Buka ruang diskusi ilmiah untuk kaji status hukum dan politik West Papua - Suara Wiyaimana Papua
Headlines News :

.

.
Home » , , » Buka ruang diskusi ilmiah untuk kaji status hukum dan politik West Papua

Buka ruang diskusi ilmiah untuk kaji status hukum dan politik West Papua

Written By Aweida Papua on Selasa, 08 November 2016 | Selasa, November 08, 2016

Ilustrasi demo menuntut pelurusan sejarah Papua - Dok. Jubi
Jayapura, Jubi - Ruang-ruang diskusi ilmiah harus mulai dibuka untuk mendiskusikan sejarah status politik Papua Barat atau West Papua dan klaim kedaulatan Indonesia atas wilayah ini. Setidaknya itulah yang menjadi pesan utama dari Diskusi Panel bedah Jurnal West Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Hukum Internasional yang diselenggarakan di Aula Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), Sabtu (5/11/2016).

Sebuah jurnal 40 halaman berbahasa Indonesia diterbitkan oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) untuk publik di Papua. Jurnal ini ditulis oleh Melinda Janki, seorang pengacara internasional berbasis di London dan Guyana, serta salah seorang figur penting dibalik pembentukan International Lawyers for West Papua (ILWP) di London, Inggris.

Jurnal ini didiskusikan dihadapan setidaknya 300-an orang yang memadati Aula USTJ, Sabtu siang itu.

“Saya berterima kasih kepada teman-teman KNPB karena membawa masalah dikaji secara ilmiah. Saya, wakil rektor bertanggung jawab untuk menginjinkan rekan-rekan melakukan diskusi yang luar biasa terkait West Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Hukum Internasional,” ujar Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan USTJ, Bapak Isak Rumbarar ketika membuka acara tersebut.

Diskusi yang dipandu oleh Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey itu menghadirkan tiga pembicara dari lima yang direncanakan hadir. Harry Ronsumbre mewakili Parlemen Nasional West Papua (PNWP), Yason Ngelia mewakili pemuda dan mahasiswa, dan Victor F Yeimo, ketua Komite Nasional Papua Barat (PNWP). Sementara Dr. Basir Rohrohmana, Dosen Hukum Universitas Cenderawasih (Uncen) dan Pdt. Socrates Sofyan Yoman berhalangan hadir.

Hak substantif penentuan nasib sendiri dan pelanggaran Pepera 1969

Bagi Frits Ramandey diskusi siang itu sangat penting untuk menjawab pertanyaan banyak orang terkait penyelesaian West Papua. Dan jurnal tersebut, menurut dia, telah memberi dua hal penting, yaitu cara mekanisme dan proses penentuan nasib sendiri West Papua sebelumnya dilakukan, dan dimana letak kecacatan hukum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.

“Forum ini untuk menjawab pertanyaan banyak orang, bagaimana menyelesaikan suatu identitas dalam mekanisme internasional,” ujarnya membuka forum diskusi itu.

Hal tersebut dibenarkan Victor Yeimo yang mengambil peran penting dalam penerbitan jurnal tersebut. “Klaim Indonesia atas kedaulatannya di West Papua dan klaim West Papua terhadap hak penentuan nasibnya sendiri diatur oleh hukum internasional, bukan hukum domestik,” tegasnya.

Melinda Janki, di dalam resume jurnal yang disebarkan panitia, menawarkan dua landasan penting terkait hak hukum internasional West Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. Landasan pertama adalah hak substantif dan kedua adalah pelanggaran prosedural, yaitu pelanggaran Pepera 1969.

Hak substantif yang dimaksud adalah, West Papua (sebelumnya Netherland Guinea) sebagai teritori tak berpemerintahan sendiri (koloni) sehingga berhak untuk menentukan nasibnya sendiri. “Oleh sebab itu Deklarasi PBB 1514 Desember 1960 tentang jaminan kemerdekaan bagi negeri-negeri dan rakyat koloni menjadi landasan pelaksanaan penentuan nasib sendiri,” ujar Janki di dalam resume tersebut.

Harry Ronsumbre dalam pemaparannya mengatakan, “Indonesia itu mengakui hak penentuan nasib sendiri West Papua. Itu jelas juga dinyatakan dalam Dokumen Dinas Penerangan UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority). Pendirian New Guinea Raad juga membuktikan bahwa West Papua ada di bawah pemerintahan perwalian sejak 1949,” ujarnya.

Indonesia sendiri mengakui hak substantif tersebut, ketika menandatangani perjanjian New York 15 Agustus 1962. Transfer administrasi dari Belanda ke Indonesia berdasarkan perjanjian itu, bertujuan untuk melakukan persiapan bagi penentuan nasib sendiri (yang selanjutnya disebut Pepera) pada 1969.

