![]()  | 
| Umat demo lima uskup se papua di Jayapura. (Sole - SP) | 
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Sejumlah umat katolik yang 
tergabung dalam Solidaritas Umat Katolik Pribumi Papua (SUPKP) menggelar
 aksi bisu di susteran Maranatha Waena, Jaypura. Aksi tersebut mendesak 5
 keuskupan di tanah Papua, yakni: uskup keuskupan Jayapura, Timika, 
Merauke, Agats, dan Sorong –Manokwari.
Aksi tersebut 
dilakukan bertepatan dengan pertemuan tahunan yang dilakukan 5 keuskupan
 di Papua. Pertemuan para uskup itu sendiri dilakukan sejak 6 Juni dan 
berakhir pada 9 Juni 2017 lalu di Maranatha Waena, Jayapura Papua. 
Pertemuan para uskup ini tidak seperti biasanya, bahwa kali ini 
pertemuan tahunan diakhiri dengan aksi bisu oleh umat katolik pribumi 
Papua.
Di lain sisi aksi bisu yang dilakukan ini merupakan sejarah
 baru bagi gereja katolik di tanah Papua. Aksi bisu ini dihadiri sekitar
 50an umat (orang) katolik pribumi Papua. Aksi kali ini dilakukan secara
 spontan. Aksi bisu dimaksud bisa dilakukan pada pukul 17.00 waktu 
Papua.
Dalam pantauan suarapapua.com di lapangan, sejumlah umat yang 
terlibat dalam aksi ini sudah mulai berkumpul di lampu merah perumnas 1 
Waena. Sekitar pukul 08.00 waktu Papua sudah mulai kumpul. Setelah 
memastikan kelima uskup tidak berada di tempat pertemuan, susteran 
Maranatha Waena.   Pada pukul 12.30 waktu Papua meninggalkan tempat 
titik kumpul.
Pada pukul 17.00 waktu Papua, mereka (umat) kembali 
datang ke susteran Maranatha untuk bertemu langsung dengan kelima uskup.
 Tidak memakan waktu lama, 15 menit kemudian umat palang uskup 
 Manokwari-Sorong, Mrg. Hilarius Datus Lega, Pr yang hendak keluar dari 
susteran.
Uskup yang sebelumnya mengagendakan bertemu dengan 
mahasiswa STFT “Fajar Timur” dari keuskupan Manokwari-Sorong itu, 
terpaksa menghabiskan waktu sekitar 5 menit, karena dipalang oleh 
umatnya.
Salah satu orang anak muda Papua, Riky Dogomo setelah 
menahan uskup Lega dengan rombongan mempertanyakan alasan uskup 
tinggalkan parapendemo.
“Kenapa bapa uskup mau tinggalkan disini? 
Padahal kami datang mau ketemu bapa uskup dong (kalian). Bapa uskup 
sudah lihat kami disini  baru kenapa keluar dari sini ka? Bukannkah kami
 ini benda yang tinggal? Sehingga diam-diam mau keluar?” tanyanya kepada
 uskup Lega.
Lanjut Riky, “Di Papua ini banyak terjadi banyak 
masalah.  Para uskup tidak bicara. Malah  uskup Jayapura malah pimpin 
demo  untuk pertahankan pancasila dan segala macam. Tidak berteriak soal
 pelanggaan HAM yang terjadi di Jayapura,” katanya.
Menanggapi 
itu, Uskup Lega mengatakan, persoalan uskup Jayapura bukan persoalan 
lima uskup. Persoalan harus dilihat secara benar. Setiap ukusp dan 
keuskupan punya masaloahnya sendiri.
“Persoalan di Jayapura tidak 
boleh dibawah-bawah di kami. Tidak usah membodohi saya. Sebelum kamu 
lahir, saya sudah di tanah Papua ini. Saya sudah kasih tahu kami punya 
perwakilan di dalam, uskup Aloysius. Kamu juga bisa pergi ke uskup Leo 
to? Mohon buka pintu. Saya tidak punya janji dengan kamu”, ucapnya 
dihadapan masa aksi lalu pergi.
Umat  diterima langsung oleh uskup
 Agats-Asmat, Mgr. Aloysius Murwito, OFM. Di hadapan masa, Christianus 
Dogopia selaku koordinator menjelaskan maksud kedatangan mereka kepada 
uskup. Bahwa pihaknya meminta agar kelima uskup memperjuangkan 
nilai-nilai luhur, yakni; keadilan, kebenaran dan perdamaian di tanah 
Papua.
Ia menegaskan gereja katolik harus lebih mengutamakan serta
 mewartakan misi keselamatan bagi umat yang tertindas, terhina, 
teraniaya dan dibunuh karena memperjuangkan keadilan, kebenaran dan 
perdamaian di Papua.
“Suka duka, kecemasan, harapan dan 
kegembiraan umat Tuhan di tanah Papua haruslah menjadi suka duka, 
kecemasan, harapan dan kegembiraan para uskup di Tanah Papua. Gereja 
katolik hadir di tanah Papua karena misi keselamatan dari Allah kepada 
segala bangsa termasuk bangsa Papua, rumpun Melanesia”.
