Pernyataan Sikap Komite Perjuangan Perempuan (KPP) Yogyakarta Atas Tindakan Represi Polisi dan Kelompok Reaksioner terhadap Rakyat Papua dan PRPPB di Yogyakarta, 15 Juli 2016
Dalam rangka 47 tahun pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang jatuh pada tanggal 14 Juli, sekaligus bertepatan dengan pembahasan status The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menjadi anggota tetap di Melanesian Spearhead Group (MSG) pada tanggal 13-15 Juli 2016. PRPPB berencana melaksanakan agenda untuk memperjuangkan tuntutan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi bangsa Papua Barat, yakni berupa: Panggung Budaya (13 & 14 Juli 2016), Mimbar Bebas (14 Juli 2016), Aksi Massa (15 Juli 2016), serta Ibadah dan Bakar Batu (16 Juli 2016). Namun, rangkaian agenda tersebut kemudian mendapatkan represi besar-besaran dari aparat negara yang menggandeng kelompok-kelompok reaksioner.
Kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh Indonesia terhadap rakyat Papua melalui aparat negara tak berujung hingga saat ini. 15 Juli 2016 tindak penyerangan terhadap ruang demokrasi yang diiringi dengan tindakan rasisme serta kriminalisasi terhadap rakyat Papua di Yogyakarta dan Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) merupakan bukti bahwa negara masih terus-menerus melakukan kekerasan terhadap rakyatnya. Namun, kali ini aparat negara di Yogyakarta menggandeng kelompok reaksioner seperti FKPPI, Laskar Jogja, Pemuda Pancasila, dan Paksi Katon untuk menyerang rakyat Papua dan PRPPB di asrama Kamasan I Yogyakarta.
Di Yogyakarta, bukan hanya kali ini negara melakukan penyerangan ruang demokrasi dan tindak kekerasan terhadap rakyat Papua dan agenda-agenda yang berkaitan dengan isu Papua. Beberapa kali asrama mahasiswa Papua mengalami pengepungan, antara lain pada Panggung Budaya bulan April 2016, 14 Juni 2016, lalu 1 Juli 2016. Selain mengepung asrama mahasiswa Papua, aparat kepolisian juga berulang kali melakukan represi, antara lain pada aksi mimbar bebas Aliansi Mahasiswa Papua tanggal 2 dan 30 Mei, dan aksi tanggal 16 Juni 2016. Ini belum termasuk berbagai hambatan administratif yang dibuat sesuka hati polisi, seperti menyatakan aturan bahwa pemberitahuan aksi harus dilakukan 7 hari sebelum aksi.
Penganiayaan, penangkapan paksa, dan kriminalisasi terhadap massa aksi yang dilakukan oleh polisi dan kelompok reaksioner jelas merupakan bentuk kekerasan sistematis yang dilakukan oleh Negara terhadap rakyat Papua dan PRPPB pada tanggal 15 Juli 2016 di Yogyakarta. Polisi membiarkan kelompok reaksioner menyerang asrama mahasiswa Papua dengan lemparan batu dan berusaha menjebol pagar sembari terus melakukan tindakan rasis seperti meneriakkan kata-kata rasis “anjing”,“monyet” dan “babi”. Polisi juga melakukan operasi pencegatan kendaraan bermotor di sepanjang jalan Timoho dan Tugu bagi pengendara yang terindikasi rakyat Papua.
Apa yang terjadi menimpa rakyat Papua baik di tanah Papua maupun di luar wilayah Papua tak luput Perempuan menjadi korban bahkan yang paling merasakan dampaknya.
Perempuan Papua adalah korban kekerasan ganda negara. Dalam lapis pertama perempuan menjadi korban kekerasan seksual yang berupa perkosaan, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual dan terkait penggunaan alat kontrasepsi (KB) serta percobaan perkosaan. Dalam lapis kedua, perempuan mengalami kekerasan non seksual seperti pembunuhan, percobaan pembunuhan/penembakan, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, pengungsian, perusakan dan perampasan harta benda. Kekerasan yang dilakukan berbentuk fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau didukung oleh aparat negara.
Kami menolak lupa, kekerasan oleh negara yang sudah terjadi sejak Perang Dunia Kedua, Pemerintah Belanda dan aneksasi pemerintah Indonesia melalui operasi militer sejak tahun 1961 hingga sekarang. Pada tahun 1963-2009 saja, negara telah melakukan kekerasan terhadap 138 perempuan Papua dengan 52 kasus perkosaan, 24 kasus pengungsian saat operasi militer dan kelaparan, 21 kasus penganiayaan, 18 kasus penahanan sewenang-wenang. Sisanya mengalami penyiksaan, pembunuhan, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual. Sebanyak 133 perempuan mengaku mengalami kekerasan dari militer, 20 kasus kekerasan dari polisi, 6 kasus kekerasan dari militer dan polisi (gabungan) dan 5 kasus kekerasan dari aparat negara lain. Sejak tahun 1963-2004, berdasarkan nama operasi militer, telah terjadi sedikitnya 24 Operasi Militer di Papua.
