Add caption |
JAKARTA- Sebanyak 58 prajurit TNI memperoleh kenaikan pangkat atas apa yang oleh TNI-Polri diklaim sebagai operasi senyap pada Jumat (17/11), menumpas Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) - Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) di di wilayah Kimbeli dan Banti, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua.
Upacara penganugerahan kenaikan pangkat luar biasa kepada prajurit TNI dari kesatuan Batalyon Infanteri 751 Rider Jayapura, Komando Pasukan Khusus (Kopassus), dan Peleton Intai Tempur (Tontaipur) Kostrad itu berlangsung pada hari Minggu (19/11) di Kampung Utikini Lama, Distrik Tembagapura.
Media arus utama, khususnya di Jakarta dan di luar Papua, umumnya menggambarkan operasi itu sebagai aksi heroik. Dengan mengutip sumber-sumber resmi TNI-Polri, operasi itu diberitakan berhasil membebaskan lebih kurang 300 (dari 1.300 warga) dari apa yang disebut sebagai penyanderaan oleh KKB. Wakil rakyat di DPR di Jakarta beramai-ramai memberikan apresiasi.
Warga Papua Sambut Dingin Heroisme TNI - Polri di Tembagapura
Namun, berbeda dengan sukacita di Jakarta atas aksi itu, banyak warga di kalangan masyarakat Papua justru terkesan dingin menyambut klaim heroik itu. Hal ini tercermin dari pendapat sejumlah tokoh yang diutarakan sebelum dan sesudah operasi. Bukan hanya menyambut dingin, mereka juga meragukan aksi heroik penyanderaan, bahkan mempertanyakan ada tidaknya penyanderaan. Yang lebih mengejutkan, mereka mengatakan merasa terluka oleh pemberian penghargaan kepada prajurit di tanah mereka sendiri, dan menimbulkan kesan Tanah Papua sebagai ajang untuk mendapatkan kenaikan pangkat.
"Propaganda media yang dilakukan sangat berlebihan, seakan-akan masyarakat yang ada di Banti dan sekitarnya dalam keadaan genting atau darurat,” kata Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Papua, Yanes Murib, sebagaimana diberitakan oleh Tabloid Jubi (20/11), mengomentari apa yang diklaim sebagai penyanderaan.
Ia menilai situasi dan kondisi di Tembagapura tidak seperti yang digambarkan oleh TNI-Polri. Menurut dia,isu penyanderaan yang dituduhkan kepada TNP-OPM di Kampung Banti dan sekitarnya tidak benar, bahkan menjurus sebagai propaganda yang mengarah pada adu domba.
"Perlu diketahui oleh masyarakat luas bahwa kondisi di lapangan tidak seperti yang diberitakan oleh media nasional dan media lokal, ini semua propaganda,” kata Yanes menambahkan.
Yanes menjelaskan, bagaimana mungkin TPN-OPM menyandera, memerkosa, dan membunuh. Sedangkan di sana ada istri anaknya sendiri, keluarga dan saudara sesukunya. Ia mempertanyakan tujuan dan kepentingan negara yang menurut dia merupakan berita bohong kepada rakyat Indonesia.
Legislator Papua, Laurenzus Kadepa, mengatakan hal yang sama. Ia mendesak TNI-Polri menunjukkan bukti penyanderaan terhadap warga di Kampung Banti dan Kimbeli.
"Kami ingin bukti, misalnya rekaman video yang menunjukkan warga di Banti dan Kimbeli benar-benar disandera, dan apa tuntutan pihak yang menyatakan diri sebagai TPN/OPM dalam masalah ini," kata Kadepa kepada Tabloid Jubi (19/11).
Kadepa mengatakan warga di Banti dan Kimbeli tidak dapat disebut disanedera karena warga di wilayah itu bisa berkomunikasi dengan dunia luar menggunakan telepon genggam atau cara lain.
"Kalau warga disebut terisolasi, saya sepakat karena mereka kabarnya tidak bisa keluar dari Kampung Banti dan Kimbeli karena sepanjang jalan kekuar dikuasi kelompok yang menyatakan diri sebagai OPM. Siang hari, warga mengaku beraktivitas seperti biasa. Hanya pada malam hari mereka was-was," ujarnya.
Kalau terjadi penyanderaan, tutur dia, tentu warga tidak dapat beraktivitas seperti biasa. Mereka, kata dia, tentunya akan dikumpulkan di suatu lokasi dan dijaga ketat pihak penyandera, tidak dapat berkomunikasi dengan dunia luar, tanpa seizin kelompok yang menyandera.
