TULISAN Abraham Sitompul dengan judul, Misi Integral: Pandangan Holistik Kekristenan Terhadap Upaya Pengentasan Kemiskinan,
sungguh menarik. Artikel itu berusaha menyoroti kiprah kekristenan
terhadap persoalan sosial, khususnya kemiskinan. Sesuatu, yang
menurutnya, “bukanlah trending topic di antara umat Kristen di
Indonesia”. Selain mengevaluasi, Abraham juga menyajikan solusi
bagaimana seharusnya sikap gereja dalam menyikapi isu ini.
Dari artikel itu, posisi Abraham jelas. Dia ingin agar gereja tetap
seimbang. Baginya, gereja tidak boleh terjebak hanya pada pelayanan
sosial semata. Sebaliknya, dia juga menolak kalau gereja hanya fokus
pada usaha pemberitaan Injil saja. Untuk mengatasi dua tarikan kutub
ini, Abraham mengajak agar gereja mengerjakan keduanya secara integral.
Artinya, yang satu tidak lebih penting dari yang lain. Dalam teologi
Kristen, usulan ini biasa disebut sebagai misi holistik.
Ada dua alasan kenapa Abraham memilih posisi ini. Pertama, kritik
John Stott pada gereja digunakan sebagai pijakan. Stott melihat kalau
gereja “hanya fokus pada perubahan sosial dan menyisakan sedikit atau
bahkan tidak ada ruang bagi penginjilan.” Situasi ini dianggap salah
karena melalaikan prioritas utama gereja. Kelaparan rohani, yang
berujung pada kebinasaan karena tidak mengenal Kristus, seharusnya juga
mendapat perhatian. Singkatnya, bukan hanya Mandat Budaya (Kejadian
1:28) yang perlu, tapi Amanat Agung (Matius 28: 19-20) pun penting.
Kedua, Abraham mengasumsikan bahwa akar dari ketidakadilan sosial
adalah rusaknya relasi manusia dengan Allah. Situasi ini disebabkan
karena dosa. Dalam perspektif Kristen Evangelikal, satu-satunya solusi
dari keadaan ini adalah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat.
Jadi dapat dimengerti jika kutipan dari Christianity Today singgah dalam artikel itu. Revelation is a stronger force than revolution.
Injil Pembebasan
Betulkah fokus untuk perubahan sosial adalah sebuah bentuk
ketimpangan dalam misi kekristenan? Apakah pemberitaan Injil secara
verbal dan pengentasan kemiskinan merupakan dua entitas yang berlainan?
Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan apakah misi integral yang
dimaksud Abraham bisa diterima atau tidak. Untuk itu, kita perlu
bertanya, apa sebenarnya berita Injil itu?
Matius 28:19-20 kerap digunakan sebagai landasan biblikal untuk
menyiarkan Injil. N. T. Wright, teolog Perjanjian Baru, memberi komentar
menarik tentang ayat ini. Dia mengatakan bahwa terlalu sering ayat ini
dipelintir menjadi pesan “bagaimana cara ke surga” (Lent for Every One: Matthew,
2011). Padahal menurut Yesus, Kerajaan Allah ada sekarang dan di sini
(Lukas 17:21). Dalam benak-Nya, surga yang menghampiri bumi, bukan
sebaliknya (Matius 6:10). Tuhan, penguasa firdaus dan bumi, yang
menghampiri dunia untuk mendirikan kerajaan-Nya dan menyatakan
kedaulatan-Nya.
Dalam alam pemikiran Yahudi, tidak ada dikotomi antara kayangan dan bumi. Surga, sebagai tempat Tuhan bertakhta, dipahami overlap
dalam ruang dan waktu dengan bumi. Yesaya mengatakan bahwa langit
(surga) adalah tahta Tuhan dan bumi tumpuan kaki-Nya (Yesaya 66:1).
Bahkan, Bait Allah disebut sebagai tempat kediaman-Nya (Keluaran 25:8).
Bait suci, kata N. T. Wright, menjadi irisan antara surga dan bumi (Simply Jesus, 2011).
Inilah worldview yang membentuk pemikiran dan karya Yesus
selama menjadi manusia. Pandangan-Nya tentang kehidupan mengkristal
dalam realitas material. Sehingga, tidak ada pembedaan antara yang
rohani dan spiritual. Badan dan jiwa menyatu dalam satu kesatuan. Yang
teologis akan selalu politis, begitu pun sebaliknya. Kelaparan jasmani
adalah urusan Kerajaan Surga (Matius 6:11). Dengan kata lain, tidak ada
dualisme dalam alam pikiran Yahudi. Semua realitas terekspresi dalam
satu kenyataan riil.
