkapan dan penahanan, sembilan aktivis KNPB dibawa ke Polres Mimika. Tujuh orang dibebaskan pada sore hari, sementara Yakonias dan Erichzon Mandobar tetap ditahan tanpa pendampingan kuasa hukum.
Beberapa hari kemudian, status keduanya dinaikkan menjadi tersangka dengan tuduhan kepemilikan senjata tajam tanpa izin, yang dikaitkan dengan perkara Ruben Wakla, yang ditangkap di Bandara Moses Kilangin Timika pada 10 September 2018 karena membawa ratusan amunisi.
Pada saat penangkapan tersebut, kaki kiri Yakonias Womsiwor ditembak sebanyak enam kali, yakni:
Tiga tembakan di paha kiri bagian depan
Dua tembakan di tulang kering kiri bagian depan
Satu tembakan di telapak kaki kiri bagian atas
Kondisi luka tembakan Yakonias semakin memburuk karena lebih dari satu minggu tidak mendapatkan perawatan medis yang layak dari aparat. Pihak keluarga tidak menerima secara utuh hasil rontgen luka tembak tersebut. Penanganan medis yang lebih serius baru diberikan setelah kasus Yakonias menjadi perhatian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI).
______________________________
ANALISIS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
(Berdasarkan UDHR, ICCPR, dan CAT)
Bagian ini menyajikan analisis yuridis atas rangkaian peristiwa yang dialami Almarhum Jack Yakonias Womsiwor sebagai korban pelanggaran HAM yang berulang, sistematis, dan dilakukan oleh aparat negara. Analisis disusun untuk kepentingan memorial resmi dan advokasi HAM nasional maupun internasional.
A. Pelanggaran terhadap Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
1. Pasal 3 (Hak atas hidup, kebebasan, dan keamanan pribadi)
Penembakan enam kali pada kaki Almarhum, ancaman pembunuhan saat interogasi, serta perlakuan kekerasan fisik yang membahayakan nyawa merupakan pelanggaran langsung atas hak atas hidup dan keamanan pribadi.
2. Pasal 5 (Larangan penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat)
Penyiksaan dalam tahanan—pemukulan, penutupan mata, pengikatan, pemaksaan masuk ke dalam kotak, ancaman senjata api, penelantaran medis—memenuhi unsur penyiksaan dan perlakuan kejam.
3. Pasal 9 (Larangan penangkapan, penahanan, atau pembuangan sewenang-wenang)
Penangkapan tanpa surat perintah, penahanan tanpa akses pendampingan hukum, serta kriminalisasi berulang terhadap aktivitas damai menunjukkan penahanan sewenang-wenang.
4. Pasal 10 dan 11 (Hak atas peradilan yang adil dan asas praduga tak bersalah)
Penggunaan pasal makar dan tuduhan kepemilikan bahan peledak/ senjata tajam tanpa pembuktian yang sah, serta proses hukum yang tidak imparsial, melanggar hak atas peradilan yang adil.
5. Pasal 19 dan 20 (Kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkumpul secara damai)
Penangkapan saat demonstrasi damai dan pembubaran paksa aksi melanggar kebebasan berekspresi dan berkumpul.
B. Pelanggaran terhadap International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
1. Pasal 2 ayat (1) & (3) (Kewajiban negara menghormati, melindungi, dan menyediakan pemulihan efektif)
Negara gagal mencegah pelanggaran, mengusut tuntas, menghukum pelaku, dan memberikan pemulihan efektif (remedy) kepada korban.
2. Pasal 6 (Hak untuk hidup)
Ancaman pembunuhan, penggunaan senjata api yang tidak proporsional, serta penelantaran medis pasca-penembakan melanggar perlindungan hak hidup.
3. Pasal 7 (Larangan penyiksaan)
Interogasi dengan kekerasan, ancaman, dan perlakuan tidak manusiawi merupakan pelanggaran non-derogable (tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun).
4. Pasal 9 (Kebebasan dan keamanan pribadi)
Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang tanpa dasar hukum yang sah melanggar hak kebebasan pribadi.
5. Pasal 10 (Perlakuan manusiawi terhadap orang yang ditahan)
Kondisi sel sempit, penelantaran kebutuhan dasar, dan penelantaran layanan medis melanggar kewajiban perlakuan manusiawi.
6. Pasal 14 (Hak atas peradilan yang adil)
Proses hukum yang diskriminatif dan kriminalisasi politik melanggar fair trial guarantees.
7. Pasal 19, 21, dan 22 (Kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat)
Penindasan terhadap aktivitas organisasi sipil damai melanggar kebebasan fundamental.
C. Pelanggaran terhadap Convention Against Torture (CAT)
1. Pasal 1 (Definisi penyiksaan)
Tindakan pemukulan, ancaman pembunuhan, penutupan mata, pengikatan, dan pemaksaan pengakuan oleh aparat negara memenuhi unsur penyiksaan sebagaimana didefinisikan CAT.
2. Pasal 2 (Kewajiban pencegahan penyiksaan)
Negara gagal mengambil langkah efektif mencegah penyiksaan oleh aparatnya.
3. Pasal 4 (Kriminalisasi penyiksaan)
Tidak adanya penuntutan terhadap pelaku menunjukkan kegagalan kriminalisasi dan penegakan hukum atas penyiksaan.