Lebih jauh, ia mempertanyakan, mengapa hanya 300 lebih warga yang dievakuasi keluar dari Banti dan Kimbeli. Apalagi mereka ini semuanya adalah warga non-Papua. Sedangkan warga asli Papua yang ada di dua kampung memilih tetap tinggal.
"Kalau saja situasi di Banti dan Kimbeli seperti yang diberitakan selama ini, tentu warga asli Papua juga akan memilih meninggalkan kampung itu. Tapi ini mereka tetap memilih tinggal. Berarti situasinya masih terkendali," katanya.
Dosen Universitas Cendrawasih, Marinus Yaung, mengeritik keras pemberian kenaikan pangkat terhadap prajurit TNI yang diklaim berhasil membebaskan penyanderaan tersebut.
"Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, apa tujuan Anda memberikan kenaikan pangkat istimewa langsung kepada prajuritmu di lapangan, di atas Tanah Papua yang prajuritmu sudah banyak menumpahkan darah orang Papua sejak integrasi hingga saat ini," tulis Marinus lewat akun FB-nya.
"Luar biasa Anda mempertontonkan ketidakadilan di depan mata kami di tanah kami, tanah orang Amungsa. Dengan memberikan kenaikan pangkat istimwa di depan publik di Tanah Papua, Anda sebagai Panglima TNI mendukung hak impunitas prajuritmu dan secara tersirat mengakui bahwa cara tercepat untuk naik pangkat di tubuh TNI adalah membunuh dan menghabisi orang Papua," lanjut dia.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, bahkan dengan tegas mengatakan menolak pernyataan pihak keamanan (TNI dan Polri) dan pemerintah. Pernyataan tentang apa yang diklaim sebagai penyanderaan di Tembagapura, menurut dia, sangat tendensius dan tidak netral serta tidak faktual.
Lebih tendensius lagi, kata dia, karena adanya dugaan upaya terselubung dari pihak tertentu yang membangun opini negatif kepada sebagian besar masyarakat Indonesia di luar Tanah Papua dan dunia untuk memusuhi Orang Asli Papua (OAP) dan gerakan perjuangan damai yang selama dua tahun terahir gencar menyuarakan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua.
"LP3BH sebagai salah satu lembaga advokasi hak asasi manusia di Tanah Papua memperoleh informasi dari sumbernya di Tembagapura bahwa sesungguhnya masyarakat di Banti sama sekali tidak merasa berada dalam kondisi disandera atau adanya penyaderaan terhadap diri mereka," kata Yan Christian dalam siaran persnya.
"Hal itu sesuai pula dengan kutipan wawancara antara jaringan internasional Fairfax dari Australia dengan seorang pemimpin suku Amungme di Kampung Banti tersebut yaitu Jonathan Kibak. Kibak membenarkan bahwa dia dan warganya bersama orang non Papua disana sesungguhnya tidak disandera oleh siapapun,termasuk oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) atau yang disebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjatra (KKB) oleh pihak keamanan selama ini di berbagai media nasional," kata Yan Christian.
"Hal ini semakin menimbulkan pertanyaan kritis bagi kami selaku aktivis hak asasi manusia di Tanah Papua, karena semua informasi mengenai "dugaan" adanya "penyanderaan" tersebut hanya semata-mata berasal dari pihak keamanan (TNI-Polri) dan tidak pernah dapat diverifikasi oleh pihak lain."
Menurut dia, tidak pernah terdengar oleh publik di Tanah Papua, Indonesia dan dunia tentang ada negosiasi antara kelompok penyandera dengan pemerintah atau aparat keamanan sebelum terjadinya upaya "pembebasan sandera." Ia juga mempertanyakan kenapa hanya 344 orang warga sipil non Papua saja yang "dibebaskan"? Bagaimana dengan nasib hampir 1.000 orang warga sipil asli Papua di Kampung Banti, Utikini dan Kimbeli setelah atau pasca "drama pembebasan" 344 warga non Papua tersebut.
Ia menilai ada kesan informasi dari lapangan (Banti dan sekitarnya) hanya berasal dari TNI-Polri semata dan sama sekali tidak ada informasi kedua (second information) dari pihak masyarakat sipil maupun rohaniawan dan pemerintah Provinsi Papua. Karena itu LP3BH mendesak Presiden Republik Indonesia Ir.H.Joko Widodo selaku Kepala Negara dan Panglima TNI serta atasan tertinggi Polri untuk memerintahkan dihentikannya segenap model pendekatan keamanan yang dapat menimbulkan ekses buruk terhadap kondisi keamanan dan keselamatan segenap warga sipil OAP.