Inti dari berita Injil Kerajaan Surga yang digaungkan Yesus adalah
perubahan tatanan di bumi. “Kerajaan surga sudah dekat” (Markus 1:15)
merupakan seruan subversif melawan imperium Romawi. Yesus perlu melawan
kerajaan itu karena dianggap tidak cocok dengan visi covenant
Allah pada Israel (Kejadian 12). Penjajahan adalah pengkhianatan pada
Allah sendiri. Kenapa? Karena Allah adalah kebenaran (Mazmur 25:10).
Identitas itu hanya terekspresi lewat keadilan sebagai ciri penting dari
syalom Allah (Yesaya 32:17-18).
Akhirnya, pemberitaan Injil dan transformasi sosial, sesungguhnya,
adalah satu entitas tunggal. Sehingga, seruan integralisasi adalah
absurd. Sebuah gagasan yang tercerabut dari akar historis pemikiran
Yesus dan konteks-Nya. Pandangan itu sesungguhnya bermuasal dari alam
pikir Gnosticism. Sebuah paham yang memisahkan antara yang material dan
spiritual. Dunia bendawi dianggap jahat. Sementara, alam rohani dinilai
mulia. Sehingga, dunia immaterial jauh lebih prioritas dibanding
material karenanya yang rohani dianggap lebih bernilai kekal. Itu jelas
bukan pandangan kekristenan.
Malahan, Yesus tidak pernah terlibat dalam program proselitisasi
sebagai syarat utama menuju “kekekalan”. Dia tidak pernah berniat
memindahkan agama orang lain. Itu terbukti karena Beliau pun sama sekali
tidak pernah membaptis orang (Yohanes 4:2).
Bahkan, murid pernah mengadu karena ada orang yang mencatut nama-Nya
(Yohanes 4:49-50). Yohanes berkata: “Guru, kami lihat seorang mengusir
setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut
kita.” Yesus malah merespon dengan unik. Dia berkata, “Jangan kamu
cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu.”
Artinya, Yesus tidak pernah memusingkan identitas. Seolah, Yesus ingin
mengatakan, “Apa pun isi pengakuan imanmu, selama tujuanmu untuk
mengganti tatanan ketidakadilan dan keberpihakan kepada mereka yang
tertindas, maka kita seiman.”
Wahyu selalu Revolusioner
Betulkah akar dari ketidakadilan sosial itu karena kerusakan relasi
antara Tuhan dan manusia? Apakah peristiwa “kelahiran baru” jadi solusi
tunggal pengentasan kejahatan sosial itu? Sederhananya, jika semua umat
manusia sudah jadi Kristen, apakah dapat dipastikan kapitalisme otomatis
tumbang? Apabila semua manusia mengakui Yesus sebagai Tuhan, maka
adakah jaminan model relasi produksi ekonomi bisa berganti?
Dalam sejarah, tentu saja belum ada fakta objektif yang bisa menjawab
pertanyaan itu. Bahkan, cerita yang ada malah sebaliknya. Walau
beberapa kritikus mempertanyakan kebenarannya, setidaknya penelitian Max
Webber tentang, “Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme”,
menyimpan sebuah kenyataan. Ternyata, pernah pada suatu waktu dan
tempat, mereka yang sangat Kristen justru adalah “bibit” dari sistem
ekonomi yang sangat kejam bernama kapitalisme. Dari mereka yang sudah
“lahir baru” malah lahir sistem raksasa pengisap manusia. Bahkan, dari
mereka yang sudah punya kepastian “sertifikat lahan” di surgalah, maka
eksploitasi lingkungan jadi tercipta.
Peristiwa eksodus bangsa Israel dari perbudakan Mesir adalah contoh
bagaimana Allah menyelesaikan ketidakadilan. Rakyat Israel ditindih oleh
sistem raksasa bentukan kerajaan Mesir. Mereka diperbudak dengan kerja
paksa (Keluaran 1:11); hidup dipahitkan (ay. 14); dan jumlah kelahiran
pun dibatasi (ay. 15-16).