Menurut 
Dogopia, Gereja Katolik hadir di Papua karena adanya orang Papua. 
Melalui dan oleh Gereja, Misi Keselamatan Allah diwartakan diatas tanah 
Papua demi dan untuk   keselamatan bagi yang tertindas, terhina, 
teraniaya, dan yang dibunuh karena memperjuangkan keadilan, kebenaran 
dan perdamaian di tanah ini”, kata Cristianus Dogopia kepada media di 
susteran Maranatha Waena, Jayapura.
“Gereja hanya diam ketika 
menyaksikan pembantaian umat Allah di atas Tanah Papua. Gereja membisu 
ketika melihat nilai-nilai Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian di atas 
tanah Papua diinjak-injak.
Dimanakah suara kenabian gereja? Dimanakah 
para Gembala (uskup) ketika terjadi pembantaian? Para Gembala Umat 
Katolik di tanah Papua haruslah menyuarakan suara kenabiaannya. Gembala 
janganlah meninggalkan domba-dombanya ketika mereka disergap oleh para 
serigala”  tambahnya.
Menurut Dogopia, selama ini Umat Tuhan di 
tanah Papua tersingkir, termarginalisasi dan dibunuh, tetapi belum ada 
suara Kenabian dari para Gembala Umat Katolik. Maka Kami sebagai Umat 
Katolik Pribumi yang prihatin terhadap Nasib Gereja dan Umat Pribumi 
Papua. Ia bersama rekan-rekannya meminta agar pihaknya memperhatikan 
persoalan dasar yang menjadi tuntutan bagi umat di tanah Papua.
Kepada
 uskup Aloysius, Dogopia menegaskan bahwa penyerahan penyataan bukan 
mewakili kelima uskup. Tapi itu khusus untuk keuskupan Agats-Asmat. 
Selain itu, umat pribumi katolik yang tergabung dalam Solidaritas Umat 
Pribumi Katolik Papua (SUPKP) mendesak dan meminta kepada kelima uskup 
dengan 5 tuntutan, antara lain;
Pertama para Uskup di 
tanah Papua Wajib menyuarakan suara Kenabian; demi penegakan nilai-nilai
 Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian. Karena selama ini kami belum 
mendengar suara kenabian dari gembala kami.
Kedua,para 
Uskup di tanah Papua wajib memperjuangkan Penghapusan STIGMATISASI 
terhadap Orang Asli Papua. Karena dengan adanya stigma; Separatis, 
Makar, Pengacau, Kriminalis dan berbagai stigma lainnya menjustifikasi 
penangkapan, penembakkan dan bahkan pembunuhan terhadap Orang Asli 
Papua.
Ketiga, Gereja Katolik di tanah Papua sudah 
memasuki 150 tahun umurnya. Banyak putra-putra Papua telah menjadi Imam 
di tanah Papua. Maka kami meminta kepda para uskup di Papua untuk 
usulkan ke Roma agar seorang Pastor Papua diangkat menjadi Uskup.Karena 
kami yakin, putra Papua juga turut merasakan suka duka, harapan, 
kecemasan dan kegembiraan  umat Tuhan di tanah Papua akan 
mengumandangkan suara kenabiaannya demi keselamatan Umatnya di tanah 
Papua.
Keempat, Selama ini Gereja-Gereja Pasifik 
(Konferensi Para Uskup Pasifik) telah berbicara dan mengangkat segala 
persoalan Kemanusiaan di tanah Papua. Tetapi uskup-uskup di tanah Papua 
dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) tidak pernah menyuarakan 
tentang segala persoalan kemanusiaan (Pelanggaran HAM) di atas tanah 
Papua. Oleh karena itu sudah layak dan sepantasnya, Gereja Katolik (Para
 Uskup) di tanah Papua membangun kerja sama dengan Gereja Katolik di 
wilayah Pasifik untuk menyuarakan persoalan kemanusiaan di tanah Papua. 
Karena wilayah pasifik dan Melanesia memiliki kesamaan dengan Papua. 
Karena itu harus ada kerja sama dalam bidang pastoral, antara Gereja 
Katolik di tanah Papua dan Gereja Katolik di Pasifik.
Dari tempat 
yang sama, dihadapan masa aksi bisu Uskup Mgr. Aloysius Murwito, OFM. 
Mengatakan ia senang dengan adanya aksi dari umat terhadap lihma uskup 
di Papua.
“saya senang, dengan terbuka, senang hati menerima 
ungkapan-ungkapan  kalian. Saya juga senang harapan-harapan kalian. Tapi
 untuk saya ini sebagai masukan sebagai umat di tanah Papua ini. Mungkin
 juga mengungkapkan kerinduan audara/i yang tidak hadir bersama kalian 
di tanah Papua ini. Maka ini menjadi bagian yang harus kami pikirkan, 
renungkan dan dengarkan. Tapi lebih memperhatikan umat terutama 
saudara/i kita yang ada disini”, tutur Uskup Alo di Waena
Pewarta: Sole
Editor: Arnold Belau




0 komentar:
Posting Komentar