Ketua Sinode Kingmi Papua (kiri) Pdt Benny Giay dan Ketua PGGBP (kanan) Pdt Socratez Sofyan Yoman-Indrayadi TH |
Jayapura,
Jubi – Forum Kerja Oikumenis Gereja-Gereja Papua menyampaikan seruan
keprihatinan terkait insiden kekerasan yang terjadi di Papua sejak Januari
hingga September tahun ini.
Pihak
Gereja amat prihatin dan merasa Negara, dalam hal ini adalah aparat keamanan
seperti tidak ada untuk menjalankan amanatnya melindungi umat Gereja. Kalau
ada, mereka malah cenderung menjadi pelaku yang kebal hukum bahkan memberikan
kesan aparat keamanan terlibat bermain dan berperan memperkeruh situasi.
Sejak
Januari 2014, ada pembiaran terhadap konflik dan perang suku di Timika yang
telah menewaskan sejumlah orang, hamba Tuhan juga beberapa Jemaat Gereja Kingmi
terpaksa mengungsi lalu beribadah di luar atau di alam terbuka.
“Tanggal
2 juli, di Pasar Youtefa, Jayapura kota, aparat keamanan menewaskan 5 orang
mahasiswa Papua. Sampai saat ini belum ada proses hukum. Kamis (28/7) insiden
Lani Jaya yang menurut warga jemaat berawal dari aparat polisi yang hendak
menjual amunisi dan senjata kepada TPN/OPM lalu terjadi baku tembak yang
menelan korban,” kata Ketua Persatuan Gereja-Gereja Baptis di Papua, Pdt
Socratez Sofyan Yoman dalam keterangan persnya, Rabu (24/9) siang di ruang
rapat Sinode Kingmi Papua, Jayapura.
Lanjut
pada hari Jumat (8/8), dikatakan Yoman, warga sipil atas nama Robert Yelemaken
(16) anak dari Pdt Benyamin Yelemaken gembala sidang jemaat Kingmi Kairos di
Manokwari kota dan Onni Weya yang ditangkap, disiksa sewenang-wenang dan
ditahan selama dua minggu lebih oleh oknum TNI.
“Rabu
(20/8) terjadi penculikan dan pembunuhan Marthinus Yohame di Sorong. Dua hari
kemudian (22/8) Korea Wakerkwa (kepala suku) dibunuh di Timika. Awalnya menurut
masyarakat, aparat keamanan mencurigai korban sebagai pendukung TPN OPM di
Lanny Jaya dan hingga kini Polisi belum mengungkap motif dan pelakunya,” ujar
Yoman.
Tidak
sampai disitu, menurutnya Polres Keerom tidak mengawal massa hingga massa
bertindak anarkis dan aksi meluas dengan membakar 17 rumah warga serta sejumlah
rumah lainnya di rusak, pasca insiden pembunuhan seorang wanita di Arso I,
Keerom pada hari Sabtu (6/9) lalu.
Senin
(15/9) aparat keamanan diduga memaksakan kehendaknya terhadap Jemaat Kingmi
Haleluyah, Entrop, Jayapura Selatan untuk menggunakan fasilitas Gereja dalam
rangka penyambutan dan pengukuhan Kapolda Papua yang baru secara adat Papua.
Hal ini menyebabkan jemaat terpecah belah dan meresahkan jemaat Gereja
tersebut.
“Tindakan
Kriminalisasi dan Teror terhadap Pengacara HAM, seperti Olga Hamadi, 19
September 2012 di Wamena, Gustaf Kawer, 12 Juni 2014 di Jayapura dan Anum
Siregar, 16 September 2014 di Wamena, di Tanah Papua,” tambah Yoman.
Terakhir,
menurut data yang dihimpun Forum Kerja Oikumenis Gereja-Gereja Papua, Sabtu
(20/9) terjadi penembakan terhadap Videlis Jhon Agapa di Jalan Trans
Nabire-Illaga, KM 74. Dan menurut masyarakat korban ditembak oleh aparat
keamanan.
“Insiden-insiden
demikian yang sempat kami terima dari jemaat dan pekerja Gereja. Masih banyak
lagi peristiwa lain yang tidak dicatat di sini. Kekerasan demikian bukan baru
terjadi tahun ini. Kami sebagai Gereja Papua dan Jemaat terus-menerus hidup
dalam kondisi seperti ini sejak tahun 1960-an,” tegasnya.
Ditempat
yang sama, Ketua Sinode Kingmi papua, Pdt Benny Giay, mengatakan Papua telah
dan terus dikelola sebagai situs kekerasan dan situs pertumpahan darah anak
negeri oleh berbagai kepentingan.
Dalam
kata-kata ayat Alkitab yang telah kami kutib, kami menjadi saksi bisu dari,
Maut yang terus menyusup ke jendela-jendela rumah kami, masuk ke dalam
gubuk-gubuk kami: ia melenyapkan kanak-kanak kami dari jalan, pemuda-pemuda
dari lapangan; mayat-mayat manusia berhantaran seperti pupuk di ladang seperti
berkas gandum di belakang orang-orang yang menuai tanpa ada yang mengumpulkan
(Yermia 9:21-22)
“Sehingga
refleksi di Gereja, beberapa bulan terakhir ini, kami sering mengangkat tema
kekerasan dan kejahatan sedang menggagahi kami dan tanah kami. Secara sosial
kami bertanya di mana Negara saat kami dan jemaat kami menjalani kekerasan ini?
Kalau ada, apa perannya?” kata Giay.
Menurutnya,
jawaban terhadap pertanyaan reflektif ini barangkali terungkap dalam pernyataan
Presiden SBY pada tanggal 16 Desember 2011 di Cikeas Jakarta di depan pimpinan
Gereja-Gereja di Papua. Kekerasan terus beranak pinak di tanah Papua, dikatakan
Benny, hal tersebut karena ada kelompok garis keras “hard liners“ yang tidak
mau demokrasi, tidak mau dialog dan mau menang sendiri, alias ultra nasionalis.
“Kelompok
ini sedang bermain di tanah Papua, secara terbuka dan tertutup. Untuk
mewujudkan Papua tanah damai, mari kita telanjangi dan mengungkap motif dan
pelaku dari kelompok ini; sehingga kasus kekerasan tersebut bisa kita akhiri,”
ujar Benny. (Indrayadi TH)
0 komentar:
Posting Komentar