Jayapura, Jubi – 75 pastor imam Gereja Katolik dari lima keuskupan se Tanah Papua, yakni: Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Agats, Keuskupan Timika, Keuskupan Manokwari-Sorong, dan Keuskupan Jayapura, yang telah mengadakan Temu Imam Diosesan di Jayapura, 30 Juni – 5 Juli 2015 bergumul dan berbicara penderitaan rakyat Papua.
Dalam releasenya yang ditandatagani, Unio Keuskupan Agung Merauke RD. Niko Jumari JK, Unio Keuskupan Agats, RD Abraham Nusmese, Unio Keuskupan Timika, RD. Dominikus Dulione Hodo Unio Keuskupan Manokwari-Sorong, RD Izaak Bame, Unio Keuskupan Jayapura, RD. Neles Tebay mengatakan pertemuan para pastor mendalami Tema: “Suka Duka Umat Manusia di Tanah Papua adalah Suka Duka Imam Projo” Dibawa sorotan terang Injil dan ajaran Sosial Gereja,” kata para pastor, dibawa sorotan Injil.
Para pastor bermugul dan merumuskan sejumlah pergumulan dan penderitaan umat yang menjadi keprihatinan gereja dengan harapan akan menjadi perhatian bersama oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat.
Pertama, kata para pastor, mereka telah menyaksikan bahwa pemerintah berhasil membangun gedung-gedung sekolah, baik untuk Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), maupun Sekolah Menengah Umum (SMU), dari kota hingga di kampung-kampung terpencil dan terisolir.
Sekalipun demikian, para pastor sungguh merasa prihatin dengan situasi pendidikan dimana pembangunan gedung sekolah tidak diikuti oleh proses belajar-mengajar di ruang kelas. Secara jujur para pastor mengakui bahwa proses pendidikan dari tingkat SD hingga SMU, terutama yang berada di kampung-kampung yang mayoritas muridnya adalah orang Papua, tidak berjalan lancar.
Kata para pastor, anak-anak asli Papua sangat kurang mendapatkan pelajaran yang menjadi haknya oleh karena kelalaian dari para guru. Banyak anak asli Papua diluluskan dari ujian SD, sekalipun tidak bisa membaca dan menulis. Para pastor sangat sedih karena hal ini sudah terjadi selama bertahun-tahun. “Kami tidak bisa menerima situasi dan kenyataan ini, karena jelas-jelas merupakan pembiaran, penipuan, pembodohan, dan pembunuhan karakter,”tegas para pastor.
Kedua, para pastor mengatakan telah menyaksikan pemerintah berhasil mendirikan banyak gedung untuk pelayanan kesehatan di berbagai tempat, termasuk kampung-kampung terisolir. Sekalipun demikian, para pastor mengamati bahwa kondisi kesehatan yang dialami rakyat Papua amat sangat memprihatinkan. “Sambil mengakui adanya banyak masalah di bidang kesehatan, kami sungguh prihatin dengan penyebaran HIV dan AIDS, minuman keras (miras), narkoba, yang tetap dan terus mengancam eksistensi orang asli Papua”.
Ketiga, dalam masa Otonomi Khusus ini, dibuat sejumlah pemekaran kabupaten. Banyak orang menjadi pejabat.Para pastor secara khusus berbangga terhadap semua pejabat orang asli Papua yang menjadi pimpinan daerah seperti bupati dan gubernur serta pejabat-pejabat di berbagai instansi pemerintahan. “Kami menaruh harapan yang lebih kepada mereka agar membuat program yang kena sasaran sesuai keadaan rakyat dan mampu menjadi teladan serta memberikan contoh yang baik kepada para pegawai lainnya,”kata para pastor.
Keempat, para pastor mengatakan telah melihat adanya ketidakadilan ekonomi, sosial, budaya, dan politik di Tanah Papua.Para gembala ini merasa prihatin dengan berbagai tindakan kekerasan yang terjadi di bumi Cenderawasih. Kekerasan dibalas dengan kekerasan. Dan bahwa semua kekerasan ini menghambat pembangunan, mengusik perdamaian, dan melukai hati dan batin banyak orang.
Kelima, Kata para pastor, “Kami menyaksikan bahwa hak-hak dasar masyarakat adat Papua kurang dihargai dan lingkungan hidup yang diciptakan Tuhan dihancurkan demi pembangunan dan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA)”.
Ke enam, “Kami menyaksikan berbagai bentuk pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM), seperti yang terjadi di Enarotali , Kabupaten Paniai, tanggal 8/12, 2015, dimana 4 orang tewas tertembak dan 17 orang menderita luka tembak. Martabat kemanusiaan tidak dihargai. Hak-hak kewarganegaraan tidak dihormati, sekalipun dijamin oleh Konstitusi.
Ketuju, “Kami menyaksikan bahwa kecurigaan dan ketidakpercayaan mewarnai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan orang Asli Papua, antara aparat keamanan TNI-POLRI dan rakyat Papua, antara orang asli Papua dan warga Papua yang berasal dari luar Tanah Papua.