Menurut dia, Presiden harus mengambil prakarsa dalam kasus Tembagapura ini, karena tuntutan pihak yang selama ini dituduh dalam pemberitaan jurnalis nasional di Jakarta sebagai "penyandera" yaitu TPN-PB memiliki "tuntutan" tinggi yaitu akan berjuang untuk kemerdekaan Tanah Papua. Apalagi kata dia, Gubernur Papua Lukas Enembe sudah mengatakan bahwa yang bisa menerima dan membahas tuntutan Papua Merdeka adalah Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai,dalam sebuah wawancara dengan televisi swasta, mengatakan apabila TNI dan Polri selama ini tidak mampu menunjukkan bukti adanya penyanderaan, maka tindakan itu adalah pembohongan publik. "Yang benar adalah warga Utikini dan Kimbeli terisolasi karena danya blokade jalan baik yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan TNI bagian Tembagapura dan juga TPN-OPM.
Lebih jauh, ia mendesak Polri maupun TNI untuk mengumumkan peristiwa tertembaknya anggota Brimob, di kawasan PT Freeport Indonesia yang terlarang bagi rakyat sipil.
"Penembakan terhadap anggota Brimob diarahkan kepada TPN-OPM. Padahal orang yang bisa masuk ke mil 69 itu hanya mereka yang punya ID Card dan karyawan Freeport. Jadi bagaimana mungkin orang yang tidak jelas bisa masuk," kata dia.
Sebelumnya, Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (GEMA DEMOKRASI) yang terdiri dari 80 organisasi masyarakat sipil dan individu yang aktif bergerak di gerakan buruh, petani, pelajar, mahasiswa, intelektual, anak muda, kelompok keagamaan, jurnalis, aktivis kebebasan ekspresi, pengacara publik, aktivis literasi, dan komunitas seni, telah mengangkat isu adanya kekeliruan penyebaran informasi tentang penyanderaan di Tembagapura.
"Frasa penyanderaan yang digunakan oleh beberapa media terhadap peristiwa di atas adalah sangat berlebihan dan dapat menimbulkan konflik-konflik baru. Jika kita melihat arti kata dari penyanderaan, menurut KBBI bahwa penyanderaan adalah sebuah tindakan menawan orang untuk dijadikan jaminan. Sedangkan faktanya yang seperti diungkap oleh Kapolres Mimika dan Humas Polda Papua bahwa tidak ada penyanderaan dan masyarakat masih bisa beraktivitas," demikian siaran pers GEMA DEMOKRASI.
"Ketika para pejabat kepolisian di Papua sudah mengklarifikasi bahwa tidak ada penyanderaan di desa Banti dan Kimbely namun media tetap memberitakan bahwa ada penyanderaan, maka masyarakat harus mempertanyakan kredibilitas dan independensi media tersebut," lanjut siaran pers itu.
Disebutkan pula bahwa media harus belajar atas apa yang terjadi pada Timor Leste seperti apa yang pernah disampaikan oleh Ketua Dewan Pers, Stanley Adi Prasetyo, bahwa “menutup informasi itu mirip dengan menyapu debu ke dalam karpet. Saat itu kontrol pemerintah atas media sangat kuat, Tak ada media satu pun yang berani menurunkan berita terkait fakta sebenarnya yang terjadi di Provinsi ke-27 Indonesia saat itu. Kalau pun ada liputan, ya, ketika para pejabat datang ke ibukota Dili dan dapat sambutan yang meriah lengkap dengan tari-tarian. Semua orang kaget ketika mengetahui bahwa rakyat Timor Leste memilih merdeka saat ditawari otonomi khusus. Semua orang menilai rakyat Timor Timur sebelumnya selalu ingin bergabung dengan Indonesia”.
"Media dan jurnalisnya sekarang sebaiknya segera mempunyai kesadaran baru bahwa kebebasan pers yang baru seumur jagung ini harus dirawat bersama. .... pemberitaan media massa haruslah memberikan ruang bagi suara-suara yang lemah termasuk dalam mengangkat isu-isu terkait Papua."
Editor : Eben E. Siadari
Sumber: http://www.satuharapan.com
0 komentar:
Posting Komentar