Allah menampakkan diri pada Musa dalam nyala api yang keluar dari
semak duri (Keluaran 3:2). Kepada Musa, Dia mengatakan bahwa telinga-Nya
mendengar jeritan umat (Keluaran 3:7). Sehingga, Allah harus turun
untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir (ay. 8). Artinya, Tuhan,
melalui wahyu kepada Musa, berusaha mengintervensi sejarah dalam
kenyataan objektif-material. Dalam tindakan konkret, wahyu itu berusaha
merasuk ke dalam struktur. Dia membalikkan kenyataan dengan cara
menciptakan pembebasan.
Dalam kisah nabi-nabi, seperti yang dikutip oleh Abraham, sifat wahyu
terlihat penetratif terhadap kenyataan tatanan. Dia mengguncang
kesadaran. Kesadaran kritis para nabi, yang digerakkan wahyu, ternyata
menekan raja untuk segera mengganti kebijakan ekonomi-politik. Biasanya,
para nabi akan berteriak jika para pejabat pemerintahan tidak lagi
setia pada nilai Kerajaan Allah. Betul, dan saya setuju, panggilan itu
adalah seruan agar berbalik kepada Allah.
Namun dalam memahami tradisi suara kenabian, lagi-lagi Abraham mencabut worldview
masyarakat Yahudi kala itu. Perlu dipahami, walau bergonta-ganti dalam
sistem pemerintahan, corak utama pemerintahan Israel dalam Perjanjian
Lama adalah teokrasi. Perkara politik adalah teologis. Penyelewengan
kebijakan pemerintah adalah bukti perlawanan kepada Tuhan. Ketika
pejabat kerajaan dan raja sudah bersekongkol dalam kezaliman, pada momen
itulah seorang nabi berteriak menyampaikan peringatan Tuhan. Artinya,
wahyu selalu menyerukan pertobatan politik, bukan spiritual semata.
Dalam hal ini, sifat wahyu selalu revolusioner. Sebaliknya, revolusi
Israel selalu berbasis pada pewahyuan juga. Seluruh konten Alkitab akan
menggambarkan pola ini. Tidak ada pewahyuan yang pasif. Dia akan selalu
agresif menyerang segala kemapanan. Ilham dari Allah selalu jadi
antitesis dari status quo. Dengan demikian, pernyataan “Revelation is a stronger force than revolution”
pun sama absurd. Lagi-lagi, itu berangkat dari dualisme yang tidak
pernah Alkitab ajarkan. Statemen itu tercerabut dari akar konteks
historis kitab suci.
Titik tolak gagasan Abraham sebenarnya berangkat dari dikotomisme.
Corak teologi Evangelikal, yang kental dengan dualisme platonik, justru
kambing hitam yang membuat misi Kristen jadi terkotak-kotak. Padahal,
membagi realitas dalam dualitas, seperti itu, tidak pernah singgah dalam
alam pikiran Alkitab. Itu baru muncul kemudian ketika teologi Kristen
bertemu dengan pemikiran Helenistik Yunani. Sehingga menjadi wajar jika
Abraham mengajukan gagasan integralisasi. Sesuatu, yang sesungguhnya,
tak perlu karena sejak kelahirannya misi Kristen sudah holistik dari
semula.
Sebagai penutup, mari sedikit berimajinasi. Seandainya pun surga itu
memang ada “di sana”, menurut Yesus, bagaimana cara menggapainya? Matius
25:31-46 memberi kesaksian menarik. Surga terbuka bagi mereka yang
memberi makan yang lapar; memberi minum mereka yang haus; memberi
tumpangan kepada orang asing; memberi pakaian kepada yang telanjang;
melawat orang sakit; dan mengunjungi orang terpenjara. Ternyata,
diantara kelompok masyarakat marjinal ini tersembunyi wajah Kristus.
Dengan menolong mereka, kita ternyata sedang melayani Yesus. Solidaritas
terhadap mereka, ternyata, adalah ketukan yang membuka pintu surga
lebar-lebar.
Jika pun surga “di sana” itu memang ada, ternyata Kristus tidak
pernah bertanya tentang agama dan konten kredo iman Anda. Pertanyaan
utama-Nya justru, “Apakah Anda, selama hidup, sudah membela hak orang
miskin dan mereka yang tertindas?”***
Penulis adalah penggiat diskusi Selasaan dan Rabuan Gereja Komunitas Anugerah, Salemba
0 komentar:
Posting Komentar