Kedelapan, “Kami mengamati dan merasakan bahwa jumlah penduduk yang masuk ke Tanah Papua semakin hari semakin tinggi. Mereka berasal provinsi dan kelompok etnis yang berbeda dan menetap di semua ibu kota kabupaten di seluruh tanah Papua. Jumlah mereka bertambah secara cepat, maka apabila Pemerintah Daerah tidak melakukan pengendalian kependudukan, maka jumlah warga Papua yang datang dari luar Tanah Papua melampaui jumlah orang Asli Papua, seperti yang sudah terjadi di kota Jayapura, Merauke, Timika, Nabire, Manokwari, dan Sorong.
Kata para pastor, Mobilisasi penduduk yang tak terkendali ini akan mempengaruhi komposisi penduduk Tanah Papua, yang membuat orang asli Papua menjadi minoritas di atas tanah leluhurnya, dan berdampak pada kehidupan politik.
Ke sembilan, “Kami mengamati bahwa hukum tidak ditegakkan secara tegas di Bumi Cenderawasih. Pengalaman memperlihatkan bahwa hukum dalam penerapannya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kami merasa heran karena pegawai yang meninggalkan tempat tugas bertahun-tahun lamanya tidak pernah diberikan sanksi apapun.
Berdasarkan keprihatinan itu, para pastor merekomendasikan empat rekomendasi kepada pemerintah Profinsi Papua dan Papua Barat. Pertama, Mengatasi berbagai permasalahan dan mencegah terjadinya kekerasan di masa depan, maka kami mendukung kedua Gubernur dan para bupati di Tanah Papua untuk menolak kekerasan dan mengutamakan dialog sebagai sarana untuk menemukan solusi terbaik.
“Kami mendorong bapak Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat untuk menyampaikan kepada Pemerintah Pusat agar masalah Papua dapat diselesaikan melalui dialog damai, dengan melibatkan semua kelompok pemangku kepentingan. Kami percaya bahwa semua persoalan dapat dibahas secara mendalam, secara tenang dan tanpa kekerasan melalui dialog, sehingga solusi-solusi terbaik dapat ditemukan.
Kedua, “Kami mendorong Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Tanah Papua untuk mendukung inisiatif rakyat Papua yang berupaya mewujudkan Papua sebagai Tanah Damai.
Ketiga, Kami mengharapkan Pemerintah untuk menegakkan hukum. Dan Keempat, “Kami mendorong Pemerintah untuk menetapkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) tentang pengendalian mobilisasi penduduk di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Engel Surabut, Ketua Dewan Adat Papua, wilayah Lapago mengatakan suara kenabian Gereja Katolik tengggelam setelah Uskup Herman Moninghof. Karena itu, Gereja Katolik harus memilih konteskan Injil atau bicara awan-awan saja. “Gereja harus Berpihak dan konteskan Injil seperti Yesus. Gereja harus berdiri bersama adat yang selama ini terus menerus berbicara demi kepentingan rakyat Papua,”tegasnya. (Mawel Benny)
Para pastor bermugul dan merumuskan sejumlah pergumulan dan penderitaan umat yang menjadi keprihatinan gereja dengan harapan akan menjadi perhatian bersama oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat.
Pertama, kata para pastor, mereka telah menyaksikan bahwa pemerintah berhasil membangun gedung-gedung sekolah, baik untuk Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), maupun Sekolah Menengah Umum (SMU), dari kota hingga di kampung-kampung terpencil dan terisolir.
Sekalipun demikian, para pastor sungguh merasa prihatin dengan situasi pendidikan dimana pembangunan gedung sekolah tidak diikuti oleh proses belajar-mengajar di ruang kelas. Secara jujur para pastor mengakui bahwa proses pendidikan dari tingkat SD hingga SMU, terutama yang berada di kampung-kampung yang mayoritas muridnya adalah orang Papua, tidak berjalan lancar.
Kata para pastor, anak-anak asli Papua sangat kurang mendapatkan pelajaran yang menjadi haknya oleh karena kelalaian dari para guru. Banyak anak asli Papua diluluskan dari ujian SD, sekalipun tidak bisa membaca dan menulis. Para pastor sangat sedih karena hal ini sudah terjadi selama bertahun-tahun. “Kami tidak bisa menerima situasi dan kenyataan ini, karena jelas-jelas merupakan pembiaran, penipuan, pembodohan, dan pembunuhan karakter,”tegas para pastor.
Kedua, para pastor mengatakan telah menyaksikan pemerintah berhasil mendirikan banyak gedung untuk pelayanan kesehatan di berbagai tempat, termasuk kampung-kampung terisolir. Sekalipun demikian, para pastor mengamati bahwa kondisi kesehatan yang dialami rakyat Papua amat sangat memprihatinkan. “Sambil mengakui adanya banyak masalah di bidang kesehatan, kami sungguh prihatin dengan penyebaran HIV dan AIDS, minuman keras (miras), narkoba, yang tetap dan terus mengancam eksistensi orang asli Papua”.