Masalahnya kemudian ada di pelaksanaan Pepera 1969 yang tidak sesuai hukum internasional, atau cacat secara prosedural.

“Tidak ada pelaksanaan Pepera seperti perintah UNTEA. Kami memiliki catatan dan saksi-saksi hidup terkait berbagai pelanggaran tersebut. Contohnya, peserta Pepera dikarantina, bukannya melakukan Pepera tetapi musyawarah yang salah satu isinya tentang pensuksesan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) Soeharto. Mereka bicara pembangunan, ada yang setuju saja karena statusnya kan pemerintahan wali, atau mengurus administrasi saja,” ungkap Harry.

Janki sendiri di dalam jurnal tersebut menyebutkan contoh-contoh pelanggaran Pepera hingga menjelaskan kenapa Pepera 1961 tersebut tidak sah secara hukum.

“Selain melanggar prinsip one man one vote (satu orang satu suara) yang hanya diikuti 0,2% populasi Papua, situasi pelaksanaan Pepera juga dibayangi pendudukan setidaknya 15.000 militer Indonesia sejak 1963, tidak ada pilihan bebas dan tidak ada kebebasan berpendapat,” urai Janki.

Atas dasar itulah, menurut Victor Yeimo, KNPB didirikan dan berjuang selama ini, yaitu untuk menuntut pelaksanaan referendum ulang yang damai, demokratis dan final bagi masa depan West Papua.

“Kita pernah menjadi teritori tak berpemerintahan sendiri yang harus mendapatkan hak penentuan nasib sendiri, klaim Indonesia atas West Papua sudah terbantahkan dengan sendirinya oleh pengakuan Indonesia sendiri bahwa West Papua berhak untuk menentukan nasib sendiri dalam periode 1962-1969,” tegas Victor.

Ketidakabsahan Pepera, lanjut Victor, dipertegas dengan hasil Pepera yang sebetulnya tidak pernah dinyatakan PBB sebagai pengakuan kedaulatan Indonesia atas West Papua, melainkan hanya pencatatan telah berlangsungnya proses (Resolusi 2504). Hal itulah yang membuat gugatan status politik Papua terus berlangsung sampai sekarang.

“Kita masih wilayah yang belum berpemerintahan sendiri di bawah hukum internasional. Kita bukan separatis. Dan kita berhak berjuang dengan damai, jujur bermartabat, dan terbuka, karena kebenaran kita jelas dasar hukumnya,” tegasnya.

Victor kemudian mengajak Universitas dan dunia akademik, termasuk sejarawan untuk melakukan kajian hukum dan politik ini secara terbuka dan ilmiah, seperti yang dilakukan oleh Studi Papua di Universitas Warwick Inggris.

Penyebaran pengetahuan dan advokasi penentuan nasib sendiri

Yason Ngelia, mewakili generasi muda Papua di dalam forum itu mengingatkan pentingnya anak muda dan mahasiswa mempelajari sejarah dan budaya politik West Papua. “Pertebal pengetahuan, sejarah dan budaya politik kita. Jadilah bagian dari proses sejarah, untuk memperbesar kekuatan di dalam gerakan kemerdekaan,’ ujarnya.

Dia memandang sangat penting ruang-ruang diskusi ilmiah seperti ini dilakukan di banyak tempat oleh orang yang lebih beragam. “Kita juga perlu mengajak teman-teman yang pro Indonesia, mereka belum tentu mengetahui sejarah ini, kita harus mendengarkan mereka juga,” ujar Yason.

Sedikit berbeda dari dua pembicara lainnya, secara khusus Yason menyatakan keraguannya terhadap komitmen PBB sebagai institusi yang menurutnya tidak berkutik terhadap negara-negara kolonial besar seperti AS. 

“Palestina saja sudah mendapat dukungan lebih dari seratus negara, tetapi PBB tidak bisa bertindak bila negara besar (di DK PBB) bilang tidak,” tegasnya.

Dia menganjurkan advokasi harus lebih menekankan pada penguatan kapasitas di dalam negeri melalui pengetahuan dan perjuangan yang kreatif. “Jangan janjikan kemerdekaan, karena itu tergantung proses perjuangan dan kekuatan kita sendiri,” ujarnya.

Di penghujung diskusi, Frits Ramandey menekankan pentingnya penyebaran pengetahuan instrumen hukum internasional terkait status politik Papua. Hal itu diperlukan untuk menghimpun argumentasi secara ilmiah, baik pro maupun kontra, agar rakyat semakin cerdas.