Kaum perempuan juga menjadi sasaran kekerasan dalam demonstrasi damai. Mei 2005 Marike Kotouki ditikam di kepala dengan sangkur oleh seorang anggota Brimob. Penangkapan dengan kekerasan juga menimpa Milka Siep, Debora Penggu, Raga Kogoya dan penulis yang ditangkap polisi dalam aksi damai menuntut “Bebaskan Filep Karma dan Yusak Pakage Tanpa Syarat” di Pengadilan Negeri Jayapura. Mama-mama Papua yang ulet berdagang diemperan pasar dan jalan juga menjadi sasaran kekerasan penggusuran Satpol PP seperti kejadian di pasar Ampera, Jayapura. Perempuan di wilayah adat Anim-Ha (Merauke) juga harus tergusur dari tanahnya, dusun-dusun sagu, sungai dan hewan buruan karena tanah adatnya dirampas oleh negara untuk proyek raksasa MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Bahkan yang terjadi pada tanggal 15 Juli 2016 di Yogyakarta tak luput dialami oleh perempuan. Massa yang terkepung di dalam asrama, maupun yang disisir oleh polisi di jalan-jalan sampai di kos-kos juga terdapat perempuan dan anak.
Dari berbagai kejadian tersebut, sudah sangat jelas tergambar bahwa rakyat Papua mengalami berbagai bentuk rasisme yang terinstitusionalisasi dalam diskriminasi yang secara sistematis dilakukan oleh Negara; serta kekerasan yang mereka alami di tangan polisi maupun militer. Pada kejadian pengepungan oleh aparat Negara pada tanggal 15 Juli 2016 yang lalu di Yogyakarta juga menjadikan rakyat Papua sebagai sasaran stereotipe dan rasisme. Stigma negatif yang dibangun oleh aparat melalui broadcast dan media sosial bahwa orang-orang Papua mengamuk dan melakukan perusakan di sekitar asrama hingga membawa korban lalu mereka (Papua) berhak dibunuh. Analogi yang sama bisa terjadi pada perempuan, dimana perempuan sebagai korban kekerasan sudah menjadi korban masih mendapat stigma negatif dianggap berkontribusi dalam kekerasan sehingga pantas mendapat kekerasan, disalahkan pakaian yang dipakai dan lain-lainnya.
Menjadi jelas, bahwa kekerasan negara melalui aparat dan ormas reaksioner adalah bentuk tindakan militeristik terhadap perempuan dan rakyat Papua. Kekerasan negara juga membuktikan keterkaitan antara kekerasan di Papua dan kepentingan negara kapitalis untuk mengeksploitasi rakyat Indonesia dan Papua. Militer dan polisi pelaku kekerasan dididik dan dilatih oleh negara-negara kapitalis. Persenjataan juga diproduksi oleh industri kapitalis dan dikirim berdasarkan kerja sama dengan pemerintah RI. Polisi dan kelompok reaksioner yang memblokade menyerang ruang demokrasi dan melakukan tindakan rasisme dan kriminasilisai adalah berdiri pada kaki kapitalisme. Fakta bahwa demokrasi kapitalis yang melanggengkan masyarakat yang rasis, membutuhkan aksi untuk melawannya dan, jika mungkin, untuk menghapuskan rasisme.
Dalam kondisi tersebut, maka Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi bangsa Papua adalah jalan paling demokratis. Kekerasan yang dilakukan oleh negara harus dihentikan. Kita tidak bisa terus menerus membiarkan negara melakukan kekerasan terhadap perempuan, anak, dan seluruh rakyat Papua untuk kepentingan kapitalis. Tekad merdeka dan melawan segala bentuk kekerasan yang terus dilakukan oleh negara Indonesia sebagai agen imperialisme adalah mutlak.
KPP Yogyakarta sebagai sebuah wadah persatuan perjuangan pembebasan permpuan yang sama-sama sedang memperjuangkan kemerdekaan dari kesewenang-wenangan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh sistem negara. Juga yang mempertahankan prinsip perjuangan padanilai-nilai persatuan dan mobilisasi gerakan rakyat kami mendukung perjuangan rakyat Papua dan PRPPB, sekaligus mengajak semua gerakan rakyat yang sedang memperjuangkan kemerdekaan hidup untuk saling bergandeng tangan melawan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh negara. Hanya kekuatan solidaritas yang kuat dari gerakan rakyat yang mampu membuka ruang demokrasi seutuh-utuhnya dan perjuangan menentukan hak nasib sendiri serta menghapus rasisme.
Atas kasus kekerasan yang terjadi 15 Juli 2016 di Yogyakarta, Komite Perjuangan Perempuan (KPP) Yogyakarta menyatakan sikap: “Mengutuk Tindakan Brutal Rasisme dan penyerangan demokrasi oleh aparat negara di Yogyakarta yang menggandeng kelompok Reaksioner FKPPI, Laskar Jogja, Pemuda Pancasila dan Paksi Katon atas Kejahatan Kemanusiaan terhadap Rakyat Papua di Yogyakarta, rebut demokrasi seutuh-utuhnya dan bangun persatuan rakyat,” serta menuntut:
1. Cabut status tersangka Obby Kogoya
2. Demokrasi Seutuh-utuhnya Untuk Rakyat Papua
3. Tarik Militer Organik dan Non Organik dari Seluruh Tanah Papua
4. Bebaskan Seluruh Tapol dan Napol di Papua
5. Tangkap, Adili dan Hukum Berat Jenderal-jenderal Pelanggar HAM
6. Usut tuntas kasus kekerasan dan adili pelaku-pelaku kekerasan
Sekian pernyataan sikap KPP Yogyakarta dan kami menyerukan kepada seluruh aktivis perempuan, buruh, tani, dan seluruh aktivis pro demokrasi serta HAM di Indonesia untuk dapat membangun solidaritas rakyat tertindas dan bersama-sama memperjuangkan ditegakkannya HAM dan demokrasi yang seutuh-utuhnya di Indonesia.
Yogyakarta, 24 Juli 2016
Komite Perjuangan Perempuan (KPP) Yogyakarta
Fanspage : Komite Perjuangan Perempuan Yogyakarta-KPP Yogyakarta
Email : komiteperjuanganperempuanyogyakarta@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar