Ilustrasi dialog Jakarta - Papua - Grafis Jubi/Saut Marpaung |
Oleh Neles Tebay
PEMERINTAH Kepulauan Solomon mendesak Pemerintah Indonesia membangun dialog konstruktif dengan Orang Asli Papua (OAP) guna menyelesaikan akar penyebab dari pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua. Desakan dialog Indonesia-Papua ini disampaikan diplomat Kepulauan Solomon, Barrett Salato, ketika membacakan pandangan negaranya pada sesi ke-36 pertemuan ke-18 Dewan HAM Perserikatan Bangsa-bangsa di PBB (19/09) di Jenewa.
Pernyataan diplomat Barrett Salato ini memberikan indikasi bahwa Pemerintah Kepulauan Solomon di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Manasseh Sogavare telah melihat pentingnya dialog yang konstruktif antara Indonesia dan OAP sebagai sarana untuk membahas dan mencari solusi atas pelanggaran HAM. Terbuka kemungkinan bahwa negara-negara lain juga ikut mendukung desakan dialog konstruktif antara Indonesia dengan OAP ini.
Pemerintah kepulauan Solomon mengangkat dua hal dalam pernyataannya pada sidang dewan HAM PBB, yakni (1)adanya pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan (2) adanya akar penyebab dari semua pelanggaran tersebut. Kedua hal inilah yang perlu diklarifikasi dan dicarikan solusinya secara bersama oleh Pemerinah Indonesia dan OAP melalui wadah dialog yang konstruktif.
ULMWP
Melihat pengalaman selama lebih dari 50 tahun berintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), OAP menjadi korban pelanggaran HAM dalam bentuk intimidasi, penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang, dan pembunuhan kilat, yang dilakukan oleh aparat kemanan. Semua pelanggaran ini dilakukan secara sadar dan bagian dari suatu rencana besar yakni dalam rangka memberantas separatisme Papua dan mempertahankan Papua dalam NKRI.
Separatisme kini sudah menjadi paradigma bagi banyak pihak di Jakarta. Makanya Papua selalu dilihat dengan menggunakan lensa separatisme. Akibatnya, antara lain, gagasan dialog Jakarta-Papua yang dimunculkan dari Papua juga dicurigai. Banyak orang Papua, entah apapun profesinya, masih dicurigai sebagai anggota atau minimal pendukung gerakan Papua Merdeka.
Hampir semua pelanggaran HAM terkait dengan Gerakan Papua Merdeka. Itu berarti, selama masalah separatisme Papua belum diselesaikan, pelanggaran HAM akan terus terjadi di Bumi Cenderawasih. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia didesak untuk berdialog dengan OAP, terutama dengan mereka yang selama ini dipandang dan diperlakukan sebagai separatis yang adalah musuh negara Indonesia, untuk mengakhiri pelanggaran HAM.
Kini lebih mudah bagi Pemerintah untuk berdialog dengan kelompok-kelompok perlawanan Papua yang dipandang sebagai separatis. Karena mereka, sejak Desember 2014, sudah bersatu dan berhasil membentuk wadah persekutuan yang disebut United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). ULMWP kini berperan sebagai wadah koordinasi bagi kelompok-kelompok orang Papua yang melakukan perlawanan terhadap Pemerintah. ULMWP mewakili semua kelompok pelawanan Papua dalam berbagai forum regional dan internasional.
ULMWP mendapatkan dukungan dari semua kelompok perlawanan Papua di semua kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat. ULMWP juga mendapatkan dukungan dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) yang adalah gerilyawan Papua yang melakukan resistansi terhadap Pemerintah Indonesia di hutan belantara Papua. Orang-orang Papua yang hidup di beberapa negara seperti Papua New Guinea, Australia, dan Belanda juga mendukung ULMWP. Dengan demikian ULMWP sudah menjadi wadah representasi kelompok-kelompok resistan Papua.
Maka, Pemerintah berdialog dengan orang Asli Papua yang diwakili oleh ULMWP. Pemerintah dan ULMWP bersama-sama dapat menganalisa pelanggaran-pelanggaran HAM, mengidentifikasi akar penyebabnya, serta menetapkan bersama solusi jangka pendek dan jangka panjang dalam bentuk suatu kebijakan yang dibahas dalam dialog dan disetujui oleh kedua belah pihak. Melalui jalan dialog inilah pelanggaran HAM dapat dihentikan dan dicegah di tanah Papua oleh kedua belah pihak yang bertikai selama ini.
Perlu Persiapan
ULMWP secara tegas menyatakan tidak berminat terhadap gagasan dialog Jakarta-Papua. Maka dia tidak mengubris ide tentang dialog sektoral. ULMWP menghendaki hanya negosiasi yang dimediasi secara internasional. Baik untuk negosiasi maupun dialog konstruktif untuk Papua seperti yang didesak Pemerintah Kepulauan Salomo, ULMWP perlu mempersiapkan dirinya. Sebagai wakil yang didukung dan dipercayai oleh banyak OAP, ULMWP sudah harus mulai berpikir tentang bagaimana mempersiapkan dirinya untuk menyambut dialog, sekalipun belum tahu entah kapan dialog Pemerintah – OAP akan terlaksana. Apabila sudah mempersiapkan diri dengan baik, ULMWP tidak perlu kuatir dengan waktu pelaksanaan dialog atau negosiasi. Kapan saja mereka bisa terlibat dalam dialog atau negosiasi dengan Indonesia, apabila mereka sudah siapkan diri.
Guna melakukan persiapan dialog ini, ULMWP tidak boleh menunggu hingga ada keputusan dari PBB tentang dialog antara Pemerintah – OAP. Kalau itu yang dibuat, maka ULMWP sebagai peserta dialog dari Papua akan memasuki ruang dialog tanpa terlebih dahulu membekali dirinya. Akibatnya, ULMWP akan mengalami kalah telak dalam dialog. ULMWP tidak akan mendapatkan apa-apa dari dialog ini. Dialog akan menghasilkan Win-lose solution.
Apabila ingin mendapatkan hasil Win- win Solution, maka ULMWP mesti mempersiapkan dirinya sebelum memasuki ruang dialog. Sebagai persiapan dialog, semua anggota ULMWP mesti bertemu secara teratur untuk membahas agenda-agenda dan solusi-solusi atas masalah-masalah di Papua yang akan dibawa ke forum dialog dengan Indonesia.
Ketika mereka mulai bertemu dan mempersiapkan dirinya untuk berdialog dengan Indonesia, ULMWP tidak boleh dihalangi, dicurigai, difitnah, dan dituduh macam-macam oleh kelompok-kelompok perlawanan Papua. Tim kerja ULMWP mesti bertemu untuk mendapatkan pelatihan tentang negosiasi dan dialog. Persiapan dialog sudah bisa dimulai sekarang. Maka kelompok-kelompok perlawanan Papua perlu memberikan dukungan kepada ULMWP agar dapat mempersiapkan dirinya secara lebih baik untuk berdialog dengan Indonesia. (*)
Penulis adalah pengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat Fajar Timur, di Abepura.
0 komentar:
Posting Komentar