Ketika ditanyakan menyangkut tingkat advokasi internasional terkait hak penentuan nasib sendiri West Papua, Victor Yeimo mengatakan bahwa proses pembangunan Pacific Coalition for West Papua (PCWP) beserta seluruh prosesnya di Pasific adalah langkah maju untuk menambah dukungan suara negara guna menekan PBB.

“Tahun ini sudah 7 negara di Pasific, tahun berikutnya harus lebih banyak negara. Selanjutnya kita harus aktifkan kembali status dekolonisasi di Komite Dekolonisasi, bukan mendaftarkan tetapi mengaktifkan kembali. Kita juga harus mengajarkan Indonesia bahwa penentuan nasib sendiri (referendum) adalah mekanisme yang wajar saja, negara-negara lain melakukanya. Justru itu adalah indikator demokrasi,” kata dia.

USTJ memberi contoh

Oleh Komnas HAM Papua USTJ dipuji karena bersedia memafasilitasi diskusi ilmiah terkait topik yang kerap dianggap negara sebagai ancaman ini. “Acara ini adalah wujud perlawanan kita terhadap Maklumat Kapolda,” kata Frits Ramandey.

Isak Rumbarar dalam pesan pembukaannya tampak tidak khawatir. Dia mengaku telah mendapat berbagai masukan termasuk gugatan perijinan acara diskusi buku tersebut.

“Ketika (permintaan menggelar acara) masuk kepada kami di USTJ, banyak yang mengatakan kenapa diijinkan dan segala macam. Saya mau katakan, terus kalau tidak diijinkan mau dimana lagi? Apa harus dibawah-bawah pohon? atau di jalan-jalan? Sehingga saya sampaikan pada seluruh civitas, saya, wakil rektor bertanggung jawab untuk menginjinkan rekan-rekan melakukan diskusi ilmiah diskusi yang luar biasa terkait dengan West Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Hukum Internasional ini dikaji didiskusikan secara akademik di dalam kampus,” ujarnya yang disambut tepukan meriah para peserta diskusi.

Nelius Wenda, Preiden BEM USTJ yang menjadi bagian panitia, bersyukur acara berlangsung sukses di kampus tercintanya. “Kami berterima kasih kepada KNPB yang mempercayakan USTJ sebagai tempat melakukan bedah buku. Kami BEM USTJ memfasilitasi tempat ini karena bedah buku ini perwujudan Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian pada masyarakat,” ujar Nelius kepada Jubi Minggu (6/11/2016).

Sebagai mahasiswa, lanjutnya, persoalan yang terjadi di masyarakat harus dikaji secara ilmiah, dan otonomi kampus harus dihargai dan dihormati oleh siapapun dan institusi manapun. 

“Kami berharap kampus tetap menjaga integritasnya dengan tidak mematikan sikap kritis mahasiswa oleh tekanan atau kerjasama pihak luar manapun,” ujar Nelius.

Mayoritas wajah muda memenuhi ruangan aula itu, juga mantan tahanan politik, jajarang KNPB, beberapa mantan anggota Panel Presidium Papua, termasuk pers.

Peserta tak satupun beranjak dari diskusi yang berlangsung sekitar 3 jam tersebut dengan materi yang cukup berat untuk ukuran diskusi publik. Hal itu semacam memberi pesan tingkat antusiasme masyarakat asli Papua terhadap aspirasi penentuan nasib sendiri West Papua.

Sebuah fragmen kekerasan terhadap keluarga Papua pro merdeka yang diperankan sekitar 10 anak muda, tampak membuat terharu penonton. Seorang lelaki di bagian tengah peserta, tampak berkali-kali menghapus air mata dengan kerah bajunya.

Dari forum tersebut, seharusnya negeri ini mulai sadar, tidak mungkin terus menerus mengabaikan tuntutan banyak warga Papua terhadap sejarah integrasi wilayah ini ke Indonesia.

Semakin Indonesia mengabaikannya, malah semakin terbukti klaim politik Indonesia atas Papua hanya berwujud kekuatan militer yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan iklim demokrasi.(*)

Share this article :

0 komentar:

.

.

Pray For West Papua

Pray For West Papua

MELANESIANS IN WEST PAPUA

MELANESIANS IN WEST PAPUA

BIARKAN SENDIRI BERKIBAR

BIARKAN SENDIRI BERKIBAR

GOOGLE FOLLOWER

Traslate By Your Language

WEST PAPUA FREEDOM FIGHTER

WEST PAPUA

WEST PAPUA

VISITORS

Flag Counter
 
Support : WEST PAPUA | WEDAUMA | SUARA WIYAIMANA
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2014. Suara Wiyaimana Papua - All Rights Reserved
Template Design by WIYAIPAI Published by SUARA WIYAIMANA