WELLINGTON, SATUHARAPAN.COM - Sedikitnya 
sembilan anggota parlemen Selandia Baru (New Zealand) menandatangani 
deklarasi untuk mmenyerukan dan emberi dukungan bagi penentuan nasib 
sendiri rakyat Papua.
Penandatanganan itu dilaksanakan di Wellington, Rabu (10/05), 
disponsori oleh anggota parlemen dari Partai Hijau Selandia Baru, 
Catherine Delahunty. Penandatanganan tersebut disaksikan oleh Benny 
Wenda, juru bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), 
organisasi yang menjadi wadah berbagai elemen rakyat yang pro-referendum
 Papua.
"Tadi malam diam-diam sejarah terjadi di Parlemen Selandia Baru, 
seiring dengan sembilan anggota parlemen menandatangai Deklarasi 
Westminster bagi referendum Papua yang diawasi oleh PBB," tulis 
Delahunty lewat akun Facebooknya, Rabu (10/05).
Ia juga menerangkan bahwa dirinya senang Benny Wenda dapat hadir dan turut meluncurkan acara itu.
"Saya sangat bangga dengan anggota parlemen kita dari Partai Hijau, 
Partai Buruh, dan satu dari (partai) Nasional yang menandatanganinya 
tadi malam, dan juga Marama Fox dari Partai MÄori dan Aupito S'ua 
William Sio, yang tidak dapat hadir tetapi telah menandatanganinya hari 
ini," lanjut Delahunty.
Delahunty tidak menyebut secara rinci siapa saja para anggota 
parlemen Selandia Baru yang menandatangani deklarasi. Namun di laman 
FB-nya ia menampilkan sejumlah foto acara penandatanganan itu.
Deklarasi Westminster pertama kali diluncurkan di London tahun lalu. 
Ketika itu sejumlah anggota parlemen dari negara-negara Pasifik dan 
Inggris turut menandatangani deklarasi yang menyerukan dilakukannya 
referendum rakyat Papua.
Benny Wenda yang sedang beranda di Selandia Baru beberapa hari 
terakhir,  mengatakan dukungan terhadap penentuan nasib sendiri Papua 
terus tumbuh dari berbagai kalangan. (Berbeda dengan data Delahunty, dia
 menyebut ada 11 anggota parlemen NZ yang menandatangani deklarasi).
Menurut dia, salah satu pemicu pertumbuhan itu adalah upaya Pacific 
Coalition for West Papua yang terdiri dari tujuh negara Pasifik, yang 
dipimpin oleh Perdana Menteri Solomon Islands, Manasseh Sogavare.
Menurut Benny Wenda, inisiatif Sogavare telah membawa isu Papua hingga ke level PBB.
Koalisi negara-negara Pasifik itu terdiri dari Vanuatu, Solomon Islands, Tonga, Tuvalu, Nauru, Palau dan Marshall Islands.
Tahun lalu, tujuh negara ini menyampaikan pernyataan di Sidang 
Majelis Umum PBB yang mendesak pemerintah RI membuka pintu bagi pelapor 
khusus PBB ke Papua terkait pelanggaran HAM yang terjadi di pulau paling
 timur RI itu.
Awal bulan ini, tujuh negara tersebut juga mengeluarkan pernyataan 
bersama di Brussels, dalam pertemuan tingkat menteri kelompok negara 
yang tergabung dalam African, Carribean and Pacific (ACP). Dalam 
pernyataan bersama itu mereka menyatakan keprihatinan atas pelanggaran 
HAM di Papua serta mendukung penentuan nasib sendiri.
"Jadi terjadi perubahan besar saat ini. Kami juga telah mendapat 
dukungan dari African Carribean and the Pacific (ACP). Telah terjadi 
pertumbuhan jumlah dan solidaritas di seluruh dunia," kata Benny Wenda, 
dikutip dari radionz.co.nz.
Benny Wenda mengatakan dukungan anggota parlemen Selandia Baru 
"adalah obat terbaik bagi rakyat PApua. Itu yang membuat semangat mereka
 tetap hidup...."
Ia juga menegaskan bahwa rakyat Papua bersatu dibawah ULMWP.
Di kalangan elit Papua belakangan ini juga terjadi perkembangan baru.
 Bila selama ini pengakuan terhadap ULMWP tidak begitu jelas dinyatakan 
secara resmi, kini mulai terungkap secara terbuka.
Gubernur Papua, Lukas Enembe, Rabu pekan lalu seusai bertemu dengan 
Dubes HAM Belanda, dikutip oleh berbagai media berkata bahwa untuk 
menyelesaikan masalah Papua harusnya dilakukan seperti penyelesaian 
konflik Aceh.
Dia menjelaskan kasus di Papua mirip dengan Aceh karena ada kelompok 
United Liberation Movement for West Papua New (ULMWP) maupun Komite 
Nasional Papua Barat (KNPB) maupun TPN/OPM yang memperjuangkan 
kemerdekaan Papua.
"Konflik yang terjadi di Papua sama seperti Aceh, karena ada kelompok
 United Liberation Movement for West Papua New (ULMWP) maupun Komite 
Nasional Papua Barat (KNPB) maupun TPN/OPM yang memperjuangkan 
kemerdekaan Papua sehingga sering terjadi konflik dengan TNI/Polri," 
ujar Enembe.
"Jika ingin menyelesaikan persoalan di Papua, maka perlu dilakukan 
seperti di Aceh. Di mana, hadirkan semua kelompok-kelompok yang 
berseberangan dengan pemerintah Indonesia seperti ULMWP maupun KNPB," 
kata Lukas Enembe.
Komentar Enembe ini merupakan sebuah tahap baru, karena tahun lalu 
ketika media meminta komentar Enembe tentang ULMWP, dia berkilah bahwa 
dirinya tidak memikirkannya. Enembe yang saat itu berada di Istana 
Presiden di Jakarta, mengatakan tugasnya adalah meningkatkan 
kesejahteraan rakyat Papua sehingga tidak mau membuang waktu memikirkan 
soal-soal seperti ULMWP.
Dukungan terhadap dialog Jakarta dengan ULMWP juga dikatakan oleh 
kalangan parlemen Papua. Anggota Komisi I DPR Papua, komisi yang 
membidangi pemerintahan, politik, hukum, HAM dan hubungan luar negeri, 
Kusmanto, mengatakan pemerintah perlu berdialog dengan ULMWP, wadah yang
 selama ini gencar menyuarakan berbagai masalah Papua di kancah 
internasional.
Ketika membacakan laporan komisinya dalam sidang paripurna ke IV DPR 
Papua terhadap LKPJ Gubernur Papua tahun 2016, Selasa (09/05), Kusmanto 
mengatakan pemerintah harus duduk berunding dengan ULWMP.
"Persoalan HAM di Papua, bukan rahasia lagi. Sudah menjadi pembahasan
 di dunia internasional bahkan sampai ke PBB. Pemerintah pusat, 
pemerintah Provinsi Papua, harus duduk bersama mencari solusi," kata 
Kusmanto, sebagaimana dikutip dari Tabloid Jubi.
Komisi I, menurut dia, mendukung komitmen atau pernyataan gubernur, meminta pemerintah berdialog dengan ULMWP.
Editor : Eben E. Siadari
Berikut Foto Bersama:





















0 komentar:
Posting Komentar