4. Pasal 12 dan 13 (Kewajiban penyelidikan cepat, imparsial, dan hak mengadu)
Tidak terdapat penyelidikan independen dan imparsial yang efektif; akses pengaduan dan perlindungan korban tidak terpenuhi.
5. Pasal 14 (Hak atas pemulihan dan rehabilitasi)
Penelantaran medis dan ketiadaan rehabilitasi fisik-psikologis melanggar hak korban atas pemulihan penuh.
D. Kesimpulan Hukum
Rangkaian peristiwa yang dialami Almarhum Jack Yakonias Womsiwor menunjukkan pola pelanggaran HAM berat dan berulang yang melibatkan aparat negara, mencakup penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, kriminalisasi kebebasan sipil, penggunaan kekuatan mematikan yang tidak proporsional, serta kegagalan negara memberikan pemulihan efektif. Fakta-fakta ini memenuhi ambang pelanggaran serius terhadap UDHR, ICCPR, dan CAT, dan layak diajukan untuk penyelidikan nasional independen serta mekanisme HAM internasional.
KLASIFIKASI PELANGGARAN HAM BERAT
(Bersifat Sistematis dan Meluas / Systematic and Widespread)
Berdasarkan fakta-fakta kronologis, pola tindakan aparat, serta standar hukum HAM nasional dan internasional, kasus yang dialami Almarhum Jack Yakonias Womsiwor memenuhi unsur pelanggaran HAM berat yang bersifat sistematis dan meluas (systematic and widespread).
A. Unsur Sistematis
Pelanggaran HAM yang dialami Almarhum tidak terjadi secara kebetulan atau insidental, melainkan menunjukkan pola yang terencana, berulang, dan terorganisir, dengan indikator sebagai berikut:
1. Penangkapan berulang tanpa surat perintah (2012, 2013, 2018, 2019);
2. Penggunaan pasal politik (Pasal 106 KUHP) secara konsisten untuk membungkam aktivitas politik damai;
3. Penyiksaan dalam tahanan dengan metode serupa (penutupan mata, pemborgolan ke belakang, pemukulan, ancaman pembunuhan);
4. Keterlibatan aparat negara (TNI–POLRI dan unsur intelijen) sebagai pelaku utama;
5. Impunity berkelanjutan, ditandai dengan tidak adanya penyelidikan efektif, penuntutan, atau pemulihan korban.
Unsur-unsur ini menunjukkan adanya kebijakan atau praktik negara yang mentoleransi bahkan memfasilitasi pelanggaran HAM terhadap aktivis politik Papua.
B. Unsur Meluas
Unsur meluas (widespread) terpenuhi karena:
1. Korban merupakan bagian dari kelompok sipil tertentu, yaitu aktivis politik damai Papua;
2. Tindakan serupa dialami oleh banyak aktivis lain dalam rentang waktu yang sama dan wilayah yang sama (Timika dan sekitarnya);
3. Pelanggaran terjadi berulang selama bertahun-tahun (2012–2019);
4. Dampak pelanggaran bersifat serius dan permanen, termasuk luka tembak, cacat fisik, trauma psikologis, dan kematian.
C. Kualifikasi Jenis Pelanggaran
Dengan merujuk pada Statuta Roma, prinsip-prinsip hukum kebiasaan internasional, serta mandat Komnas HAM RI, peristiwa-peristiwa yang dialami Almarhum dapat dikualifikasikan sebagai:
1. Penyiksaan (Torture)
Pelanggaran berat terhadap CAT Pasal 1, 2, dan 16;
2. Penahanan Sewenang-wenang (Arbitrary Detention)
Pelanggaran UDHR Pasal 9 dan ICCPR Pasal 9;
3. Penganiayaan Berat dan Percobaan Pembunuhan
Penembakan enam kali tanpa ancaman langsung;
4. Penghilangan Sementara (Enforced Disappearance – short-term)
Dibawa keluar sel secara paksa tanpa pemberitahuan;
5. Persekusi atas Dasar Pandangan Politik
Pelanggaran ICCPR Pasal 2 dan 26;
6. Perlakuan Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat
Pelanggaran UDHR Pasal 5 dan ICCPR Pasal 7.
D. Tanggung Jawab Negara
Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran ini karena:
1. Pelaku merupakan aparatur negara;
2. Tindakan dilakukan dalam kapasitas resmi;
3. Negara gagal mencegah, menyelidiki, dan menghukum pelaku;
4. Negara gagal memberikan pemulihan efektif kepada korban dan keluarganya.
E. Rekomendasi Klasifikasi Resmi
Dengan demikian, kasus Almarhum Jack Yakonias Womsiwor direkomendasikan untuk:
1. Diklasifikasikan sebagai Dugaan Pelanggaran HAM Berat;
2. Dimasukkan dalam penyelidikan pro justitia Komnas HAM RI;
3. Direferensikan sebagai bagian dari pola pelanggaran HAM di Papua;
4. Diusulkan untuk pemantauan internasional melalui mekanisme HAM PBB
______________________
Oleh: Romario Yatipai
Wakil Ketua Nasional Nieuw Guinea Raad
Wiawome Junggate, 19 Desember 2025









0 komentar:
Posting Komentar