Ketiga, dalam masa Otonomi Khusus ini, dibuat sejumlah pemekaran kabupaten. Banyak orang menjadi pejabat.Para pastor secara khusus berbangga terhadap semua pejabat orang asli Papua yang menjadi pimpinan daerah seperti bupati dan gubernur serta pejabat-pejabat di berbagai instansi pemerintahan. “Kami menaruh harapan yang lebih kepada mereka agar membuat program yang kena sasaran sesuai keadaan rakyat dan mampu menjadi teladan serta memberikan contoh yang baik kepada para pegawai lainnya,”kata para pastor.
Keempat, para pastor mengatakan telah melihat adanya ketidakadilan ekonomi, sosial, budaya, dan politik di Tanah Papua.Para gembala ini merasa prihatin dengan berbagai tindakan kekerasan yang terjadi di bumi Cenderawasih. Kekerasan dibalas dengan kekerasan. Dan bahwa semua kekerasan ini menghambat pembangunan, mengusik perdamaian, dan melukai hati dan batin banyak orang.
Kelima, Kata para pastor, “Kami menyaksikan bahwa hak-hak dasar masyarakat adat Papua kurang dihargai dan lingkungan hidup yang diciptakan Tuhan dihancurkan demi pembangunan dan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA)”.
Ke enam, “Kami menyaksikan berbagai bentuk pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM), seperti yang terjadi di Enarotali , Kabupaten Paniai, tanggal 8/12, 2015, dimana 4 orang tewas tertembak dan 17 orang menderita luka tembak. Martabat kemanusiaan tidak dihargai. Hak-hak kewarganegaraan tidak dihormati, sekalipun dijamin oleh Konstitusi.
Ketuju, “Kami menyaksikan bahwa kecurigaan dan ketidakpercayaan mewarnai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan orang Asli Papua, antara aparat keamanan TNI-POLRI dan rakyat Papua, antara orang asli Papua dan warga Papua yang berasal dari luar Tanah Papua.
Kedelapan, “Kami mengamati dan merasakan bahwa jumlah penduduk yang masuk ke Tanah Papua semakin hari semakin tinggi. Mereka berasal provinsi dan kelompok etnis yang berbeda dan menetap di semua ibu kota kabupaten di seluruh tanah Papua. Jumlah mereka bertambah secara cepat, maka apabila Pemerintah Daerah tidak melakukan pengendalian kependudukan, maka jumlah warga Papua yang datang dari luar Tanah Papua melampaui jumlah orang Asli Papua, seperti yang sudah terjadi di kota Jayapura, Merauke, Timika, Nabire, Manokwari, dan Sorong.
Kata para pastor, Mobilisasi penduduk yang tak terkendali ini akan mempengaruhi komposisi penduduk Tanah Papua, yang membuat orang asli Papua menjadi minoritas di atas tanah leluhurnya, dan berdampak pada kehidupan politik.
Ke sembilan, “Kami mengamati bahwa hukum tidak ditegakkan secara tegas di Bumi Cenderawasih. Pengalaman memperlihatkan bahwa hukum dalam penerapannya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kami merasa heran karena pegawai yang meninggalkan tempat tugas bertahun-tahun lamanya tidak pernah diberikan sanksi apapun.
Berdasarkan keprihatinan itu, para pastor merekomendasikan empat rekomendasi kepada pemerintah Profinsi Papua dan Papua Barat. Pertama, Mengatasi berbagai permasalahan dan mencegah terjadinya kekerasan di masa depan, maka kami mendukung kedua Gubernur dan para bupati di Tanah Papua untuk menolak kekerasan dan mengutamakan dialog sebagai sarana untuk menemukan solusi terbaik.
“Kami mendorong bapak Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat untuk menyampaikan kepada Pemerintah Pusat agar masalah Papua dapat diselesaikan melalui dialog damai, dengan melibatkan semua kelompok pemangku kepentingan. Kami percaya bahwa semua persoalan dapat dibahas secara mendalam, secara tenang dan tanpa kekerasan melalui dialog, sehingga solusi-solusi terbaik dapat ditemukan.
Kedua, “Kami mendorong Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Tanah Papua untuk mendukung inisiatif rakyat Papua yang berupaya mewujudkan Papua sebagai Tanah Damai.
Ketiga, Kami mengharapkan Pemerintah untuk menegakkan hukum. Dan Keempat, “Kami mendorong Pemerintah untuk menetapkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) tentang pengendalian mobilisasi penduduk di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Engel Surabut, Ketua Dewan Adat Papua, wilayah Lapago mengatakan suara kenabian Gereja Katolik tengggelam setelah Uskup Herman Moninghof. Karena itu, Gereja Katolik harus memilih konteskan Injil atau bicara awan-awan saja. “Gereja harus Berpihak dan konteskan Injil seperti Yesus. Gereja harus berdiri bersama adat yang selama ini terus menerus berbicara demi kepentingan rakyat Papua,”tegasnya. (Mawel Benny)
0 komentar:
Posting Komentar